Logika yang menyatakan bahwa santri harus menjadi kiai atau ustadz merupakan pandangan yang kuno. Pandangan dangkal dari orang luar yang tidak memahami hakikat sejati santri. Sebaliknya, santri yang telah lama menimba ilmu agama seharusnya menjadi individu yang baik, di mana pun dan kapan pun. Santri diwajibkan untuk rajin mengamalkan dan menyampaikan ilmunya, di manapun dan kapan pun. Hal ini tidak harus dilakukan di hadapan ratusan orang; bahkan, walaupun hanya kepada keluarganya, dan tidak harus di masjid atau di madrasah, melainkan bahkan di tengah sawah atau di warung sekalipun.
Jika dalam suatu desa terdapat 10 orang santri, tidak perlu ke-10 santri tersebut bersikeras menjadi kiai, mendirikan mushalla, dan mengumpulkan seluruh anak didik. Sebaliknya, yang dapat terjadi adalah potensi persaingan non-sportif yang hasilnya tidak akan maksimal. Citra santri dapat terpuruk, terlihat seperti mereka bersaing untuk mendapatkan anak didik yang jumlahnya mungkin hanya sekitar 200 orang dalam satu desa.
Solusinya, ke-10 santri tersebut seharusnya meluangkan waktu untuk duduk bersama, saling memahami potensi masing-masing, dan berkomitmen untuk saling mendukung. Biarkan yang paling ahli dalam bidang pendidikan yang mengelola pendidikan, dan fokuslah pada tarbiyah 200 orang di desa tersebut. Dengan demikian, pendidikan akan berkembang dan benar-benar berkualitas.
Sementara itu, ke-9 santri yang lain, yang memiliki keahlian dalam berdagang, dapat membuka bisnis atau toko yang bersinergi dengan pendidikan yang menangani 200 murid tersebut. Mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka dari berbagai bidang, dengan harga khusus jika diperlukan. Dengan demikian, sudah ada 200 pelanggan tetap di toko tersebut, belum lagi masyarakat umum yang juga dapat menjadi pelanggan.
Para santri yang memiliki keahlian pertanian dapat fokus menjadi petani. Mereka dapat mempelajari ilmu pertanian, membangun relasi pasar, dan mengamati perputaran uang. Jika perlu, mereka dapat membentuk komunitas petani untuk mengolah dan menjual hasil panen mereka sendiri. Ini akan memberikan kesempatan bagi para petani untuk belajar menjadi mandiri, dan begitu seterusnya. Semua harus saling menguatkan satu sama lain.
Namun, sayangnya, banyak umat Islam saat ini terperangkap dalam dikotomi ilmu pengetahuan. Mereka menganggap ada ilmu yang tidak penting untuk dipelajari, bahkan menganggap beberapa ilmu sebagai ilmu dunia atau ilmu orang kafir yang tidak layak dipelajari oleh orang Islam.
Ini adalah pandangan yang kuno dan bertentangan dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Rasulullah adalah sosok yang revolusioner dalam hal ilmu pengetahuan. Beliau tidak pernah membedakan jenis ilmu, karena semua ilmu adalah milik Allah yang diajarkan-Nya. Yang perlu ditentukan hanyalah skala prioritas ilmu apa yang harus dipelajari terlebih dahulu. Setelah itu, seseorang dapat mempelajari ilmu-ilmu lain yang masih dibutuhkan oleh masyarakat.
Oleh karena itu, banyak kitab fikih menjelaskan bahwa ada ilmu-ilmu yang diwajibkan (fardhu kifayah) untuk dipelajari, seperti ilmu pertanian, ilmu kedokteran, ilmu arsitektur, ilmu teknologi, dan lain sebagainya. Karena jika tidak ada yang mempelajarinya, maka akan timbul kerusakan besar bagi umat manusia.
Dalam perang Ahzab atau perang Khandak, Rasulullah menerima saran dari sahabat Salman al-Farisi untuk menggali parit mengelilingi kota Madinah. Meskipun ilmu tersebut adalah ilmu peperangan yang berasal dari orang Persia dan belum pernah digunakan oleh Bangsa Arab, Rasulullah menerimanya dan mengaplikasikannya.
Ketika Rasulullah ingin berinteraksi dengan orang-orang Yahudi, beliau memerintahkan sahabat Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Suryani yang umum digunakan oleh orang Yahudi. “Wahai Zaid, pelajarilah untukku aksara Yahudi, karena demi Allah, aku tidak merasa aman terhadap suratku dari orang Yahudi.”
Bahkan, sebagaimana yang terkenal dalam hadis, Rasulullah pernah memerintahkan para sahabatnya untuk belajar sebanyak-banyaknya, mencari ilmu seluas-luasnya, bahkan jika harus pergi ke negeri China. “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri China.”
Saya membayangkan jika Rasulullah hidup di zaman kita saat ini, mungkin beliau akan memerintahkan umatnya tidak hanya aktif di media sosial, tetapi bahkan membuat platform media sosial mereka sendiri. Mereka harus dapat menguasai YouTube, bukan hanya sebagai pembuat konten, melainkan sebagai pemilik sistemnya. Jika itu tidak memungkinkan, mereka harus membuat platform media sosial yang sebanding.
M. Muhsin Bahri\Sidogiri