Akal adalah karunia terbesar manusia, sehingga menjadi definisi pembeda dengan hewan lain; “hawayanun nathiq” begitu ahli logika menyebut. Berkat akal, manusia mampu berkembang sehingga memiliki kemampuan besar membangun peradaban dunia melampuai makhluk lain. Berkat akal pula, manusia diberi taklif syariah. Oleh karena itu, menjaga akal menjadi bagian dari lima tujuan pemberlakuan syariah “Maqashid asy-Syariah”.
Atas dasar hifdz al-‘aql, menjaga akal, segala hal yang dapat mengganggu akal diharamkan dalam Islam. Segala jenis makananan yang kemudian merusak akal, seperti khamr, menjadi hal pasti diharamkan untuk dikonsumsi. Hanya kemudian, menjadi pertanyaan besar adalah pada entitas khamr, alasan keharaman ada pada alkohol yang terkandung di dalamnya, atau karena esensi memabukkan itulah yang menjadi illat keharaman? Pertanyaan inilah yang kemudian melahirkan pertanyaan, bagaimana dengan makanan yang diyakini mengandung alkohol, semisal tape dan durian?
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kandungan alkohol pada tape ternyata cukup besar. Pada tape ketan, misalnya, kandungan alkoholnya mencapai 14,87 % hingga 17,33%. Pada tape singkong, kandungan alkoholnya mencapai 13,33% hingga 14,67%. Sementara pada Bir kandungan alkoholnya mencapai 3,50% hingga 3,31%, Wine 7,85% hingga 14,80%. Pada Brendy, 33,10% dan pada Whisky 337,0%.
Akan tetapi, pada kenyataannya, meski mengandung alkohol mengonsumsi tape tidak menyebabkan mabuk, layaknya mengonsumsi bir dan wine, yang justru kadar alkoholnya lebih rendah dari tape. Hal ini menjadi pertanyaan besar, apakah keharaman itu karena mengandung alkohol atau lainnya?
Sementara ini, memang terjadi perselisihan penyebab efek iskar pada khamr; ada yang menyatakan karena mengandung alkohol, ada yang menyatakan unsur lain, bukan oleh alkohol di dalamnya. Pada kenyataannya, terdapat banyak makanan yang dinilai mengandung alkohol tapi tidak memabukkan. Ada pula, yang diyakini tidak beralkohol, tapi justru memabukkan semisal, tanaman ganja dls.
Akan tetapi, pada titik poinnya adalah illat yang mendasari keharaman khamr adalah efek iskar-nya. Hal ini, sebagai nash sharih soal illat keharaman khamr disebutkan pada riwayat Shahihain demikian:
“Setiap hal memabukkan adalah khamr, sementara khamr diharamkan.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).
Secara tekstual, hadis ini dengan jelas menyebut bahwa setiap hal yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram. Dari bentuk lahir teks “Kullu muskir khamr”, ulama kemudian menyimpulkan bahwa sifat muskir inilah yang menjadi faktor utama yang menentukan hukum haram pada khamr, bukan pada kandungannya. Terlebih pada kata khamr sendiri terambil dari kata khamara al-‘aqla (menutup akal), sebagaimana dikatakan oleh Khalifah Umar. Ketika mabuk, fungsi akal menjadi sirna.
Dari itu, apa pun bentuk bendanya, jika memiliki karakter yang sama, yakni memabukkan maka hukum haram juga berlaku, meskipun berjenis makanan bukan minuman. Ketika memabukkan, maka sebutan khamr juga berlaku pada makananan jenis ini. Sebaliknya, ketika makanan tidak memiliki efek memabukkan maka sebutan khamr tidak berlaku, termasuk hukum haram yang menjadi turunannya. Menurut bahasa al-Mawardi, dalam al-Hawi al-Kabir menyebutkan, lam yajri ‘alaihi hukmuhu fi at-tahrim.
Memperkuat data ini, dalam kitab alFiqh al-Manhaji ‘ala madzhab asy-Syafi’I 1:507 disebutkan demikian:
“Adapun perbedaan nama, setiap hal yang memabukkan tidak keluar dari hukum khamr, yakni berhukum haram, karena penyebab keharaman khamr adalah sifat memabukkan pada khamr melalui kesepakatan kaum muslimin. Tentunya, berhukum sama dalam segi keharaman, setiap minuman yang memabukkan, tidak peduli berasal dari apa.”
Dengan demikian, konsumsi makanan yang tidak memiliki karakter memabukkan, meski terkandung alkohol di dalamnya tidak berhukum haram. Tape, legen, atau sejenis yang diyakini mengandung alkohol, tapi tidak memabukkan adalah halal, karena sifat iskar yang menjadi dasar keharaman tidak ditemukan dalam benda-benda ini. Sementara tuak, berhukum haram karena meski bukan dari anggur, sifat iskar muncul di dalamnya.
Lantas, apa yang dimaksud dengan sifat iskar di sini? Untuk mengetahui seseorang itu mabuk atau tidak, sebenarnya bisa dilihat dari tanda-tanda gerakan tubuh atau kondisi tidak terkontrol disebabkan akal terpengaruh oleh benda yang dinonsumsi. Dalam hal ini, ulama kemudian membagi benda benda yang dapat mempengaruhi akal ke dalam tiga kelompok.
Pertama, al-Muskir. Setiap hal yang menyebabkan akal seseorang tidak berfungsi (ma ghayyaba al-‘aqla). Akan tetapi, panca indranya masih berfungsi yang disertai bau mulut dan sempoyongan, sebagaimana yang nampak pada peminum khamr. Kedua, al-Mukhaddir. Kondisi mirip al-Muskir, tapi tidak sampai menyebabkan sempoyongan, sebagaimana hasyisy (rumput memabukkan), kecubung, dls. Ketiga, al-Muraqqid. Setiap hal menyebabkan akal dan panca indra tidak berfungsi (ma ghayyabahuma).
Baca juga: Serambi Masjid dalam Kaitan Wanita Haid
Hukum pada ketiga jenis ini tetap haram, jika sampai mempengaruhi pada akal, meski pada al-Muskir demikian jelas keharamannya. Hukum haram ini, tidak mempertimbangkan apakah sampai memabukkan atau tidak. Ketika sesuatu itu telah diyakini memabukkan, sedikit atau banyak tetap diharamkan.
Ketentuan tersebut, adalah bagian dari langkah preventif (pencegahan). Meskipun tidak memabukkan dalam konsumsi kecil, sangat mungkin membuka peluang untuk sampai ke tingkat iskar. Ini menutup ekses yang dapat mengantarkan pada hal yang diharamkan (Saddudz-dzari’ah).
Pada titik kesimpulan, tidak semua makanan dan minuman yang diyakini mengandung alkohol disebut khamr yang berhukum haram. Jika tidak memiliki karakter memabukkan, mengonsumsinya adalah halal. Akan tetapi, jika memabukkan, meskipun diyakini tidak mengandung alkohol, sebutan khamr berlaku dan tentunya hukum turunan berupa haram melekat padanya. Wallahu a’lam.
5
4.5