Masjid adalah tempat ibadah umat Islam yang memiliki keistimewaan dibanding bangunan lainnya. Masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga sebagai pusat kajian umat Islam. Demikian istimewanya, masjid juga harus steril dari hal yang dinilai kotor. Oleh karena itu, wanita haid dilarang berdiam diri di masjid, karena dinilai kotor. Termasuk juga seorang yang menyandang janabat.
Ini adalah pendapat umum ulama, sebagaimana disampaikan dalam hadis riwayat Abu Daud dan Imam Bukhari berikut:
لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
“Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.” (HR. Abu Daud)
وَيَعْتَزِلُ اَلْحُيَّضُ اَلْمُصَلَّى
“Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari)
Terkait hubungan masjid dengan wanita haid salah satu hal yang menjadi topik pembicaraan adalah soal serambi masjid; apakah memiliki hukum yang sama dengan masjid? Hal ini biasanya mengemuka saat ada seorang wanita yang sedang mengalami menstruasi atau haid ikut nimbrung pada saat pengajian di masjid. Atau, saat menunggu teman/suami yang mengerjakan shalat di masjid. Karena dilarang masuk dalam masjid, akhirnya ia duduk di serambi masjid.
Dalam istilah fikih, serambi masjid disebut rahabah. Sebuah bangunan yang menyambung dan mengelilingi inti masjid yang dibangun untuk kepentingan masjid. Masjid-masjid di Indonesia, rata-rata memiliki serambi yang biasa ditempati untuk lesehan jamaah atau bahkan pengajian rutin yang diselenggarakan oleh masyarakat. Serambi biasanya dibiarkan terbuka, sementara bangunan inti masjid terkunci.
Soal rahabah, memang banyak definisi yang dikemukakan oleh ulama. Al-Bandanijiy, misalnya, menyatakan bahwa maksud rahabah adalah bangunan di samping masjid yang menyambung dengan masjid. Sementara Qadhi Abu at-Thayyib mengatakan bangunan yang mengitari masjid. Adapun al-Muhamili mengatakan, rahabah adalah bangunan di luar masjid yang menyambung dengan masjid.
Melihat ragam definisi yang dikemukakan oleh ulama ini, serambi masjid yang ada di Indonesia lebih mengarah pada rahabah. Hal ini dilihat dari struktur fisik bangunan yang memang menyambung dengan inti masjid. Terlebih lagi, rata-rata serambi masjid dibangun bersamaan dengan inti masjid yang lebih mengarahkan pada hukum yang sama dengan inti masjid. Hanya saja, struktur atau model bangunan masjid memang dibentuk demikian.
Dalam kaitannya dengan hukum, rahabah memiliki hukum yang sama dengan masjid, termasuk dalam aturan shalat berjamaah. Ulama madzhab Syafi’i, misalnya, menyimpulkan dari nash Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa ketika imam berada di dalam masjid, sementara makmum berada di rahabah, hukum shalat makmum sah, meski tidak ada jalan yang menghubungkannya dengan imam. Dalam shalat berjamaah, disyaratkan harus ada jalan yang menghubungkan antara imam dan makmum, kecuali jamaah di dalam masjid. Dalam kaitan rahabah Imam Syafi’i ternyata juga memberikan hal yang sama dengan hukum masjid.
Termasuk juga, dalam nash Imam Syafi’i, terkait dengan muadzdzin yang juga I’tikaf dan naik ke menara di samping masjid adzan, tidak menghukumi batal I’tikaf-nya. Hal ini mengindikasikan bahwa nash Imam Syafi’i menyatakan bahwa rahabah adalah bagian dari masjid yang memiliki hukum yang sama dengan masjid.
Untuk itu, segala hal yang berkaitan dengan masjid, seperti keharaman berdiam diri bagi wanita haid juga berlaku. Saat acara pengajian, misalnya, meski berada di serambi masjid tetap diharamkan, karena serambi berhukum sama dengan masjid.
Meski demikian, soal rahabah ini dalam pandangan lintas madzhab atau bahkan dalam satu madzhab memiliki pandangan yang berbeda. Pendapat mereka, terkelompok menjadi tiga. Pertama, melihat kondisi bangunan rahabah. Jika menyatu dengan masjid maka rahabah adalah bagian dari masjid yang berhukum sama dengan masjid. Jika tidak menyatu dengan masjid, yakni terpisah, maka tidak berhukum sama dengan masjid. Ini adalah pandangan dari Ibn Hajar, Abu Ya’la dan sebagian Syafi’iyah.
Kedua, rahabah secara mutlak tidak berhukum sama dengan masjid, baik itu menyatu atau terpisah dari bangunan inti masjid. Ini merupakan pandangan dari madzhab Hanafiyah dan sebagian riwayat dari Imam Malik dan sebagian ulama madzhab Syafi’i. Pandangan yang sama, menurut pendapat shahih dalam madzhab Hanabilah.
Ketiga, secara mutlak berhukum sama dengan masjid, baik menyatu atau tidak. Ini pandangan umum dalam madzhab Maliki, sebagian riwayat Imam Syafi’i dan Hanbali. Konsekuensi dari pendapat ini, wanita haid tetap diharamkan berdiam diri di serambi masjid. Hanya kemudian, dari madzhab Hanbali mengatakan, jika sudah bersih dari haid dan belum mandi, boleh masuk masjid asalkan berwudhu.
Meninjau tiga pendapat ini, pendapat kedua memiliki sisi kelonggaran. Artinya, ada peluang bagi wanita haid untuk berdiam diri di serambi masjid, karena tidak memiliki hukum yang sama dengan masjid. Konsekuensi hukum ini, berlaku ketika lokasi pembangunan serambi tidak diyakini sebagai bagian dari tanah yang diwakafkan menjadi masjid. Jika memang sejak awal sudah ada shighat sebidang tanah diwakafkan untuk masjid, kemudian dibangun beserta serambinya, mengikuti adat bangunan masjid yang berkembang, rahabah tidak hanya berhukum sama dengan masjid, tapi sudah masjid. Rahabah hanya bagian ornamental masjid, yang sejatinya secara wakaf sama dengan masjid.
Melihat kondisi bangunan masjid di Indonesia, rata-rata bangunan serambi adalah bagian dari masjid karena dibangun di atas tanah yang memang bagian dari masjid, meski tidak menutup kemungkinan serambi dibangun belakangan sekedar untuk pelebaran dan tidak ada perwakafan untuk bangun masjid. Kalaupun demikian, jika saat pelebaran diwakafkan untuk masjid, tetap berhukum sama dengan masjid. Termasuk pula ketika tidak diketahui, apakah sejak awal dibangun sebagai bagian dari masjid atau tidak, tetap berhukum masjid jika melihat tanda-tanda umum masyarakat yang menilai bahwa serambi adalah bagian tak terpisah dari masjid.
Dengan demikian, dalam kaitan wanita haid, nampaknya tidak ada celah untuk diperbolehkan berdiam diri di serambi masjid, karena serambi masjid berhukum sama dengan masjid. Ini pun ketika melihat pada pendapat yang menyatakan haram bagi wanita haid berdiam diri masjid. Bagi ulama yang menyatakan boleh wanita haid berada di masjid, tentu tidak memandang apakah itu serambi atau bangunan inti masjid. Semuanya berhukum boleh.
Sekedar diketahui, dalam kaitan berdiamnya seorang wanita haid di masjid ini memang ada khilaf ulama. Pendapat umum ulama, khususnya dalam madzhab Syafi’i adalah haram. Namun kemudian, ada ulama yang membolehkan wanita haid berada di masjid asal tidak mengotorinya dengan darah haidnya. Di antara mereka adalah Ibn Mundzir dan al-Muzanniy.
Di antara dasar mereka adalah sebuah hadis saat ‘Aisyah, istri Nabi, melaksanakan ibadah haji dalam keadaan haid. Saat itu, Rasulullah mengatakan:
اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ اَلْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali jangan engkau Thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits ini, Nabi tidak melarang ‘Aisyah untuk masuk ke masjid, sebagaimana jamaah haji boleh masuk ke masjid maka demikian pula wanita haid (boleh masuk masjid). Termasuk juga hadis dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah menyuruhnya untuk mempersiapkan semacam sajadah di majid, “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari masjid.” ‘Aisyah berkata, “Saya sedang haid.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu” (HR. Muslim, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Melihat pendapat ini, celah kebolehan untuk masuk ke dalam masjid bagi wanita haid masih ada. Akan tetapi, alangkah baiknya jika mengikuti pendapat yang lebih hati-hati, yakni yang mengharamkan wanita haid berada di dalam masjid. Wallahu a’lam.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri