Telur Pada Bangkai Ayam
Telur termasuk salah satu sumber makanan kaya protein paling bernutrisi. Telur ayam paling populer daripada telur lainnya, sebagai lauk hewani, karena berasal dari hewan. Tidak hanya dibuat lauk, telur juga diyakini sebagai sumber peningkat stamina, hingga jamak dibuat jamu. Telur ayam kampung menempati peringkat atas untuk dibuat jamu.
Telur merupakan cara berkembang biak bagi sebagian besar hewan atau yang dikenal dengan istilah ovipar. Biasanya, hewan bertelur ditandai dengan tak mimiliki daun telinga. Sebagai bagian dari transisi perkembangbiakan hewan, sering sering dijumpai telur sudah berubah; ada ada darah atau bahkan sudah ada hewan di dalamnya. Ada pula, ditemukan telur pada hewan yang sudah mati.
Pada tulisan ini, sedikit mengurai hukum telur; hukum telur dan saat terjadi perubahan pada telur.
Dalam fikih, semua telur hukumnya halal dimakan, selama tidak membahayakan tubuh walaupun dari hewan yang haram dimakan. Dalam kitab I’anah ath-Thalibin (1:87), misalnya, disebutkan
)قوله وكذا بيض ) معطوف على قوله وكذا بلغم أي فهو طاهر مثل المني قوله غير مأكول أي من حيوان طاهر وعبارة الروض وشرحه والبيض المأخوذ من حيوان طاهر ولو من غير مأكول
“(kata demikian pula telur) athaf pada kata wa kadza balgham, hukumnya suci, semisal mani. Kata mushannif ‘Ghair ma’kul’, artinya telur hewan suci, dan redaksi pada kitab ar-Raudh dan Syarh ar-Raudh (disebutkan), telur yang terambil dari hewan suci, meski tidak boleh dimakan”
Dari redaksi ini, ditarik sebuah penjelasan bahwa telur, baik dari hewan yang halal atau haram, adalah suci dan boleh dikonsumsi. Hanya kemudian, ulama mengecualikan telur yang diketahui membahayakan ketika dikonsumsi dan telur ular. Dalam kitab I’anah ath-Thalibin, kelanjutan dari ta’bir di atas disebutkan:
)قوله: ويحل أكله) قال في التحفة: ما لم يعلم ضرره
“(kata halal makan telur), Ibn hajar dalam kitab Tuhfah menyebutkan selama tidak diketahui membahayakan”
Untuk telur ular, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Nawawi Banten pada kitab Nihayah az-Zainnya:
فائدة: إذا فسد البـيض بحيث لا يصلح للتخلق فهو نجس، وكذا بـيض الميتة وما عدا ذلك طاهر مأكول ولو من حيوان غير مأكول كالحدأة والغراب والعقاب والبومة والتمساح والسلحفاة ونحوها إلا بـيض الحيات
“Faidah: ketika telur telah rusak (busuk), hingga tidak bisa berkembang hidup, maka hukumnya najis, demikian pula telur hewan yang telah mati (telur bangkai). Selain semua itu hukumnya suci dan boleh dimakan meskipun dari hewan yang tidak boleh dimakan seperti burung rajawali, gagak, elang, burung hantu, buaya, kura-kura dan semisalnya, kecuali telur dari golongan ular.”
Semua redaksi di atas, berkaitan dengan telur secara umum dan sudah keluar dari badan hewan induknya. Hal yang kemudian menjadi titik persoalan fikih adalah ketika telur sudah mengalami perubahan; ada darah atau rusak, di dalam telur sudah ada embrio hewan, dan telur pada induk yang menjadi bangkai. Inilah yang menjadi titik pengecualian, dan hukum mengonsumsinya pun beragam.
Kita mulai pembahasan terkait telur masih di dalam perut induk, sementara induknya sudah menjadi bangkai? Ayam mati, bukan melalui penyembelihan syara’, berhukum bangkai yang haram dikonsumsi. Saat dibedah, ternyata ditemukan telur di dalamnya.
Terkait dengan telur semacam ini, ulama berbeda pandangan dengan tiga pendapat. Ketiga pendapat ini disinggung oleh Syaikh Kamaluddin ad-Damiri, madzhab Syafi’i dan penulis ensiklopedi fauna berjudul Hayatul Hayawan al-Kubra.
البيضه التي في جوف الطائر الميت فيها ثلاثة أوجه حكاها الماوردي والروياني والشاشي
“telur yang terdapat di dalam burung yang mati terdapat tiga pendapat, sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Mawardi, Ar-Ruwyani, dan Asy-Syasyi.”
Sebagai contoh, dalam pembahasan ini adalah ayam betina mati, tanpa disembeli susuai syara’ dan di dalamnya ada telur. Untuk hewan lain, bisa dihukumi sama. Untuk hukum telur demikian ada tiga pendapat.
Pendapat pertama, memilah dengan melihat kondisi telur. Jika cangkang telur pada bangkai ayam sudah mengeras, status telur halal dikonsumsi dan bagian kulit telur atau cangkang hanya mutanajjis karena bersentuhan dengan bangkai. Berbeda jika kulit telur masih lentur dan permukaan telur belum berwujud kulit telur. Kondisi telur seperti ini hukumnya najis dan tidak boleh dikonsumsi.
Pendapat pertama ini, merupakan pendapat mayoritas ulama (Jumhur) dan terbilang ashah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnu al-Qattan dan Abi al-Fayyadh. Ad-Damiri menulis terusan dari redaksi di atas:
أصحها، وهو قول ابن القطان وأبي الفياض، وبه قطع الجمهور إن تصلبت فطاهرة وإلا فنجسة
“Pendapat yang paling sahih adalah pendapat Ibnu al-Qattan dan Abi al-Fayyadh yang juga dipastikan oleh mayoritas ulama bahwa ketika telur sudah mengeras maka telur tersebut suci, dan jika telur tidak mengeras maka telur tersebut najis.”
Pendapat kedua, tidak memilah kondisi telur pada bangkai ayam. Secara mutlak, telur pada induk yang sudah bangkai dihukumi suci, baik kondisi permukaan telur sudah mengeras atau masih luka. Pendapat ini, merupakan pendapat Imam Abu Hanifah. Alasan pandangan ini adalah
antara telur dan hewan merupakan wujud yang berbeda, sehingga status telur tidak bisa disamakan dengan induknya yang dihukumi najis karena sudah menjadi bangkai. Ad-Dumairi dalam lanjutan ta’bir di atas menyebut:
والثاني طاهرة مطلقاً، وبه قال أبو حنيفة لتميزها عنه فصارت بالولد أشبه
“Pendapat kedua, telur yang terdapat pada perut hewan burung yang mati berstatus suci secara mutlak. Pendapat ini seperti yang disampaikan oleh Abu Hanifah dengan dalih telur tersebut sudah dapat dibedakan dengan hewan yang mati, sehingga telur tersebut lebih serupa dengan anak hewan (yang masih hidup dalam perut induk yang telah mati).”
Ketiga, kebalikan dari pendapat kedua; status telur pada induk ayam yang telah menjadi bangkai adalah najis secara mutlak. Pendapat ini berdasarkan pandangan bahwa telur yang masih belum terpisah dari induknya (masih di dalam perut) dihukumi persis seperti induknya yang telah menjadi bangkai, sehingga dalam keadaan bagaimanapun statusnya adalah najis dan tidak dapat dikonsumsi. Pendapat ini adalah pendapat yang diungkapkan oleh Imam Malik. Ad-Damiri, dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubranya, kelanjutan dari redaksi di atas sebagai berikut:
والثالث نجسة مطلقاً، وبه قال مالك لأنها قبل الإنفصال جزء من الطائر وحكاه المتولي عن نص الشافعي رضي الله تعالى عنه. وهو نقل غريب شاذ ضعيف.
“Pendapat ketiga, najis secara mutlak, dan pendapat ini merupakan pendapat Imam malik. Alasannya, telur sebelum terpisah, menjadi satu kesatuan dari burung. Imam al-Mutawalli mengisahkan (pendapat ini) dari nash Imam Syafi’i. Penukilan tersebut, aneh, ganjil dan lemah.”
Ini adalah hukum telur ayam yang telah menjadi bangkai. Jika ayam disembelih sesuai aturan syara’ hingga halal dimakan, telur yang terkandung di dalamnya tentunya suci dan halal dimakan. Untuk telur yang sudah mengalami perubahan, akan dibahas pada edisi selanjutnya. Insya Allah.