Seperti apapun opini yang tercipta di tengah-tengah masyarakat, menurut hemat penulis hanya pesantrenlah satu-satunya tempat yang paling paripurna, strategis dan juga paling layak untuk kita jadikan sebagai lumbung utama dalam menuntut berbagai disiplin keilmuan dan berlapis-lapis wawasan.

Hanya saja kemudian, di samping mesti mampu menguasai berbagai macam ilmu keagamaan yang selanjutnya mereka dakwahkan kepada masyarakat luas pada umumnya, orang-orang pesantren juga mesti dapat menguasai cara berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik. Salah satunya adalah dengan cara mempelajari bahasa nomor wahid di jagat raya ini, bahasa Inggris, sehingga untuk ke depannya mereka tidak hanya bisa melancarkan dakwahnya di negeri sendiri tapi juga bisa memperluas dakwahnya hingga ke manca negeri, mengingat masih banyak saudara kita di luar sana yang haus akan siraman Islami. Oleh karenanya, membuang image jelek terhadap pemilik bahasa Inggris yang notabenenya beragama non-Muslim, merupakan kunci pertama dalam mempelajarinya.

Dalam catatan histori, Nabi pernah mengutus Zaid bin Haritsah untuk berkomunikasi dengan orang non-Arab guna menunaikan negoisasi dan meminta klarifikasi yang jelas terkait suatu hal yang penting pada saat itu. Lalu Nabi bersabda kepada para sahabat yang berada di tempat “Barang siapa yang mengerti bahasa suatu kaum niscaya ia akan selamat”.

Itulah yang selanjutnya oleh ulama diformulasikan bahwa mempelajari suatu bahasa amatlah dianjurkan bahkan berhukum sunah bilamana diniatkan untuk berdakwah.

Kunci kedua adalah dengan cara menepis habis mindset alergi belajar bahasa Inggris dengan dalih tunduk pada sumpah pemuda yang telah termaktub dan menjadi sejarah republik Indonesia, ‘berbahasa satu, bahasa Indonesia’. Di mana setiap orang yang menganut mindset semacam itu tidak akan pernah berkembang kendati pun waktu terus berkembang. Hanya orang-orang yang gagal paham fanatisme saja yang salah tempat mendengungkan pola pikir seperti itu. Mereka berasumsi bahwa belajar bahasa Inggris sama halnya dengan membuang-buang waktu serta masuk kategori orang yang latah mengikuti trend masa kini. Hal ini tentu kesalahan yang sangat fatal dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa orang-orang yang berpendapat semacam itu adalah orang yang memiliki pola pandang fundamental, tidak mengerti sejarah dan kurang peka menelaah.

Memang benar jika kronologi terbentuknya sumpah pemuda sendiri sebagai pegangan bagi kita agar kita lebih cinta terhadap bahasa nenek moyang kita. Akan tetapi salah besar jika prinsip itu digaungkan untuk menolak urgennya belajar bahasa asing. Lantas, masihkan kita terjebak dalam mindset di atas?

Kunci ketiga adalah menendang jauh stigma sulit mempelajari bahasa Inggris. Di mana jika anggapan ini mengakar erat di benak seseorang maka sudah bisa dipastikan bahwa orang tersebut selamanya tidak akan pernah bisa, hal ini mengemuka lantaran ia menyerah sebelum berlaga.

Mempelajari bahasa Inggris amatlah sulit dan membutuhkan waktu yang lumayan lama, sebab di dalamnya ada aturan-aturan baku yang berhukum haram apabila dilanggar begitu saja, seperti halnya Grammar dan pronunciation. Tapi apakah itu bisa dibenarkan? Tentu saja tidak. Buktinya, di luar sana banyak kita jumpai orang-orang yang notabenenya bukan native speaker tapi mampu berbahasa Inggris dengan baik layaknya penutur aslinya.

Walhasil, selain mampu membantu dalam melebarkan garis teritorial dakwah, setidaknya ada dua keunggulan lain yang akan diterima orang-orang pesantren bilamana cakap berbahasa Inggris. Pertama, dapat mengkaji ideologi kaum Barat yang kemudian bisa mereka rekonstruksi baik dalam debat terbuka maupun melalui bentuk tulisan. Kedua, akan menjadi nilai plus sekaligus dapat mengangkat pamor pesantren, sehingga stigma kolot yang kadung disematkan kepada santri dan sebuah pesantren sedikit demi sedikit akan pudar dan samar alias hilang..

Khoiron Abdullah

Baca juga: Urgensi Digitalisasi Pesantren

Spread the love