Saat gendang reformasi ditabuh tahun 1998, setelah pemerintah otoritarian tumbang, negera Indonesia berubah menjadi negara yang demokratis. Hak menyatakan pendapat diatur dalam undang-undang. Masyarakat bebas berekspresi, berkumpul dan menyatakan pendapat di depan umum. Kebijakan pemerintah diberikan ruang untuk dikritisi. Siapa saja berhak menyatakan dan menyampaikan pemikiran. Tak pelak pula demonstrasi menentang kebijakan dan rasa ketidak-adilan menjamur seantero negeri. Demonstrasi menjadi pemandangan yang biasa mengisi ruang Sosial Media, TV, koran, majalah dan media lainnya.
Dalam perjalanannya, Indonesia yang bermetamorfosis menjadi negara yang menganut sistem demokrasi, unjuk rasa di muka umum adalah hal yang lumrah dan dijamin oleh undang-undang. Disebutkan dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Pasal tersebut menunjukan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi maupun pendapat baik dilakukan melalui audiensi, pawai, rapat umum, mimbar bebas, bahkan bisa unjuk rasa atau dikenal dengan demonstrasi.
Dalam negara demokrasi, demonstrasi adalah aktifitas legal untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak populer atau dalam rangka menyuarakan aspirasi rakyat. Kendati demikian, sebagai negara yang beradab, demonstrasi tentunya harus dilakukan dengan aksi-aksi yang memiliki nilai etik kepatutan bangsa Indonesia.
Baru-baru ini, Omnibus Law dan UU Cipta kerja yang disahkan oleh DPR menimbulkan gelombang penolakan luar biasa dari masyarakat, utamanya kalangan buruh dan mahasiswa. Undang-undang tersebut dinilai menguntungkan para pengusaha dan sangat merugikan kaum buruh. Aksi demonstrasi pun tak terbendung dan terjadi hampir di semua daerah. Tidak sedikit demo tersebut berujung ricuh, anarkis dan pengerusakan fasilitas umum.
Sejauh manakah Islam mengatur etika kepatutannya?
Demonstrasi dalam bahasa arab disebut dengan “Muzhaharat”. Secara eksplisit dalil yang mengharamkan demo tidak ditemukan, begitu juga dalil yang membolehkannya. Kalau tidak ditemukan dalil yang mengharamkannya, maka kembali kepada hukum asal yaitu “Hukum asal dalam semua hal adalah boleh selama tidak ada nash yang mengharamkannya”. Oleh karena itu, demo adalah hal yang dibenarkan selama tidak merusak kemaslahatan umum.
Menurut Syekh Yusuf Qardhawi, dalam Islam perkara yang halal jauh lebih luas dari perkara yang haram karena sesuatu yang tidak dinyatakan haram pada dasarnya adalah halal. Hal ini diperkuat dengan hadis Nabi “Allah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kau sia-siakan. Memberi batasan-batasan, jangan kau lewati. Mengharamkan beberapa hal, jangan kau langgar. Diam atas beberapa hal sebagai rahmat bagimu, bukan karena lupa, maka jangan kau cari-cari darinya”. Dalil inilah yang dipegang oleh Qardhawi sehingga beliau berpendapat bahwa Muzhaharat dalam Islam dibolehkan, karena tidak ada dalil yang mengharamkanya.
Dalam Ihyâ ‘Ulumidîn (III/370) disinggung secara implisit bahwa demonstrasi bisa juga dikategorikan sarana atau media dalam rangka amar makruf dan nahi munkar atau menyampaikan tuntutan dan aspirasi. Karena demonstrasi merupakan bagian dari amar makruf nahi munkar, dalam kitab Ithâfus-Sâdah al-Muttaqîn, (VII/25) dijelaskan tentang ketentuan yang perlu diperhatikan dalam kebolehannya melakukan aksi demonstrasi yang meliputi:
Pertama, adanya kepatutan substansi dalam hal tidak terjadi penyimpangan, baik menurut syariat atau peraturan yang berlaku dan telah disepakati. Dan juga hal yang tuntut sudah menjadi keniscayaan yang harus dilakukan.
Kedua, adanya kepatutan cara yang mencakup: 1. Demonstrasi diyakini sebagai alternatif terakhir. 2. Dilakukan oleh mereka yang kompeten dalam masalah yang sedang didemokan. 3. Harus menjaga kamaslahatan dan ketertiban umum. 4. Tidak berpotensi menimbulkan tindakan anarkis. 5. Tidak dilakukan dengan cara yang mengarah pada pelecehan atau penghinaan, baik dari segi ucapan, perbuatan serta simbol-simbol yang lain.
| BACA JUGA : MENIKAHI PEREMPUAN HAMIL
Demonstrasi adalah upaya menyampaikan pendapat secara bersama-sama. Pendapat yang disampaikan dengan beramai-ramai mungkin lebih mudah didengar dan ditanggapi. Kebolehan menyampaikan pendapat di depan umum adalah implikasi dari negara yang menganut sistem demokratis. Jangan sampai ada pelarangan-pelarangan kepada orang yang ingin berdemonstrasi atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama.
Yang perlu diperhatikan dalam berunjuk rasa bagi umat Islam khususnya, adalah dengan mengedepankan nilai-nilai islami. Tidak boleh ada perusakan, mengganggu ketertiban umum, melakukan kekerasan, apalagi memaksakan kehendak. Selain itu undang-undang juga mengatur tata cara menyampaikan aspirasi di depan umum. Hal inilah yang perlu ditaati bagi demonstran yang ingin menyampaikan aspirasinya melalui demonstrasi.
Referensi: Ithâfus-Sâdah al-Muttaqîn, VII/25, Ihya’ Ulûmiddîn, III/370, At-Tasyrî’ al-Jina’i, II/41, Al-Fiqh al-Islâmî, VI/704- 705, Faidhul-Qadîr, II/415, Hâsyiyatul-Jamal, VIII/328.