Membincangkan desakralisasi al-Quran oleh oknum-oknum liberal, tentu tidak akan ada habisnya. Sebab konsep “dekonstruksi” yang mereka pakai lahir dari rahim Barat (awal abad modern, sebagian mengendap dalam pemikiran Barat Postmodern) yang paradigmanya mengenyampingkan konsep ketuhanan (godles); yang tidak pernah final dan mustahil akan terpuaskan. Berbeda dengan masyarakat Islam yang punya akar konsep final ketuhanan (Allah) dan agama yang kuat.
Mendeteksi wacana berbahaya tokoh-tokoh liberal juga tidak mudah, sebab harus melalui serangkaian kajian intens terkait metodologi, konsep dan teori apa saja yang mereka gunakan. Khususnya yang ada kaitan erat dengan tema sakralitas al-Quran. Banyak terma sosial-modern yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam kajian keislaman kemudian dimunculkan dalam kemasan baru oleh oknum cendekiawan Muslim liberal serta dijustifikasi sebagai bersumber dari tafsiran ayat-ayat al-Quran.
Isu-isu krusial semacam pluralisme, feminisme, humanisme, kesetaraan gender, kebebasan dan hak asasi manusia, ternyata telah ada konsepnya dalam al-Quran; hanya untuk mengenalkan kedekatan atau kemiripan ajaran Islam dengan konsep, sistem dan ide-ide Barat modern yang selalu berkembang. Bahwa Islam tidak pernah mengalami kemunduran dalam capaian bidang pemikirannya (versi mereka).
Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun, Mohammed Shahrur, Syed Hossein Nasr, Fazlur Rahman adalah sederet tokoh-tokoh top cendekiawan Muslim tingkat internasional yang beraliran liberal. Alam pemikiran Barat berhasil mencetak puluhan pemikir liberal hampir di seluruh negara Islam, tapi hanya merekalah yang pemikirannya familiar di kalangan cendekiawan Muslim tanah air.
Baca Juga: Islam Liberal Dibalik Dolar Washington
Sebagai sampel, perhatikan bagaimana pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd bisa menyempal pada kesimpulan al-Quran sebagai produk budaya (muntaj tsaqâfi), meski dalam berbagai kesempatan ia sendiri menyangkal teori kontroversialnya tersebut. Dalam bukunya, at-Tafkîr fi Zamânit-Takfîr: Dhiddul-Jahl waz-Zaif wal-Khirâfah, Nasr Hamid menulis:
إذَنْ كَانَ الْكَلَامُ الْإلَهِيْ فِعْلًا كَمَا سَبَقَتْ الإشَارَةُ, فَإنَّهُ ظَاهِرَةٌ تَارِيْخِيَّةٌ لِأنَ كُلَّ الْأفْعَالِ الإلَهِيَّةِ أَفْعَالٌ فِي الْعَالَم المَخْلُوْقُ المُحْدَثُ أيْ التَارِيْخِيُّ, وَالْقُرْأنُ الْكَرِيْمُ كَذَلِكَ ظَاهِرٌ تَارِيْخِيَّةٌ
“Jika firman Tuhan termasuk bagian dari perbuatan-Nya, sebagaimana pada uraian sebelumnya, maka sesungguhnya firman (Tuhan) itu adalah ‘fenomena sejarah’. Sebab semua perbuatan Tuhan adalah perbuatan yang telah teraktualisasi ke ruang duniawi yang bersifat temporal atau historis. Dengan demikian, al-Quran juga termasuk fenomena sejarah.” (hal: 210)
Dari satu fragmen pemikiran parsial ini saja sudah mengindikasikan penulisnya beraliran Neo-Muktazilah, terkait statemen perihal “firman Allah (al-Quran) adalah fenomena sejarah”, sama persis dengan klaim Old-Muktazilah tentang kemakhlukan al-Quran di masa lalu.
Namun, ini hanya bongkahan gunung es di laut lua yang terlihat kecil dari daratan tapi mengerikan jika diselami airnya. Pada buku berikutnya, Mafhumun-Nash ad-Dîni: Dirâsah fi Ulûmil-Qurân, Nasr Hamid secara fair menyatakan nash agama (al-Quran dan hadis) hanyalah teks linguistik biasa.
إنَّ النُّصُوْصَ الدِّيْنِيَّةَ نُصُوْصٌ لُغَوِيَّةٌ شَأْنُهَا شَأْنُ نُصُوْصُ الْأُخْرَى فِي الثَّقَافَةِ
“Nash-nash agama merupakan teks linguistik. Ia memiliki karakteristik yang tidak jauh beda dengan teks lain pada umumnya dalam tatanan peradaban (manusia).” (hal: 10)
Pada tahap berikutnya—di buku lain, Naqdul-Khitâb ad-Dîni—Nasr Hamid secara terang-terangan mulai berani menyuntikkan konsep desakralisasi, hanya saja dengan bahasa yang halus.
إنَّ الْقُرْأنَ مِحْوَرُ حَدِيْثِنَا حَتَّى الْأنَ نَصٌ دِيْنِيٌّ ثَابِتٌ مِنْ حَيْثُ مَنْطُوْقِهِ, لَكِنَّهُ مِنْ حَيْثُ يُتَعَرَّضُ لَهُ الْعَقْلُ الْإنْسَانِيُّ وَيُصْبِحُ مَفْهُوْمًا يَفْقُدُ صِفَةُ الثَّبَاتِ إنَّهُ يَتَحَرَّكُ وَيَتَعَدَّدُ دَلَالَتُه
“Al-Quran—yang responsif hingga sekarang—merupakan nash agama dengan spirit rasionalitas yang eternal. Tapi ketika konsepnya ditawarkan kepada nalar pemahaman manusia biasa (yang bukan Tuhan), maka nilai eternalnya menjadi hilang. Al-Quran itu akan bertransformasi dan terus berkembang (seperti manusia) sesuai isi penunjukannya.” (hal: 150)
Setelah berpindah orientasi dari Tuhan pemilik firman (qailun–nash) kepada Nabi Muhammad sebagai objek awal (mustaqbilul–awwal) penerima wahyu, maka al-Quran telah mulai bereaksi dengan realitas hidup (waqi’iyatul–hayât). Sebagai pedoman hidup, al-Quran harusnya dapat merespon segala hal yang dibutuhkan umat, melalui perantara Rasulullah selama 23 tahun periode wahyu. Dari bukunya, Falsafatut-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîlil-Qurân ‘Inda Ibnil-Arabî, Nasr Hamid berwacana:
وَمَعَ تَغَيُّرِ حَرَكَةِ الْوَاقِعِ وَتَطَوُّرِهَا — بَعْدَ انْقِطَاعِ الْوَحْيِ — تَظِلُّ الْعَلَاقَةُ بَيْنَ الْوَحْيِ وَالْوَاقِعِ. عَلَاقَةٌ جَدَلِيَّةٌ يَتَغَيَّرُ فِيْهَا مَعْنَى النَّصُّ وَيَتَجَدَّدُ بِتَغَيُّرِ مُعْطِيَاتِ الْوَاقِعِ
“Seperti halnya realitas yang selalu mengalami perkembangan—pasca terhentinya wahyu—sebenarnya al-Quran masih terus terhubung (dengan para pemeluknya) namun dalam bentuk dialog. Dengan begitu, makna teks (nash) yang terkandung pada al-Quran juga ikut bertransformasi, mengikuti pembaharuan realitas hidup yang terus berkembang.” (hal: 16)
Baca Juga: Ahlussunnah Dan Dinamika Perbedaan
Al-Quran sebagai produk budaya (muntaj tsaqâfi), karena ia lahir dari akumulasi berbagai peradaban (Arab, Romawi, Persia) dan agama (Pagan, Kristen, Zoroaster) yang menyatu dalam realitas kehidupan Rasulullah selama 40 tahun; sejak kelahiran hingga wahyu turun. Fase 23 tahun berikutnya—turun wahyu sampai Rasulullah wafat—al-Quran berevolusi menjadi produsen budaya (muntij tsaqâfi), karena spirit isi dan informasi di dalamnya berhasil mengubah sejarah peradaban manusia.
Bisa saja ada teori begini: “Pemikiran Nasr Hamid sejatinya revolusioner. Ia menyajikan banyak fakta bila al-Quran tidak jumud apalagi stagnan; semantik al-Quran selalu merespon kemajuan dan tidak bertolak belakang dengan aliran ilmu sains modern”. Maka, bukti celahnya bisa dilacak dalam buku kumpulan opini yang ia tulis, at-Tajdîd wal-Harâm wat-Ta’wîl: bainal-Makrifah al-Ilmiyah wal-Khauf minat-Takfîr.
وَاللَّافِتْ لِلنَظَرِ أنَّ الدِرَاسَاتِ الغَرْبِيَّةِ عَنِ القُرْانِ بُدِأَتْ بِالمَثَلِ مِنَ التّسْلِيْمِ بِطَبِيْعَتِهِ النَّصِّيَّةِ, شَأْنُهُ فِيْ ذَلِكَ شَأْنُ الْعَهْدَيْنِ الْقَدْيْمِ وَالْحَدِيْثِ لَكِنَّ التَّرْكِيْزُ فِي الدِّرَاسَاتِ الْإسْتِشْرَاقِيَّةِ الأُوْلى تَمَثَلَ فِيْ عَمَلِيَةِ الْبَحْثِ عَنِ الْجُذُوْرِ النَّصِّيَّةِ — اليَهُودِيَّةِ وَالْمَسِيْحِيَّةِ — لِلنَّصِّ الْقُرْأنِيِّ
“Yang luar biasa, studi Barat dimulai dari idealisme penerimaan penuh mereka atas karakteristik teks (nash) al-Quran (tanpa intervensi); mirip dengan studi yang mereka terapkan pada teks Perjanjian Lama (Taurat) dan Perjanjian Baru (Injil). Akan tetapi studi aplikatif para orientalis ini lebih berkonsentrasi pada kajian fundamental teks—Yahudi dan Kristen—untuk juga dicoba pada teks al-Quran.” (hal: 200).
Nalar berpikir semacam Nasr Hamid Abu Zayd ini yang ujung paradigmanya bertendensi pada orientalis, kristen ortodoks, ilmuan modern, atau pemikir postmodern; Anda pasti tahu larinya akan ke mana? Wallâhu A’lam…
Salman Alfarisi/sidogiri