Sudah selayaknya kaum santri berterima kasih kepada para anggota DPR RI yang memperjuangkan golnya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Pastinya, apa yang mereka perjuangkan itu muncul dari keinginan baik agar pemerintah lebih serius dalam memperhatikan pendidikan pesantren. Dengan adanya payung hukum setingkat undang-undang, maka eksistensi pendidikan pesantren di negeri ini akan semakin terjamin dari waktu ke waktu.
PESANTREN PLAT MERAH
Kita mengapresiasi inisiatif tersebut, meskipun sebenarnya sudah terlambat. Kaidahnya: lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Mengapa terlambat?
Jika tujuannya untuk melestarikan pesantren, maka undang-undang tersebut seharusnya sudah lahir puluhan tahun yang lalu.
Mengapa demikian? Kira-kira dalam tiga puluh tahun terakhir, masyarakat kita begitu ‘gandrung’ terhadap ijazah formal karena berbagai alasan dan latar belakang. Hal ini mengakibatkan turunnya minat mereka terhadap pesantren. Kenyataan tersebut membuat beberapa pesantren yang tidak memiliki pendidikan formal dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama sulit: tetap menjadi pesantren salaf dengan konsekuensi tidak diminati masyarakat; atau menyelenggarakan pendidikan formal dengan konsekuensi terjadinya pergeseran nilai-nilai kesalafan, berkurangnya konsentrasi tafaqquh fiddin serta pergeseran yang parah dalam hal kemurnian kurikulum.
Baca juga: Pesantren Harus Jadi Pioner
Rata-rata pesantren memilih langkah kedua, hingga akhirnya muncul istilah pesantren terpadu, pesantren modern, atau pesantren formal sebagai istilah pembeda dari pesantren salaf. Barangkali hanya pesantren-pesantren besar dengan basis sangat kuat yang tetap bertahan menjadi pesantren salaf murni, seperti Sidogiri, Lirboyo, Langitan, Sarang, dan semacamnya. Sedangkan pesantren-pesantren yang lain memilih mendirikan pendidikan formal agar tetap diminati masyarakat, sebab jika tidak, maka kemungkinan besarnya adalah gulung tikar. Kaidahnya: masih lebih baik bergeser daripada gulung tikar.
Nah, migrasi pesantren salaf ke dalam pesantren terpadu ini sudah terjadi selama beberapa dekade.
Akibatnya, saat ini hanya tersisa sedikit sekali pesantren yang masih murni salaf, murni untuk tafaqquh fiddin.
UNTUNG-RUGI PESANTREN PLAT MERAH
Nasi sudah menjadi bubur! Lalu, datanglah gagasan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan agar sistem pendidikan nasional juga mengakomodir pendidikan pesantren. Melalui undang-undang yang sedang dirancang tersebut, setidaknya ada beberapa hal penting yang mungkin terjadi dalam ketetapan undang-undangnya, di antaranya:
Pertama, pemerintah akan mengakui ijazah pesantren. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat baik dan penting, dengan catatan pemerintah tidak melakukan intervensi terhadap kurikulum, materi, sistem dan teknis pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren. Jika ada intervensi atau pendiktean, maka pengakuan tersebut tak ubahnya umpan yang dipersiapkan untuk ‘menaklukkan’ pendirian orang-orang pesantren.
Baca juga: Stereotip Khilafah Di Pusaran Demokrasi
Pengakuan ini mungkin akan sangat berguna bagi sedikit pesantren yang hingga saat ini bertahan untuk menjadi pesantren salaf. Sedangkan bagi pesantren yang sudah menyelenggarakan pendidikan formal, maka pengakuan tersebut tidaklah memiliki arti apa-apa (tahshîlul-hâshil). Tentu, sangat tidak mudah bagi mereka membubarkan pendidikan formal, hanya gara-gara karena pendidikan pesantren atau diniyahnya sudah diakui oleh pemerintah.
Kedua, wajibnya alokasi anggaran untuk pesantren dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Inilah yang mungkin sangat membantu eksistensi pesantren. Begitu banyak fasilitas dan sarana fisik pesantren yang jauh dari layak. Begitu pula kesejahteraan guru-guru pesantren. Alokasi anggaran dari pemerintah, sedikit banyak akan membantu untuk meng-upgrade sarana dan biaya operasional pendidikan pesantren. Itu harapan besarnya.
Anggaplah, alokasi anggaran itu benar-benar terwujud, maka pertanyaan yang pertama adalah apakah hati dan mental orang-orang pesantren siap menghadapinya? Jangan-jangan akan muncul kegiatan-kegiatan kepesantrenan dengan ‘bayang-bayang’ mendapatkan dana operasional dari pemerintah. Jika hal tersebut terjadi, maka pesantren sudah kehilangan maknanya yang paling sejati.
Pertanyaan kedua: Apakah pemerintah tidak akan menjadikan alokasi dana tersebut sebagai alat tawar, misalnya agar pesantren berbondong-bondong untuk menyesuaikan diri dengan selera pemerintah melalui penetapan standart-standart tertentu. Atau, dalam khayalan yang paling ekstrem, akan muncul istilah pesantren swasta dan pesantren negeri; pesantren plat merah, plat hitam dan plat kuning.
Meskipun cuma khayalan, namun hal itu setidaknya bisa kita jadikan sebagai dongeng untuk mengingatkan diri kita sendiri, sebab bantuan dana terlalu manis untuk diludahkan, meskipun gula darah kita sedang meluap.
Pertanyaan-pertanyaan di atas diutarakan bukan sebagai bentuk pesimisme, apalagi dalam rangka ‘mengganggu’ perjuangan dan niat baik teman-teman DPR kita. Sekali lagi, kita sangat mengapresiasi dan berterima kasih atas kepedulian mereka. Hanya saja, sebagai orang pesantren yang sedang menjadi obyek rancangan undang-undang tersebut, kita sudah seharusnya banyak introspeksi, waspada, tidak mudah terlena dan selalu mengambil sikap hati-hati terhadap segala kemungkinan. Jangan sampai terjebak, apalagi ke dalam sebuah euforia.
Baca Juga: Bola Liar Islam Moderat
Selebihnya dari itu, kita hanya ingin memberi masukan, bahwa pada hakikatnya yang disebut melestarikan pesantren bukanlah dengan membangunkan gedung yang megah, menyediakan fasilitas yang mewah, memberikan pengakuan ijazah, atau memberikan kesejahteraan yang cukup. Pesantren sudah hidup berabad-abad dengan tanpa semua ini. Melestarikan pesantren yang sesungguhnya adalah dengan membumikan nilai-nilai asli pesantren yang diwariskan oleh para ulama serta menjaga kemurnian ajaran-ajaran pesantren yang digali dari kitab kuning semenjak berabad-abad.
Ahmad Dairobi/sidogiri