Dakwah tak hanya dari panggung ke panggung. Dakwah memiliki banyak lahan dan cara yang beragam, salah satunya dakwah via digital. Banyak dai dan pesantren mulai merambah ke dakwah digital, namun banyak kalangan yang menilai masih monoton dan menjemukan. Seperti apa dan bagaimana langkah para dai dalam memasuki ranah dakwah digital? Berikut wawancara N. Shalihin Damiri dari Sidogiri Media dengan Buya Yahya Zainul Ma’arif, Pengasuh Lembaga Pendidikan dan Dakwah Al-Bahjah, Cirebon.
Bagaimana Buya merespon Dai yang berdakwah via digital?
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه. أما بعد..
Dakwah adalah tugas semua umat Nabi Muhammad. Siapa pun harus mengambil bagian dakwah agar menjadi’sebaik-baik umat yang dihadirkan oleh Allah di tengah-tengah bangsa manusia.’ Kemudian karena dakwah adalah tugas semua, maka yang dibidik pun harus semua umat manusia. Semakin luas media-media atau cara-cara untuk berdakwah tentu semakin besar manfaat dan jangkauannya.
Dalam berdakwah kita tidak boleh hanya mengandalkan satu cara atau satu model saja, karena tidak semua orang bisa menerima dengan cara tersebut. Sementara nurani mereka sebagai orang beriman menanti seruan kebenaran. Khususnya di era global ini, di era informasi ini, kita harus menggunakan media-media infomasi untuk menyampaikan pesan-pesan kebenaran ke seluruh lapisan masyarakat seluas-luasnya.
Intinya dakwah itu menyampaikan pesan dan menyampaikan pesan itu disesuaikan dengan zaman dan keadaan, dengan berbagai macam cara. Artinya, dakwah adalah kewajiban yang harus diemban oleh semua umat Nabi Muhammad dan dakwah harus sampai kepada semua umat Nabi Muhammad. Karena dakwah itu untuk semua, maka caranya pun harus berbeda-beda sesuai dengan beragamnya cara hidup dan budaya manusia.
Imam Haddad menyebutkan bahwa, “Allah akan menghadirkan di setiap masa juru dakwah yang akan berbicara dengan lisan zamannya”. Maka di zaman ini kita harus bisa menjadi juru dakwah yang seutuhnya, kita harus bisa bicara dengan lisan zaman ini, yaitu zaman digital. Wallahu a’lam bish-shawab.
Sepenting apa peran pesantren?
Pesantren harus menjadi pionir dalam hal ini karena pesantren adalah sumber informasi yang benar. Di situlah dipelajari dan diajarkan ilmu-ilmu agama. Karena pesantren adalah sumber informasi, maka harus ada aliran-aliran yang bisa menyampaikan informasi tersebut kepada masyarakat.
Ulama zaman dahulu berpesan: ‘Seorang santri setelah pulang harus menghadap ‘dampar’ alias bangku dengan kitabnya untuk sorogan atau mengajar umat’. Itu adalah bahasa sederhana yang harus diterjemahkan sesuai dengan zaman, bukan hanya mengandalkan satu cara yaitu di hadapan bangku sorogan, akan tetapi harus dimaknai luas yaitu bagaimana seorang santri mampu mentransfer ilmu kepada masyarakat dengan bermacam-macam cara sesuai dengan zamannya.
Maka dari itu di era digital ini pesantren harus mengambil bagian, bahkan menjadi pionir dalam hal ini. Karena yang mempunyai informasi yang benar adalah pesantren. Saat pesantren tidak mempunyai media-media penyampaian yang handal, maka informasi akan keluar dari sumber yang salah. Sehingga berita-berita kejahatan, kebatilan dan kesesatan akan tersebar karena media informasi bukan santri yang memegangnya.
Bukankah lebih baik dakwah secara langsung atau door to door?
Dakwah door to door itu salah satu cara, artinya santri itu jangan gampang terpesona dengan satu cara, lalu cara lain dilupakan. Tidak bisa dipungkiri cara yang paling istimewa dan utama mentransfer ilmu adalah dengan manhaj talaqqi yang dari masa ke masa tidak bisa kita hilangkan, yaitu cara mentransfer ilmu dengan cara berhadapan antara guru dengan murid. Membangun kedekatan antara guru dan murid termasuk dengan cara door to door tadi.
Akan tetapi tidak semua orang bisa belajar langsung berhadapan dengan sang guru. Maka dengan adanya media-media informasi di era digital ini, sangat membantu untuk menyampaikan ilmu kepada masyarakat yang lebih luas.
Bahkan ini adalah cara yang termudah saat ini untuk memindahkan informasi, entah itu informasi baik atau buruk. Alangkah tertinggalnya kita sebagai santri dalam menyampaikan dan mentransfer ilmu kepada umat jika hanya mengandalkan cara penyampaian door to door, sementara iblis dan bagundal-bagundalnya dengan gencar menggunakan media-media informasi di era digital ini untuk mengirim kebejatan ke rumah-rumah umat Nabi Muhammad. Wallahu a’lam bish-shawab.
Beberapa pesantren sudah dakwah via digital tetapi tema dan kontennya terkesan monoton. Bagaimana tanggapan Buya?
Adapun tema yang katanya monoton di saat santri ingin menekuni dunia digital ini ternyata temanya terkesan monoton, dan sebagainya, sebetulnya ini adalah perlu kecakapan dalam meramu. Bahasa sederhana kami adalah: ‘Santri atau pesantren atau lulusan pesantren adalah orang pandai masak.’ Maksudnya, kalau dalam dunia kuliner santri ini pandai masak, cuma kurang belajar menyajikannya. Artinya santri itu punya banyak ilmu, akan tetapi banyak di antara mereka yang kurang cakap dan pandai di dalam menyajikannya. Maka dari itu setelah seorang santri menuntut ilmu, selanjutnya harus belajar bagaimana menyajikannya dengan cara yang baik, benar dan menarik.
Belajar menyajikan ini adalah ilmu yang lain lagi. Tidak cukup ilmu itu dimiliki, akan tetapi bagaimana menyampaikan. Termasuk di antaranya bagaimana mengemas dengan indah dan menarik, harus dikuasai.
Seorang santri harus bisa membaca cara-cara menyampaikan informasi yang jitu dari masa ke masa, sekaligus bagaimana informasi itu bisa terus hangat dan menarik dari masa ke masa dan setiap tempat. Mengetahui lika-liku menyebarkan informasi di era digital adalah satu hal yang harus dikuasai oleh juru dakwah di zaman ini. Wallahu a’lam bish-shawab.
Baca juga: Rahmatan Lil Alamin Bukan Toleransi Tanpa Batas
Pesan Buya bagi para dai dan sivitas pesantren
Untuk para santri harus mengerti prioritas. Pertama dan utama adalah berbekal ilmu yang benar dan kuat, jangan sampai seperti kebanyakan orang zaman sekarang dalam belajar, banyak mengandalkan media internet lalu lupa cara belajar yang dilakukan salafuna as-saleh dengan manhaj talaqqi. Artinya, para santri harus tekun belajar dengan manhaj talaqqi di pesantren, dengan serius. Harus benar-benar menguasai ilmu pesantren dan menjadi seorang alim yang sesungguhnya.
Kemudian setelah itu mengikuti perkembangan zaman dengan mengenal dan menekuni media-media informasi seperti televisi, radio, majalah, dll. Himbauan kami adalah: Pertama, meyakini bahwasanya pesantren adalah tempat dan sumber ilmu. Wajib bagi siapa pun yang ingin menyebarkan ilmu untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya di pesantren. Kedua, meyakini bahwa untuk menyampaikan ilmu kita perlu cara yang tepat, sesuai dengan zaman dan tempat. Termasuk di antaranya adalah menguasai media informasi modern di era global ini.
Dua hal tersebut ibarat dua kaki manusia untuk berjalan melangkah menuju kesuksesan dalam dakwah. Bagi yang hanya menekuni salah satunya, seperti orang yang berkaki sebelah, pincang dalam dakwahnya. Mempunyai ilmu tapi tidak pandai menyampaikan atau pandai menyampaikan tapi tidak ada ilmu yang cukup untuk disampaikan.
Ketiga, jika kita sebagai santri atau para ustadz tidak menguasai media informasi, maka hendaknya menyempurnakan tugas dakwah, yakni kita memberdayakan siapa pun yang punya keahlian di dalam hal tersebut untuk bisa bergabung dengan kita. Itulah hakikat tolong-menolong dalam kebaikan, menyertakan siapa pun dari umat Nabi Muhammad untuk bisa ikut andil dalam berjuang. Itulah yang diinginkan Baginda Nabi sehingga bisa saling melengkapi dalam berjuang menuju ridha Allah. Wallahu a’lam bish-shawab.
Baca juga: Presiden Dari Pesantren