Urusan teknis hampir selalu bersifat kondisional-opsional, bahkan dalam konteks dakwah sekalipun. Media, sarana, cara, strategi, alat serta perlengkapan-perlengkapan lain masuk ke dalam kategori al-mutaghayyirât (hal-hal yang bisa berubah dan berkembang) walaupun tidak secara mutlak. Hal-hal yang menjadi penunjang bagi terwujudnya sebuah visi dan terlestarinya sebuah prinsip sudah semestinya terus berkembang, menyesuaikan dengan perkembangan peradaban umat manusia.
Karena itulah, pada era informasi seperti saat ini, pesantren salaf sekalipun sudah semestinya ikut memasuki gelanggang digitalisasi. Media digital diprediksi akan terus meningkat dan akan semakin diminati oleh masyarakat zaman akhir. Hal itu merupakan realitas yang tidak bisa dihindari karena media digital memang lebih praktis, lebih irit dan lebih efesien.
Jika orang-orang pesantren absen dari dunia ini, maka gelanggang yang sangat luas tersebut akan dikuasai oleh orang lain. Hal ini tentu saja berbahaya bagi perkembangan umat kita, baik secara ideologis maupun secara moralitas. Tidak jarang kita dengar, beberapa orang di sekeliling kita memiliki paham keagamaan yang menyimpang gara-gara mengaji kepada ‘Mbah Google’. Tidak jarang pula kita temukan perilaku menyimpang, terutama dari kalangan anak-anak remaja, gara-gara ‘terinspirasi’ oleh apa yang mereka temukan dari dunia dunia digital.
Secara teknis, menerjuni gelanggang digital, boleh jadi merupakan babak yang benar-benar baru bagi dunia pesantren. Akan tetapi, secara prinsip strategis dan garis besar dakwah, hal itu justru merupakan tradisi para ulama kita sejak dagulu kala. Dalam arti, bahwa dakwah para ulama sejak masa-masa awal hingga saat ini, hampir selalu memanfaatkan perkembangan peradaban dan arus budaya masyarakat sebagai alat untuk mendakwahkan ajaran dan syiar agama Islam.
Dakwah Wali Songo di Indonesia merupakan contoh paling tepat untuk hal ini. Mereka dikenal dengan dakwah kultural, membaur, dan memanfaatkan budaya setempat untuk memasukkan nilai-nilai ajaran Islam. Seandainya Wali Songo hidup pada masa sekarang, tentu mereka tidak akan lagi menggunakan media wayang, tembang, gending dan semacamnya. Mereka pasti akan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi saat ini. Mungkin mereka akan menguasai berbagai bahasa pemograman aplikasi yang berbasis web, berplatform Android dan semacamnya.
Dulu, di masa Abad Pertama dan Kedua Hijriah, pada masa sebelum ditemukannya produksi kertas, para ulama kita menjadikan hafalan sebagai cara utama penyebaran ilmu. Lalu, ketika era kertas dimulai, maka para ulama kita memanfaatkannya secara maksimal, juga untuk penyebaran ilmu. Berkat kesungguhan para ulama tersebut, khazanah keilmuan mereka yang luar biasa itu bisa terus kita nikmati sampai detik ini.
Nah, di era modern saat ini, ada tanda-tanda kuat bahwa dominasi kertas akan segera berakhir, digantikan oleh media digital. Maka, tidak boleh tidak, kitapun harus mengisinya, minimal untuk mengimbangi atau menghalau arus pengaruh negatif dari pihak-pihak yang tidak sejalan dengan Islam atau dengan Ahlussunah wal-Jamaah. Tantangan ini menjadi sangat berat bagi kalangan pesantren karena untuk sementara ini mereka belum memiliki kesiapan skill untuk bisa bersaing di arena digital. Maka, kesiapan skill ini harus terus menerus diasah dan diupdate agar di arena digital ini, santri tidak hanya menjadi ‘korban’, tapi juga bisa menjadi ‘komandan’.
Namun demikian, sangat perlu diingat, bahwa arena utama kaum santri tetaplah kehidupan sosial masyarakat secara riil. Dunia digital hanyalah salah satu sisi kecil dari kehidupan masyarakat yang sudah semestinya kita isi karena telah menjadi media yang paling berpengaruh dalam hal arus sebar informasi. Selain dunia digital, tentu terdapat sisi-sisi lain dari kehidupan masyarakat yang lebih strategis dan tidak akan pernah bergeser sampai kapanpun, yaitu kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Ketiga-tiganya akan terus menjadi medan utama dakwah sampai kapanpun.
Sama halnya dengan pelaksanaan pendidikan di pesantren. Metodologi yang digunakan boleh terus berubah dan mengikuti perkembangan, akan tetapi ngaji langsung kepada Kiai merupakan hal utama yang tidak boleh berubah, apalagi ditinggalkan. Metode-metode pendidikan yang lain hanyalah sebagai pendamping bagi ngaji langsung kepada kiai.
Secanggih-canggihnya media digital, ia tetaplah sebuah mesin dan benda mati yang memiliki banyak kelemahan mendasar untuk menggantikan kompleksitas kemampuan manusia. Mesin tetaplah mesin, tidak akan bisa menjadi manusia yang bernyawa.
Dakwah digital memang memiliki kelebihan dalam hal efesiensi dan kepraktisan bagi sampainya sebuah informasi atau ilmu kepada masyarakat luas. Namun, ia sangat lemah atau bahkan nol dalam hal tertanamnya nilai-nilai keteladanan kepada masyarakat. Keteladanan merupakan unsur paling mendasar dalam dakwah yang nyaris tidak tercover oleh digitalisasi.
Sudah sangat maklum, bahwa munculnya kader-kader hebat di sepanjang sejarah umat ini, bukanlah produk ilmu pengetahuan semata, melainkan juga produk keteladanan yang benar-benar disaksikan, bukan hanya sekadar diceritakan; benar-benar dilihat, bukan hanya sekadar didengar. Karena itulah, pada masa-masa ulama salaf dulu, santri lebih sering disebut sebagai shâhib (orang yang menemani) dibanding muta’allim (orang yang belajar). Sebab, substansi utama yang hendak ditransmisikan dari ulama kepada santri bukan hanya ilmu pengetahuan yang membuka cakrawala pikiran, tapi juga keteladanan yang menumbuhkan tunas-tunas inspirasi.
Selain mengaji langsung kepada sang ulama, para santri zaman dahulu juga sering menemani dan berkhidmah kepadanya dalam sehari-hari. Dari sela-sela itulah mereka bisa menyaksikan ribuan teladan dari kehidupan sehari-hari sang guru. Penglihatan langsung tersebut jauh lebih mengena dan tertanam kuat di dalam hari sang murid, sehingga jadilah inspirasi yang kokoh. Lisânul-hâl afshah min lisânil-maqâl.
Hal-hal mendasar inilah yang ‘tidak bisa tersaji’ dalam era digital kita saat ini. Medan digital dan media sosial lebih sering menampilkan agama sebagai pengetahuan dan informasi, bukan sebagai sikap dan perilaku. Mungkin karena itulah, generasi ‘baru’ yang lahir dari produk digital, lebih gemar berdebat daripada berbuat.
Ahmad Dairobi/sidogiri
Baca juga: Mengindonesiakan Islam?