اخرج من أوصاف بشريتك عن كل وصف يناقض عبوديتك، لتكون لنداء الحق مجيباً، ومن حضرته قريباً
Bebaskanlah dirimu dari sifat-sifat kemanusiaan yang berlawanan dengan sifat-sifat kehambaanmu, agar engkau dapat memenuhi panggilan al-Haqq (Allah) dan berada dekat di sisi-Nya.
Secara lahiriah, struktur tubuh manusia tersusun dari 206 kerangka tulang yang mendukung dan melindungi organ tubuh yang lunak. Antara satu tulang dengan yang lain dihubungkan oleh persendian. Tulang-tulang tersebut terhubung dan tersambung secara rapi, dilengkapi dengan sistem saraf dan otot-otot. Kemudian Allah menyempurnakan kerangka tulang manusia itu dengan balutan daging dan kulit agar nampak indah dan menawan. Namun, topik utama kali ini bukanlah pada struktur tubuh lahiriah itu, tapi lebih berkenaan dengan sifat-sifat dan karakter bawaannya.
Secara global, sifat dan karakteristik manusia terbagi menjadi dua jenis. Pertama, sifat terpuji seperti sabar, tawadduk, qana’ah, dermawan, zuhud, ikhlas dan lain-lain. Kedua, sifat tercela seperti sombong, pemarah, kikir, iri hati, dendam, riya’, rakus dan lain-lain.
Dalam al-Quran Allah berfirman (artinya) “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syams: 7-8)
Dan dalam ayat lain Allah berfirman (artinya) “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan: 2)
Maksudnya adalah, sperma yang merupakan awal penciptaan manusia memiliki beragam karakter dan sifat yang berbeda-beda. Setelah sperma itu menjelma menjadi manusia sempurna maka karakter dan sifat itu semakin nampak jelas. Ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang terpuji dan ada yang tercela. Pada saat itulah, Allah menguji manusia dengan sifat terpuji dan tercela tersebut. Oleh karena itu, Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari kembali mengingatkan kita akan hal itu melalui kalam hikmahnya di atas, agar berupaya menyelamatkan diri dari sifat-sifat tercela. Sedangkan sifat-sifat yang terpuji sebaiknya diperlihara dan lebih ditingkatkan lagi. Sebab, untuk bisa menjalani kehidupan secara sempurna serta sesuai dengan tuntunan syariat sangat dibutuhkan adanya sifa-sifat terpuji.
Lalu apakah sifat-sifat terpuji dan tercela merupakan karakteristik manusia yang telah diciptakan Allah sejak penciptaannya? Tentu saja, dengan berlandaskan dua ayat di atas dan beberapa ayat lain. Hanya saja, pendidikan, pergaulan dan lingkungan sering kali menyebabkan sifat terpuji lebih dominan dari pada sifat tercela, atau sebaliknya.
Lalu mengapa Allah menciptakan sifat tercela? Kenapa tidak yang terpuji saja? Pertanyaan ini tak bisa dijawab kecuali dengan memahami dua hal.
Pertama, bahwa sifat-sifat tercela pada hakikatnya juga memiliki aspek positif yang sangat berguna dalam menyeimbangkan kehidupan manusia, baik individu maupun sosial. Sifat pemarah contohnya. Andaikan tak ada sifat itu maka orang yang terzalimi tak akan berkeinginan membela diri. Kezaliman akan meraja lela dan hak-hak akan diinjak-injak. Demikian pula sifat kikir. Andaikan tak ada sifat kikir maka manusia akan menghambur-hamburkan harta kekayaan yang ia dapatkan dengan susah payah, tanpa ada gunanya dan tanpa menyisakan sedikitpun untuk dirinya dan keluarganya. Begitu juga dengan sifat cinta dunia, andaikan tak ada itu maka tak akan orang yang mau bekerja, tak akan ada kuli bangunan, dan tak akan ada orang mau saling menopang kehidupan satu sama lain. Sehingga, tak ada yang namanya kehidupan bermasyarakat dan dunia tak lagi berpenghuni.
Dengan demikian terciptanya sifat-safat tercela itu sebenarnya juga memiliki dampak positif dan menyimpan hikmah agung yang dirahasiakan oleh Allah dalam penciptaan manusia. Namun, kurangnya pendidikan dan perhatian secara intens mengakibatkan sifat-sifat tercela beraktifitas melewati batas yang pantas menurut syariat. Sifat-sifat tercela pun berubah, yang awalnya berguna sebagai penyeimbang kehidupan menjadi pemusnah kehidupan.
Kedua, harus dipahami bahwa pertanyaan ini sebaiknya muncul dari seseorang yang tidak mengetahui tentang adanya hari pembalasan kelak; yang baik dibalas baik dan yang buruk dibalas buruk. Karena jika pertanyaan ini muncul dari seseorang yang mengetahui adanya hari pembalasan kelak maka pertanyaannya dianggap bermain-main dan salah besar.
Apabila manusia menyadari dunia ini sebagai tempat taklîf dan ujian kemudian mencoba memahami firman Allah (artinya) “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6) maka ia akan mengerti alasan Allah memerintahkannya agar berusaha menyelamatkan diri dari sifat-sifat tercela. Andaikan kehidupan manusia di dunia ini tidak disertai taklîf dan ujian maka kehidupan mereka seolah-olah tak ada gunanya, bahkan hanya permainan sandiwara. Karena upaya dan jerih payah itulah, Allah membalas kebaikan mereka dengan pahala dan janji surga.
Alhasil, manusia tidak diperintahkan agar membebaskan diri dari sifat tercela sebebas-bebasnya atau menghilangkan sifat tercela dari dalam dirinya sebersihbersihnya. Hal ini tentu mustahil, karena selagi manusia masih menjadi manusia maka sifat manusiawi itu tak akan bisa lepas darinya. Bahkan, sebagaimana kesimpulan dari jawaban pertama, sifat tercela itu tak boleh dibersihkan secara total karena pada hakikatnya masih memiliki dampak positif yang dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang kehidupan manusia di dunia. Hanya saja perlu dibatasi dengan cara dilatih dan dididik sebaik mungkin agar tidak melewati batas dan rambu-rambu yang telah ditetapkan syariat.
Petikan akhir dari kalam hikmah di atas “agar engkau dapat memenuhi panggilan al-Haqq (Allah) dan berada dekat di sisi-Nya” mengindikasikan bahwa meskipun manusia telah banyak melakukan berbagai ragam ibadah seperti shalat dan puasa, hal itu tak akan membuatnya semakin dekat di sisi Allah atau dapat memenuhi panggilan-Nya selagi sifa-sifat tercela yang bertentangan dengan sifat-sifat kehambaan itu masih menguasainya. Adapun ragam ibadah yang dilakukannya hanya dapat dirasakan luarnya saja, ibarat lukisan yang tak berjiwa.