Dengan memasuki hari pertama Bulan Muharram, berarti umur telah berkurang tanpa terasa. Namun yang menjadi tanda tanya besarnya, apakah amal kita semakin bertambah dan umur yang sudah terlewati semakin berkah? Dengan melakukan ketaatan sebanyak-banyaknya, sebagai langkah selanjutnya untuk lebih giat beribadah dan menambah amal baik sebanyak-banyaknya. Bukan merayakan tahun baru Islam dengan seremonial acara yang tak bermanfaat, apalagi menjerumuskan ke dalam jurang kemungkaran, lebih-lebih kekufuran.
Para ulama telah sepakat bahwa perayaan Tahun Baru Hijriyah semisal perayaan Maulid, Israk Mikraj merupakan perkara bid’ah, yaitu sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah dan para shahabat, sesuai definisi dari Sulthânul-Ulama Syekh Izzuddin bin Abdis Salam dalam kitab Qawaid-nya.
Selanjutnya, beliau merumuskan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima bagian; besifat wajib, haram, sunah, makruh dan mubah.
Sedikit berbeda dengan pendapat beliau, Imam Idris as-Syafii membagi bid’ah dalam kitab Khulashah-nya menjadi dua bagian; Mahmûdah (dipuji), dan Madzmûmah (dicela). Bila tidak bertentangan dengan koridor syara’, maka tergolong Mahmûdah. Bila sebaliknya, maka tergolong Madzmûmah.
Dari komentar dua ulama karismatik ini, segala perayaan dalam bentuk apapun seperti perayaan Maulid, Israk Mikraj, dan peryaan tahun baru Islam secara spesifik, tergantung dari isi dan kandungan dalam setiap perayaan-perayaan tersebut. Dari sinilah, kita dapat melihat kebijaksanaan ulama Nusantara terdahulu. Mereka “menyisipkan” hal-hal yang baik di setiap perayaan tahun baru Islam. Seperti dengan mengisi perayaan tahun baru Islam dengan tadarus al-Quran, majelis taklim, royalan (sedekah), pembacaan doa akhir tahun dan awal tahun secara berjamaah dan segala bentuk kegiatan baik lainnya. Tentu kegiatan-kegiatan barusan bernilai qurbah atau ibadah yang disunahkan.
Syekh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi, pengarang I’ânatuth-Thâlibîn menukil tanggapan Imam Abu Syamah mengenai problematika hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad diisi dengan memperbanyak sedekah, kebaikan, berhias diri dan menampakkan kegembiraan, beliau menjawab bahwa pekerjaan tersebut merupakan implementasi dari rasa cinta kepada baginda Rasulullah dan rasa syukur kepada Allah yang tergolong bid’ah hasanah.
Dari sini, tentunya perayaan tahun baru Islam yang diisi dengan kegiatan-kegiatan positif di atas bernilai ibadah bagi para pelakunya, dengan catatan selagi tidak tercampur hal-hal yang diharamkan oleh syara’.
Hanya saja, realita di sekitar kita tidak sedikit masyarakat yang masih awam merayakan tahun baru Islam dengan hal-hal kurang baik, seperti konvoi di jalanan, karnaval, dan parade dengan membawa berbagai macam patung, dll.
Ada pula masyarakat yang merayakannya dengan kegiatan baik, namun masih disertai dengan perkara haram dan munkar dalam perayaannya. Semisal, merayakannya dengan mengundang biduan shalawat bergambus, terjadinya campur baur laki-laki perempuan tanpa satir, atau dengan shalawat bersama namun sambil berjoget ria.
Problematika barusan dalam diskursus fikih perlu diklasifikasi, untuk permasalahan pertama, yaitu karnaval patung dan konvoi di jalanan hukumnya haram, sebab tergolong tashwîrul-hayawân dan mempersempit serta mengganggu pengguna jalan.
Perihal permasalahan yang kedua, yaitu kegiatan positif bercampur munkar, ulama terbagi menjadi dua pendapat. Pertama, menghukumi bahwa ketika perkara sunah secara syara’ bercampur dengan perkara haram, maka yang sunah tetap berhukum sunah, namun para pelaku wajib menghilangkan kemunkarannya. Bila tidak, maka mereka berdosa. Kedua, berpendapat bahwa hukumnya perayaan tahun baru Islam yang dibarengkan dengan perkara munkar berdampak hukum haram secara keseluruhan.
Senada dengan pendapat yang kedua ini, KH. Hasyim Asyari, pendiri NU, dalam kitabnya At-Tanbîhâtul-Wâjibât-nya menyatakan bahwa perayaan Maulid dan semacamnya ketika dicampuri perkara munkar, maka dihukumi haram. Sebab tergolong menempatkan perkara yang diagungkan di selain posisi atau tempat yang diagungkan. Hal ini berdampak haram.
Sedikit imbuhan, Syekh Said Ramdhan Al-Buthi berargumen bahwasannya tidak ada ketentuan waktu pasti dalam merayakan perayaan Islam di atas, khususnya tahun baru Islam. Sebab yang terpenting dalam setiap perayaan di atas adalah memperoleh kesempatan dapat berkumpulnya elemen masyarakat dan mengarahkan mereka ke dalam kegiatan-kegiatan yang positif secara syara’. Bahkan kegiatan-kegiatan berkumpulnya umat Islam semacam itu dianggap baik karena dapat menarik turunnya rahmat dan anugerah dari Allah. Lebih-lebih perayaan tahun baru Islam dapat menjadi replika syiar Islam di bumi Nusantara ini. Wallahu a’lam.
Baca juga: Tuhan Tidak Mati
Baca juga: Pelarian Yang Tak Pasti