Semenjak bibit-bibit paham Barat sekuler ditanamkan pertama kali di bumi Indonesia oleh pelopor utamanya Nurcholis Madjid pada tahun 90-an, dan terus tumbuh subur hingga saat ini, menuai banyak kontroversi dari para cendekiawan dan para ulama Indonesia. Gembar-gembor perlunya dekonstruksi syariah serta pemisahan agama dari konstitusi negara—seperti yang telah berhasil dilakukan oleh Barat untuk memajukan budayanya—dan juga sebagai solusi untuk menghadapi berbagai macam peroblematika yang hadir di tengah-tengah bangsa. Namun demikian, selain banyak kalangan yang menggugat keras gagasan “pembaharuan Islam” ala Nurcholis Majid ini, juga banyak yang merespon positif dan menyabut gembiran gagasan yang ditawarkan olehnya.
Azyumardi Azra misalnya, memberikan legitimasi dan pujian yang berlebihan terhadap “pembaharuan” yang dicanangkan oleh Nurcholis Madjid di dalam tulisannya berikut,
“Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat esoteris dan eksoteris. Dengan sangat bagus dan distingtif, ia bukan sekedar berpijak pada aspek itu, namun ia juga meberikan sejumlah pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu. Maka hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syari’ah atau fiqih dengan cara melakukan kontektualisasi fiqih dalam perkembangan zaman”
Padahal, Nurcholis Madjid sama sekali tidak pernah menulis atau berbicara tentang metodologi fiqih miliknya, bahkan dia hanya mendekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya serta hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan metode hermenuetika untuk menafsiri al-Quran.
Dan di antara proyek mereka dalam menghancurkan sendi-sendi Islam adalah mendekonstruksi tatanan syariah hingga ke akarnya, mulai dari mengkritik hasil istinbat (penggalian hukum dari teks al-Quran atau pun hadis) para ulama hingga pada desaklarisasi al-Quran berani mereka tempuh sekedar untuk memenuhi hasrat birahinya.
Menurut mereka syariat Islam yang mengatasi berbagai permasalahan umat yang turun di masa Nabi tidak lagi sama ketika ingin dihadapkan pada persoalan yang berkembang saat ini. Oleh karenanya, syariat yang telah valid (qath’i) perlu ada revisi dan rekonstruksi sekedar untuk menghadapi problematika kekinian.
Atas dasar kontekstualisasi hukum seperti ini, banyak hal dari hukum-hukum Islam diubah tanpa sedikit pun rasa sungkan ataupun malu kepada firman siapa yang oleh mereka otak-atik sesuai selera mereka sendiri. Seperti halnya yang tertuang dalam Couter Legal Dark Kompilasi Hukum Islam yang disusun oleh Tim Pengarusutamaan Gender Dapartemen Agama yang telah berhasil dirumuskan oleh Muzdah Mulia dkk.. Rumusan kontroversial mereka antara lain,
Pertama, asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1), dan perkawinan diluar ayat 1 (poligami) adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2). Kedua, perkawinan beda agama antara Muslim dan Muslimah dengan orang non-Muslim disahkan. Ketiga, calon suami atau istri dapat mengawinkan sendiri (tanpa wali), asalkan calon suami atau istri telah berusia 21 tahun, berakal sehat dan rasyid/rasyidah (pasal 7 ayat 2). Keempat, ijab-qabul dilakukan oleh istri-suami atau sebaliknya suami-istri. (pasal 9). Kelima, masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah bagi laki-laki adalah 130 hari. (pasa 88 ayat 7(a)).
Ketika hukum yang telah pasti dirombak, terbukalah pintu untuk menghancurkan sistem dan nilai-nilai hukum Islam. Padahal jika sejenak mau kembali ke masa lalu, akan kita temukan banyak hal yang mengelami perubahan yang signifikan, dari mulai berubahnya kultur budaya, sosial, peradaban bangsa Arab saat Baginda Nabi masih berada di Makkah dan setelah Nabi hijrah ke Madinah, hingga masa kenabian berganti menjadi kekhiflafahan, syariat Islam masih dipraktikan dengan sempurna tanpa harus merombak ulang tatanan syariat yang telah kokoh, meskipun hal ihwal manusia dari masa ke masa mengalami perubahan dan pergesaran.
Kemudian, adalah penting untuk kita cermati sekali lagi bahwa syariat Islam bemuara dari Dzat yang Maha mengetahui segala sesuatu dari sebelum terciptanya segala sesuatu hingga akan berakhir dan binasa (baca: kiamat).
Sangat riskan, jika kemudian kita malah sok tahu terhadap kemaslahatan dan kebutuhan manusia di muka bumi dengan cara merombak ulang nash-nash ketuhanan yang telah valid, hanya untuk menghukumi sebuah polemik yang ingin kita pecahkan dengan takaran maslahah kita sendiri.
Syariat Islam tidak datang untuk mengikuti alur zaman lalu tunduk kepadanya tetapi syariat Islam datang untuk meluruskan kebiasan atau budaya yang jauh dari kata beradab dan penuh dengan kesewang-wenangan.
Tanah Arab pra-Islam adalah sebuah wilayah yang kental dengan budaya dan fanatisme kesukuannya. Oleh sebab itu ketika Nabi mendeklarasikan dirinya sebagai seorang Nabi yang mendapatkan risalah dari Tuhan, menuai banyak kecaman dan berbagai macam kezaliman yang harus beliau terima. Sebabnya, Nabi datang dengan sebuah aturan yang sangat bertolak belakang dengan budaya Arab pada saat itu; Mabuk-mabukan, perjudian, fanatisme kesukuan hingga pembunuhan anak perempuan tidak bisa dihilangkan dari catatan kelam sejarah bangsa Arab kuno.
dalam hal ini, Umar bin al-Khaththab mengatakan,
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إنَّمَا تُنْقَضُ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً إذَا نَشَأَ فِي الْإِسْلَامِ مَنْ لَمْ يَعْرِفْ الْجَاهِلِيَّةَ
“Sesungguhnya ikatan Islam akan terurai satu per satu, apabila di dalam Islam tumbuh orang yang tidak mengetahui perkara jahiliyah.”
Mengapa? Karena orang yang tidak mengetahui akhlak buruk jahiliyah, kemungkinan besar ia akan jatuh ke dalamnya. Realita kita sekarang telah membuktikan apa yang diucapkan Umar.
Bukankah Allah telah menegaskan (artinya),
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah; [05]: 03)
Berkenaan pasca turunnya ayat ini, Imam ar-Razi, menampilkan sebuah atsar yang menjelaskan; delapan puluh satu hari setelah ayat ini turun, Nabi meninggal dunia. Sehingga syariat Islam tidak mengalami penambahan dan penasakhan.
Mengatakan syariat Islam perlu ada revisi atau perubahan agar sesuai dengan konteks masa kini, sama halnya dengan mengatakan bahwa pengetahuan Allah terbatas pada dimana ayat dan syariat itu diturunkan. Padahal Allah lah yang lebih tahu akan apa yang maslahat bagi umat-Nya.
Syaikah Izzuddin bin Abdisssalam mengatakan, “Ketahuilah, ketika kamu menjumpai di dalam al-Quran sebuah ayat yang berbunyi “yâ ayyuha al-ladzîna âmanû” maka perhatikanlah dengan seksama, bahwa tidak akan kamu jumpai ayat setelahnya kecuali berupa sebuah perintah yang itu adalah terbaik untukmu atau sebuah larangan yang itu akan membahayakanmu”
Sanusi Baisuni/sidogiri
Baca juga: Ayat-Ayat Tentang Hoax
Baca juga: Sang Penyeru TauhidSetelah Zaman Fatrah
Baca juga: Tauhid Rububiyah Dan Uluhiyah