Hal pertama saat kata “anak muda” disebut, gambaran yang ada dipikiran orang-orang kebanyakan pasti tertuju pada ini: pergaulan bebas, suka tawuran, kelakuan nakal, konsumsi obat terlarang atau juga gambaran negatif lainnya. Ada baiknya jika persepsi-persepsi negatif itu di buang jauh-jauh, kemudian berharap sambil berdoa semoga Allah segera membalik keadaan jadi lebih baik.
Persepsi yang demikian tentu belum tentu benar, sebab masih banyak sekali generasi muda-mudi kita yang baik-baik, bahkan ada juga yang prestasinya ikut membanggakan Islam. Bukti sebenarnya banyak bertebaran di sekeliling kita atau di lingkungan rumah kita sendiri. Yang lebih penting di sini ialah, apakah kriteria sebenarnya pemuda yang membanggakan Islam itu sendiri? Dari Shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah pernah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنَ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ
“Sungguh Allah sangat mengagumi pemuda (juga pemudi) yang tidak pernah menyimpang dari kebenaran (Islam).” (HR Imam Ahmad)
Hadis ini sebenarnya mengandung prinsip hidup yang sangat penting, bahwa orang tua yang menanamkan prinsip positif kepada anaknya sejak usia muda dapat menentukan kesuksesan hidup di kemudian hari. Sebab perangkat otak dan jiwa yang telah dibekali cara pikir yang mapan pasti memiliki rencana yang matang dan tidak main-main dalam menjalani cobaan hidup. Apalagi anak dibekali keilmuan agama yang baik, maka tantangan hidup terlihat lebih menyenangkan baginya.
Meneladani pribadi para generasi muda shahabat Rasulullah yang kisahnya hebat-hebat, mungkin juga penting dibacakan orang tua pada anaknya untuk cerminan hidup. Shahabat Ali bin Abi Thalib, misalnya, ialah pemuda yang pertama kali Islam. Usianya ketika Rasulullah diutus adalah sepuluh tahun. Walau begitu, ia tetap memberanikan diri memeluk Islam, meski harus berselisih dengan keluarganya. Semangat keislaman yang jarang dimiliki pemuda saat ini tentunya. Lalu, apakah kondisi jamannya yang salah?
Shahabat Usamah bin Zaid, shahabat muda lainnya. Disebutkan dalam kitab Shahîhul-Muslim, bahwa ia diberi amanah menjadi pemimpin pasukan ekspedisi saat usianya baru 18 tahun. Diangkat langsung oleh Rasulullah sebelum meninggal dunia, kemudian dipertegas kembali oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, ia memimpin pasukan Muslim membalas serangan Romawi. Usia seperti itu jaman kita setara anak lugu yang sedang sekolah SMA. Kalau begitu, di mananya yang salah?
Shahabat Abdullah bin Abbas pemuda energik lainnya. Dalam rekam hidupnya, lantaran melihat kegigihannya rela berlelah-lelah mengaji ilmu, Rasulullah berwasiat selayaknya mendoakan berkah umur untuknya, padahal usianya masih bocah (ghulâm) jauh sebelum menginjak dewasa. Ketika Rasulullah wafat, usianya baru sekitar lima belas tahun. Yang miris, saat ini di kawasan pedesaan sekalipun, makin jarang kita lihat anak-anak kecil yang semangat mengaji seperti Shahabat Ibnu Abbas. Lalu, siapa yang salah?
Shahabat Amr bin Salimah pernah mengalami pengalaman unik sewaktu kecil. “Kala itu saya yakin semua shahabat pasti paham betul maksud dari pesan Rasulullah berikut ini:
صَلُّوا صَلاَةَ كَذَا فِى حِينِ كَذَا، وَصَلُّوا كَذَا فِى حِينِ كَذَا، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ، فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا .
’’Lakukanlah shalat ini pada waktu ini, dan shalat itu pada waktu itu. Jika waktu shalat sudah masuk, hendaklah seorang dari kalian mengumandangkan azan. Dan yang menghafal al-Quran paling banyak, hendaklah ia menjadi imam.’’ (HR Imam Bukhari)
Setelah ikamah selesai, jamaah shalat yang hadir saling berpandangan satu sama lain. Ketika itu tidak ada yang punya banyak hafalan al-Quran melebihi diriku, karena aku banyak belajar hafalan dari para pendahulu. Mereka pun mendorongku agar maju menjadi imam shalat, padahal usiaku masih enam atau tujuh tahun kala itu.” Kata Shahabat ‘Amr bin Salimah menutup ceritanya.
Kisah seperti ini bisa jadi sangat menakjubkan bagi sebagian orang. Anak umur enam tahun atau tujuh tahun dengan hafalan al-Quran dalam jumlah banyak, sepertinya akan dianggap “anak ajaib” untuk ukuran jaman sekarang. Pertanyaannya, mungkinkah semangat keagamaan yang menggebu-gebu demikian juga ditemukan pada muda-mudi jaman now? Kalau memang tidak, lalu apanya yang salah?
Persoalan moral dan etika muda-mudi sebenarnya termasuk problematika bangsa, yang kesemua masyarakat “sangat perlu” ikut campur untuk melakukan pembenahan bersama-sama. Problem ini bukanlah masalah kecil yang ringan dipikul, karena imbasnya akan dirasakan beberapa dekade kemudian. Nasib ke depan memang tidak ada yang tahu, tapi akibat positif-negatif dari moralitas manusiawi sebenarnya bisa dilihat sejak saat ini.
Sangat disayangkan bila kita sebagai orang tua tidak mampu mencetak generasi cerdas yang berkualitas di masa depan, yang kepribadiannya rentan tercemari efek negatif lingkungan atau teman yang buruk. Kita harus khawatir anak-anak kita esok hari akan menyesali kehidupannya sendiri, terjerumus dalam kubangan maksiat lantaran kita tidak berhasil menyiapkan pijakan yang kuat buat mereka. Renungilah firman Allah berikut ini:
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلاً يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَاناً خَلِيلاً لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنسَانِ خَذُولاً
“Dan ingatlah ketika orang-orang zalim menggigit kedua tanganya seraya berkata: ‘Aduhai, kiranya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul. Kecelakaan besar bagiku, kiranya dulu aku tidak menjadikan fulan sebagai teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Quran, sesudah al-Quran itu datang kepadaku. Dan setan itu selalu menipu manusia.” (QS al-Furqan [25]: 27-29)
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri
Baca juga: Shahabat Shuhaib Ar-Rumi