Siapa yang tidak ingin kaya? Kebanyakan orang mendambakan hidup mewah bergelimang harta. Mungkin juga termasuk Anda. Bahkan bisa jadi 99,99% aktivitas seseorang tercurahkan untuk mengejar kekayaan. Ada berbagai macam teknik, cara, dan manajemen kaya yang diramu sedemikian rupa oleh motivator dan trainer sebagai ‘mantra’ menuju sukses dan kaya. Namun di sini, Tips Pesantren berupaya membuka dialog dan membicarakan makna “kaya” dari sudut pandang yang berbeda dengan pemahaman yang lumrah kita temukan di masyarakat.
Kata “kaya” sering dikaitkan dengan sebuah kesuksesan dalam hal finansial. Meski sebenarnya kaya tidaklah identik dengan harta benda. Dalam hadis riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi pernah bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. al-Bukhari-Muslim)
Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan:
قَالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت نَعَمْ قَالَ وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه قَالَ إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب
“Rasulullah berkata padaku (Abu Dzar), “Wahai Abu Dzar, apakah kamu memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya?” Saya (Abu Dzar) menjawab, “Betul.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” Saya (Abu Dzar) menjawab“Betul.” Lantas Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya yang disebut kaya adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban)
Berkaitan dengan hadis di atas, Ibnu Baththal menyatakan bahwa hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi (semisal pejabat yang korupsi). Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu diperhatikan baik-baik bawa hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalu merasa cukup dan bersyukur). Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa kanaah dengan yang diperoleh dan selalu rida atas ketentuan Allah. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghani (kaya yang sebenarnya).
Senada dengan penyampaian Imam Ibnu Baththal, Imam an-Nawawi dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj mengatakan, “Kaya yang terpuji adalah kaya hati; hati yang selalu merasa cukup dan tidak tamak dalam mencari kemewahan dunia. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus menambah. Karena barangsiapa yang terus mencari dalam rangka untuk menambah, ia tentu tidak pernah merasa puas. Pada dasarnya ia bukanlah orang yang kaya hati.”
Baca juga: Akidah Ahlusunah Terhadap sahabat Rasulullah SAW
Dari premis di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa hakikat kaya bukanlah dilihat dari banyak-sedikitnya harta melainkan dari karakter tidak, melainkan dilihat dari karakter yang tidak merasa kekurangan; merasa cukup dan bersyukur atas pemberian Allah. Karena kaya adalah soal karakter, maka setiap orang bisa menjadi kaya tanpa menunggu memiliki banyak harta. Hal ini sebagaimana diteladankan oleh para shalihin zaman dahulu yang memiliki paradigma dan sikap selalu bersyukur dengan pemberian Allah dan tidak bergantung pada dunia.
Namun kemudian, bukan berarti menjadi orang kaya harta adalah sebuah larangan. Dalam sebuah riwayat disebukan:
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ
“Tidak mengapa kaya bagi orang yang bertakwa. Sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik daripada kaya. Dan kebahagiaan itu bagian dari kenikmatan.” (HR. Imam Ibnu Majah dan Imam Ahmad)
Pada dasarnya yang menjadi titik poin baik-buruk bukan terletak pada kuantitas harta yang dimiliki namun terletak pada kualitas hati dan cara menyikapi harta tersebut. “Bila harta sedang tidak ada, maka seseorang mestinya memilih sikap kanaah dan menjauhi sifat rakus. Bila harta sedang melimpah, maka dia seharusnya memilih sikap mendahulukan kebutuhan orang lain, dermawan, melakukan kebajikan, dan menjauhi sifat kikir,” begitu nasehat Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ Ulumiddîn. Jika ada yang bertanya lebih utama mana orang kaya bersyukur dan orang miskin yang sabar? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, Imam al-Bulqini berpendapat orang miskin yang bersabar lebih utama daripada orang kaya yang bersyukur. Sedangkan pendapat al-mu’tamad adalah sebaliknya (lebih utama kaya bersyukur daripada miskin bersabar).
M Romzi Khalik/Sidogiri