Tidak sedikit orang, bahkan kita mendapat perlakuan tidak baik dari orang lain, atau bahkan juga sebaliknya. Ketika seorang merasa kecewa dan marah karena tersakiti, satu hal yang paling sulit dilakukan adalah memaafkan. Terlebih perlakuan tersebut menyisakan goresan luka yang cukup dalam.
Meskipun kita tahu bahwa ada banyak ayat dan hadis yang menjelaskan tentang fadhilah memaafkan, tetapi dalam praktiknya, memaafkan bukanlah yang mudah. Sekecil apa pun rasa kecewa yang hinggap di rasa dan sakit hati yang menusuk kalbu, akan sulit hilang dan terhapus.
Dari itulah, diperlukan jiwa yang besar untuk memaafkan orang lain yang telah membuat kita kecewa, marah atau bahkan sakit hati yang mendalam. Dibutuhkan hati yang lapang untuk bisa memaafkan seseorang, karena kata maaf yang berasal dari al-afwu berarti menghapus, dan menghapus bekas-bekas luka demikian sulit, jangankan di hati yang memiliki rasa terdalam, luka pada kulit saja membutuhkan waktu yang lama.
Dari itulah, seorang yang memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain mempunyai sifat mulia. Dalam sebuah hadis disebutkan:
عَنْ أُبَىِ بْنِ كَعْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُشْرَفَ لَهُ الْبُنْيَانُ وَتُرْفَعَ لَهُ الدَرَجَاتُ فَلْيَعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَهُ وَلْيُعْطِ مَنْ حَرَمَهُ وَيَصِلْ مَنْ قَطَعَهُ.
Dari Ubai bin Ka’ab ra. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa senang dimuliakan bangunannya dan diangkat derajatnya maka berilah maaf kepada orang yang pernah berbuat jalim kepadanya, berilah kepada orang yang pernah menghalang-halanginya dan sambunglah silaturahim kepada orang yang memutusnya” (HR. al Hakim)
Demikian tinggi derajat orang memaafkan dan merupakan bagian dari akhlak luhur. Akan tetapi, meski sedemikian besar jaminan bagi pribadi pemaaf, tidak menjamin setiap orang mampu menjalaninya. Demikian berat untuk menerima kata maaf dari orang yang telah menyakiti, seberat memikul beban dosa dan rasa bersalah.
Pada dasarnya, ketika ada rasa tidak ingin memaafkan kesalahan yang orang lakukan, hal yang paling dominan dalam diri adalah egoisme pribadi. Rasa egolah yang menahaan seseorang untuk memaafkan. Tidak sekedar karena sakit hati. Tidak sedekar soal rasa dan perasaan, bahkan terkadang berpikir bahwa memaafkan merupakan tindakan kejahatan yang memalukan, meskipun hukum yang berjalan sebaliknya.
Karena itu, langkah awal untuk bisa memaafkan adalah dengan membuang sifat ke-aku-an terlebih dahulu. Langkah berikutnya adalah dengan tidak memasukkan setiap kekecewaan ke dalam hati. Bahasa populer di tengah masyarakat ketika ada orang yang tersakiti, “Jangan masukkan ke hati”. Adagium itu sederhana, tapi sangat mengena.
Suatu ketika, ada seorang lelaki mendatangi Rasulullah. Antara dia dan Rasulullah memiliki hubungan hutang-piutang. Lelaki tersebut, menagih Rasulullah sambil marah-marah. Para sahabat yang ada di tempat itu merasa tersinggung dengan sikap lelaki tersebut, dan hendak bertindak. Rasulullah melarang mereka dan mengatakan, “Jangan..! Orang yang memiliki hak lebih berhak untuk berkomentar”.
Para sahabat menghentikan kehendaknya. Rasulullah pun bersabda kepada para sahabat, “Berikan dia secukupnya, seekor unta seperti unta miliknya” Sabat menjawab, “Ya Rasulullah tidak ada unta kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Rasulullah bersabda, “Berikanlah kepadanya karena sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling bagus dalam membayar hutang”.
Paling tidak, ada dua pelajaran penting di hadis ini. Pertama, sikap Rasulullah yang tidak memasukkan ke hati tindakan orang yang menyakitinya. Beliau tidak gegabah menyikapi orang yang berperilaku buruk lelaki tersebut dengan menagih hutang secara keras terhadap beliau. Ini adalah langkah awal untuk pelajaran kedua, yaitu memaafkan kesalahan. Rasulullah tidak hanya memaafkan, melainkan pula memberi imbalan yang lebih baik dari tuntunan lelaki tersebut.
Dalam kaitan maaf-memaafkan, tidak ada hubungannya dengan apa yang dilakukan itu dalam rangka benar atau salah. Bisa saja, kita dalam posisi yang benar, hanya saja orang lain menyebut kita salah. Sebagaimana Rasulullah saat didatangi lelaki di atas. Diperlakukan seperti itu, jelas bukan pada tempatnya sehingga layak bagi Rasulullah untuk tidak memaafkan lelaki tersebut.
Dari itulah, Rasulullah dalam sebuah hadis riwayat al-Hakim disebutkan, “Barangsiapa yang didatangi saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada di pihak yang benar ataukah yang salah, apabila tidak melakukan hal tersebut (memaafkan), niscaya tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat).” (HR Al-Hakim).
Begitu pula tindakan meminta maaf. Meminta maaf dan mengakui kesalahan adalah perbuatan yang butuh keberanian besar dan kelapangan dada. Terlebih lagi, jika dirasa tindakannya betulbetul menyakitkan orang lain. Merasa berada dalam keadaan benar pun, jika dirasa menyakitkan, minta maaf adalah tindakan paling ilegan.
Ambil contoh, seperti yang mendatangi Rasulullah di atas, saat menagih hutang. Menagih hutang adalah benar, tetapi sikapnya dalam menagih itulah yang berpotensi menyakiti. Menawarkan barang dagangan kepada orang adalah benar. Akan tetapi, jika ia sudah menentukan pilihan kepada penjual lainnya, jelas tindakan menawarkan itu menyakitkan penjual lainnya.
Baca juga: Menjadi Suami Mesra Dan Romantis
Artinya, dalam posisi benar atau salah, maaf-memaafkan adalah tindakan terbilang mulia. Hanya kemudian, memaafkan akan lebih besar nilainya, dibanding meminta maaf. Beban memaafkan lebih berat dibanding minta maaf. Jika meminta maaf hanya dengan menurunkan tensi egoisme dan membuang rasa malu, dalam memaafkan diharuskan ada ikhlas, kejernihan dan hati yang lapang.
Sekali lagi, tidak sedikit orang, bahkan kita sendiri mendapat perlakuan tidak baik dari orang lain. Dalam kondisi seperti itu, ada rasa tidak ingin memaafkan kesalahan yang orang lakukan terhadap kita. Meski demikian, sebagai umat muslim yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, kita harus saling memaafkan, terlebih orang yang melakukan kesalahan sudah meminta maaf pada kita secara langsung, dan alangkah baiknya duluan memaafkan. Terlebih lagi, yang meminta maaf adalah family sendiri, tetangga atau saudara seiman.
Jika pun kemudian kita yang berada di posisi yang salah, sebaiknya kita buang rasa sombong dan egoisme pribadi untuk sudi meminta maaf. Dengan demikian, maaf-memaafkan bisa menjadi solusi dalam problem sosial. Wallahu a’lam.