Setiap insan bernyawa mendamba membangun mahligai rumah tangga dengan sang pujaan hati. Tak terkecuali muslimah iffah nan suci. Karena cinta tak pernah kompromi, apalah daya raga ini. Bayang-bayang kekasih terus menghantui. Mengganggu nyenak tidur malam hari. Merasuk sukma bersemayam dalam nurani. Sementara diri hanya wanita setia menanti. Penuh harap ketukan kumbang wujudkan mimpi. Ketika cinta datang menyapa, tiada yang lebih indah dari ikatan suci sehidup semati.

Dalam aturan syariat Islam, cinta memang bukan bagian dari persyaratan akad nikah. Namun, bukan berarti syariat tidak mengindahkan persoalan satu ini. Terbukti, agama menganjurkan adanya perkenalan antara dua insan yang hendak merajut janji suci. Bahkan, syariat membuka pintu pertemuan keduanya untuk saling bertatap muka guna meneguhkan niatan bersatu. Inilah bukti nyata perhatian Islam terhadap perasaan hati.

Walaupun begitu, cinta tetaplah bukan prioritas utama dalam urusan merajuk rumah tangga. Karenanya seorang wali mujbir (ayah atau kakek) berhak menikahkan anak gadisnya dengan pria yang sama sekali tidak dicintai. Dalam kondisi inilah banyak wanita kemudian bergeming dan bergumam, “Aku bukan Siti Nurbaya”. Terlebih kala hatinya telah tercuri oleh pangeran lain. Perjodohan orang tua justru semakin terasa menyiksa. Tak sedikit pula yang sampai nekat menentang kemauan orang tua. Curahan kasih sayang ayah dan bunda yang mengalir deras setiap saat ditukar dengan buaian dan belaian sang pangeran yang sesaat.

Apabila kita membaca kehidupan sang Baginda, perjodohan bukan sesuatu yang tabu. Baginda menjodohkan putri-putrinya dengan sosok pilihan yang dianggap cocok sebagai pendamping hidup buah hatinya. Bahkan sejarah mencatat Sayidina Utsman sebagai Dzun-Nurain (pemilik dua cahaya) lantaran menyunting dua buah hati Baginda. Pasca wafatnya istri Sayidina Utsman yang bernama Sayidah Ruqayyah yang tak lain adalah putri Rasulullah, Sayidina Utsman dinikahkan dengan adik Sayidah Ruqayyah yang bernama Sayidah Ummu Kulsum. Rasulullah sendiri menikahi putri sahabat karibnya, Sayidina Abu Bakar melalui perjodohan. Sayidah Aisyah dinikahi Rasullah atas kesepakatan dengan ayahnya.

Rasulullah memang mengajarkan para shahabat untuk menjodohkan anak gadis dengan pria shaleh. Dalam ajaran Islam, apabila menjumpai sosok yang tekun memegang prinsip agama, patuh kepada Allah dan senantiasa mengaplikasikan ajaran Islam dalam kesehariannya, dianjurkan bagi orang tua yang punya anak gadis untuk menawarkan putrinya kepada pria tersebut. Barangkali pria itu berkenan menjadi menantu idamannya.

Perjodohan memang bukan satu-satunya cara mengetuk belahan jiwa. Banyak cara bisa ditempuh untuk menemukan sosok yang kelak menyempurnakan separuh iman. Salah satunya dengan meminta dicarikan kepada tokoh kharismatik yang disegani. Pada suatu kesempatan Rasulullah bertanya kepada Akkaf bin Wada’ah al-Hilali, “Apakah engkau sudah beristri wahai Akkaf?” Ia menjawab, “Belum.” Rasul berkata, “Tidakkah engkau mempunyai budak perempuan?” Ia menjawab, “Tidak.” Rasul berkata, “Bukankah engkau sehat dan berkecukupan?” Ia menjawab, “Ya. Alhamdulillah.” Rasul berkata, “Kalau begitu engkau adalah teman setan, karena mungkin engkau termasuk pendeta Nasrani. Berarti engkau masuk golongan mereka. Atau mungkin saja engkau bagian dari golongan kami sehingga berbuat seperti apa yang biasa kami perbuat. Kebiasaan kami adalah beristri. Orang yang paling durhaka di antara kalian adalah orang yang membujang. Orang mati yang paling hina di antara kalian adalah orang yang membujang. Sungguh celaka kamu wahai Ukaf. Menikahlah!” Ukaf lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Aku tidak akan mau menikah sebelum engkau yang menikahkan aku dengan orang yang engkau sukai.” Rasulullah berkata, “Kalau begitu, dengan nama Allah dan dengan berkah-Nya, aku nikahkan engkau dengan Kultsum al-Humairi.” (HR Ibnu Atsir dan Ibnu Majah)

Hanya saja kala perjodohan sudah di ambang mata. Calon pendamping hidup telah diantarkan orang tua ke hadapan kita. Harus bagaimana kita merespon itikad baik orang tua?

Meskipun syariat memberi lampu hijau untuk orang tua menikahkan anak gadisnya secara paksa, dalam artian tanpa meminta persetujuan dan restu dari anaknya. Bukan lantas orang tua bebas sebebas-bebasnya memilihkan pasangan untuk putrinya. Ada beberapa persyaratan yang harus terpenuhi bagi orang tua yang hendak memilihkan pasangan untuk putrinya. Di antaranya adalah dinikahkan dengan pria yang serasi (kufû’), mas kawinnya dengan mahar mitsil, si wali dan anak tidak punya perseteruan. Persyaratan-persyaratan ini merupakan bentuk perhatian syariat agar kebahagian para muslimah lebih terjamin dengan calon suami yang akan dijodohkan dengannya. Karenanya sangat tidak beralasan bila perjodohan dianggap diskriminasi perempuan. Sebab, syariat telah menyertakan seabrek persyaratan untuk lebih menjamin kebahagiaan wanita.

Baca juga: Karena Engkau adalah Bidadariku

Pada dasarnya, meskipun seandainya syariat tidak menyertakan persyaratan-persyaratan tersebut, orang tua tidak akan sembarangan memilih calon menantu. Bila boleh jujur, pertimbangan orang tua tentu lebih matang dan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Toh, seandainya cinta belum bersemi di awal pernikahan, sosok pria yang shaleh akan lebih mudah menaklukan hati muslimah sejati. Sementara pertimbangan anak justru cenderung terbawa perasaan (baper) dan lebih mengedepankan ego. Bisikan-bisikan setan lebih bersahabat di telinga anak dari pada di daun kuping orang tua. Terlebih dengan menaati pilihan orang tua, meski kadang terasa berat dan menyakitkan, setidaknya hal itu menjadi awal yang baik dalam mengarungi rumah tangga.

Yang paling ideal tentu saja sebagai orang tua tidak boleh terlalu egois memaksakan kehendak kepada anak tercinta. Dalam urusan menikahkan saja, syariat menganjurkan kepada wali mujbir untuk meminta izin dan persetujuan putrinya kala hendak dijodohkan dengan seseorang. Apalagi jika putrinya sudah dewasa dan bisa bersikap bijaksana. Tentu saja perundingan menjadi jalan terbaik demi kabahagiaan semua pihak. Alangkah bahagianya bila sebuah pernikahan dibangun atas dasar cinta dan restu orang tua.

Saharudin Yusuf/Sidogiri

Spread the love