Seiring berlalunya bulan Syawal, banyak pula pagelaran akad nikah yang sudah dilangsungkan. Dalam khazanah tradisi orang Madura, Syawal memang dikenal dengan musim nikah. Hal itu dilandasi oleh menjamurnya perayaan akad nikah atau disebut walimah ursy di bulan Syawal. Nah, banyaknya undangan pernikahan, peralihan satu tempat ke tempat lain menghadiri walimah nikah, bisa bikin jomblowan-jomblowati baper tingkat akut, gigit jari ngiler tak karuan.

Hal itu kemudian mendorong mereka untuk segera menyusul, membuang beban mental dan gojlokan sahabat dan sanak famili. Apesnya, kalau karena terlalu tergesa-gesa ingin segera menghapus status jomblo, kemudian mereka kurang begitu selektif menentukan calon pendamping hidup. Asal tidak memalukan dibawa kondangan, dibawa ke KUA untuk dihalalkan. Karena dia yang akan menjadi tambatan cinta adalah bidadari di kehidupan kita, maka selayaknya kita harus selektif dalam memilihnya.

Pada kasus berbeda, tak jarang jomblowan-jomblowati terlalu dimakan ‘cinta semu’. Perasaan yang sebetulnya belum pantas dan belum waktunya mereka rasakan, begitu kuat mengendali dan menguasai. Akhirnya, tumbuh ego untuk sesegera mungkin menghalalkan dia yang sudah mengusik nurani. Sialnya, karena alasan tertentu kadang pihak keluarga kurang berkenan dengan pilihan itu. Entah pihak lakilaki atau wanita. Namun, karena mereka telah diracuni perasaan, segala cara dihalalkan untuk mengantongi restu dari segenap sanak saudara. Akhirnya meski berat dan sedikit terpaksa, restu itu didapat secara lahir. Sebetulnya batin keluarga masih tidak menyetujui pilihan itu.

Memilih pasangan hidup tidak semudah membalik telapak tangan, namun juga tidak sesulit mencari jarum di tengah tumpukan jerami. Asal niatnya baik dan tepat, cara yang ditempuh benar dan sesuai dengan tuntunan syariat, pasti akan dimudahkan jalan berjumpa sang bidadari. Tentunya disertai dengan doa yang senantiasa dipanjat di setiap saat.

Dalam tatanan agama, kriteria pendamping hidup paling ideal telah digariskan. Agama menempatkan ‘shalihshalihah’ sebagai ‘harga mati’. Ketika seorang pemuda ingin mengakhiri masa lajang, maka agama menganjurkan mencari wanita yang baik agamanya, cantik rupanya, terhormat garis nasabnya, dan kaya raya. Namun, jika tidak menemukan wanita sempurna itu, cukuplah bagi pemuda itu wanita yang baik agamanya atau shalihah, niscaya dia hidup dengan limpahan bahagia. Hal itulah yang Rasulullah ajarkan dalam sebuah hadis shahih yang begitu populer di tengah-tengah kita.

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Perempuan dinikahi karena empat (alasan). Hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. (Kalau harus memilih salah satunya), maka pilihlah yang baik agamanya, (niscaya) engkau hidup bahagia.” (HR. al-Bukhari & Muslim)

Mengarungi bahtera rumah tangga yang begitu bergejolak, penuh dengan cobaan dan hantaman ombak kehidupan, tentu membutuhkan pasangan yang bisa mengimbangi dan mengerti situasi dan kondisi. Sudah menjadi sunnatullah hidup tak selamanya indah. Kadang kecut dan tak jarang pahit pekat. Roda alampun senantiasa berputar. Adakalanya kita dibawa ke atas dengan segala kenikmatannya, namun tak jarang kita tersungkur ke bawah dipaksa meneguk segala deritanya. Potret kehidupan yang nano-nano dan penuh warna, tentunya membutuhkan pasangan yang bisa beradaptasi dengan segala kondisi yang serba tak pasti. Di saat bahagia dan bertabur tawa, kita membutuhkan sosok bidadari yang senantiasa mengingatkan untuk bersyukur dan berbagi dengan sesama, sebagaimana kita butuh pula pada sosok itu untuk menguatkan diri dan mengingatkan bahwa kita sedang diuji, kala kehidupan membelenggu dengan segenap derita dan sengsara.

Maka, tiada lagi yang bisa mengerti segala situasi dan kondisi, bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan suami, kecuali dia wanita shalihah sang bidadari sejati. Bidadari yang menjadi benteng suci birahi suami. Bidadari yang menjelma malaikat yang siap melayani dan membahagiakan suami. Bidadari yang menyibak diri sesuai tuntunan syar’i. Lalu dimanakah kita temukan bidadari itu?

Bagi para jomblowan yang tengah harap-harap cemas dan penuh tanya seperti apa jodohnya, ada baiknya menyimak tulisan singkat ini sampai akhir. Teka-teki siapa pasangan yang kelak melengkapi separuh iman memang kerap mengusik hati. Bayang-bayang semu seperti apa paras bidadari yang kelak menghiasi hari-hari acap kali mengganggu tidur nyenyak di malam hari. Apalagi dia yang sudah dewasa dan siap mental dan materi mengetuk hati sang bidadari. Penasaran kian menjadi-jadi.

Jawaban teka-teki siapa kelak sosok yang akan menjadi teman hidup ada pada diri sendiri. Jika kita orang baik, maka orang baik pulalah yang pantas berjodoh dengan kita. Begitu pula sebaliknya. Orang-orang buruk pantasnya berjodoh dengan yang sama-sama buruknya. Pepatah mengatakan, untuk bersanding dengan seorang putri, perlu bersikap layaknya seorang pangeran. Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS. An-Nur [24]: 26)

Baca juga: Muslimah Yang Menyejukkan Hati

Maka, untuk mendapat seorang wanita shalihah, para jomblowan perlu menyiapkan diri menjadi laki-laki shalih. Berusaha senantiasa memperbaiki diri, instropeksi secara kontinu agar terus mengalami peningkatan kualitas, sejatinya merupakan ikhtiyar terbaik mengetuk bidadari-bidadari suci nan tersembunyi. Tanamlah dalam hati, “Wahai wanita shalihah! Karena engkau adalah bidadari, ku siapkan diri agar layak menyunting dan bersanding denganmu.” Semoga kita semua dikaruniai pasangan sesuai idaman.

Saharudin Yusuf/sidogiri

Spread the love