ISLAM adalah agama yang memberikan perhatian sangat besar terhadap bersuci. Bersuci bahkan menjadi syarat berbagai aktivitas ibadah tertentu seperti shalat. Bersuci merupakan perintah agama yang bisa dikatakan selevel lebih tinggi dari sekadar bersih-bersih. Sebab, tidak setiap yang bersih adalah suci.

Dalam shalat, umat Islam selain diharuskan suci dari hadas kecil dan hadas besar, mereka juga diharuskan suci dari najis baik di tempat, badan, bangkai serangga, dan pakaian. Layaknya seorang hamba bertemu dengan raja. Jika ada kotoran dalam tubuh, tempat, dan pakaianya, maka ia pun akan merasa tak tenang karena berpikir sang raja pasti merasa tak nyaman dengannya.

Masalahnya adalah jika saat shalat atau setelah ditemukan bangkai semut, lalat, atau serangga kecil lainnya di saku baju, saku celana, atau menempel di pakaian. Mungkin sebagian orang awam menyangka bahwa bangkai tersebut dima’fu (dimaafkan) dan tidak mempengaruhi keabsahan shalat sehingga mereka, meskipun melihat bangkai semut di sakunya, akan membiarkan begitu saja. Lalu bagaimana sebenarnya hukum orang yang membawa bangkai serangga seperti semut saat shalat?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya kita mengenal dulu najis beserta klasifikasinya. Syekh Abu Bakar Syatha dalam kitabnya, “I’anatuth Thalibin” juz 1 halaman 98, menjelaskan bahwa ada empat kategori najis. Pertama, tidak dima’fu, ditolerir baik berada di pakaian maupun di air seperti kotoran dan kencing. Kedua, najis yang dima’fu jika terdapat di pakaian dan di air seperti najis hukmiah. Ketiga, najis yang dima’fu jika terdapat di pakaian tapi tidak dima’fu jika terdapat di air, seperti darah yang sedikit. Keempat, najis yang dima’fu ketika berada di air tapi tidak dima’fu ketika berada di pakaian, yaitu bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya seperti bangkai semut, lalat, kupu-kupu, dan serangga kecil lainnya.

Melihat pembagian najis di atas, bangkai semut masuk kategori najis yang terakhir, yakni najis yang dima’fu di air tapi tidak dima’fu ketika berada di tubuh dan pakaian yang digunakan seseorang. Sehingga ketika seseorang sebelum shalat mengetahui adanya bangkai serangga yang hinggap di pakaian atau tubuhnya, maka menurut mazhab Syafii wajib baginya untuk menghilangkan bangkai tersebut serta menyucikan pakaian dan tubuhnya yang terkena serangga dengan air, agar dapat kembali dihukumi suci. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka shalat yang dilakukan menjadi tidak sah dan wajib mengulanginya meskipun ia menyadarinya setelah shalat. Pendapat ini seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab “Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzab” juz 3, halaman 157:

“Penjelasan yang menjelaskan beberapa pendapat ulama tentang orang yang shalat dengan membawa najis yang ia lupakan atau tidak diketahui. Kami menyebutkan bahwa sesungguhnya pendapat yang cenderung lebih benar dalam mazhab kita, mazhab Syafii, wajib mengulangi shalatnya. Pendapat demikian diikuti oleh Abu Qilabah dan Imam Ahmad.”

Ketentuan ini tidak berlaku jika berada di tempat yang sulit menjaga dari bangkai tersebut, seperti saat musim laron. Maka tetaplah dima’fu, sebagaimana fatwa Ibnu Hajar yang dikutip oleh Syekh Abu Bakar Syatha dalam “I’anatuth Thalibin” juz 1 halaman 108:

“Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berfatwa sah shalatnya orang yang membawa bangkai lalat apabila berada di tempat yang sulit menghindarinya.”

Imam Nawawi juga menyebutkan pendapat ulama tentang orang yang tidak tahu adanya najis saat shalat atau lupa, yaitu orang tersebut tidak wajib mengulangi shalatnya. Sekali lagi, ini masih terikat dengan ketidaktahuan orang yang shalat terhadap najis tersebut. Bedahalnya jika mengetahuinya maka jelas tidak ada dispensasi. Beliau menyebutkan dalam “Al-Majmu’ ’ala Syarhil Muhadzab” juz 3, halaman 157:

“Mayoritas ulama berpendapat tidak wajib mengulangi shalatnya, pendapat demikian diungkapkan oleh Imam Ibnu Mundzir dari riwayat Shahabat Ibnu ‘Umar, Ibnu al-Musayyib, Thawus, Atha’, Salim bin ‘Abdullah, Mujahid, Sya’bi, Nukhoai, Zuhri, Yahya al-Anshari, Auza’i, Ishaq, dan Imam Abi Tsur. Imam Ibnu Mundzir begitu juga aku (Imam Nawawi) berkata, ‘Pendapat tidak wajibnya mengulangi shalat adalah pendapat Rabi’ah dan Imam Malik. Pendapat ini kuat dari segi dalilnya dan merupakan pendapat yang terpilih.'”

Jika ternyata ketentuan hukum di atas menurut sebagian orang dirasa cukup berat, maka sebagai solusi terakhir kita dapat berpijak pada pandangan Imam Qaffal yang dikutip oleh Syekh Ahmad al-Maihi asy-Syaibani dalam kitabnya, “Syarhus Sittina Mas’alah,” halaman 106. Beliau berpandangan bahwa bangkai serangga dan hewan-hewan lain yang tidak mengalir darahnya dihukumi suci. Beliau berkata:

“Imam Qaffal berkata, ‘Sesungguhnya bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya itu suci, seperti kutu, nyamuk, lalat. Maka boleh bagi seseorang mengikuti pendapat tersebut untuk pengamalan dirinya sendiri.

Dari beberapa penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa bangkai serangga yang tidak mengalir darahnya seperti semut dan lainnya dihukumi najis yang tidak dima’fu saat shalat, melainkan dima’fu ketika mengenai air saja. Sehingga, ketika bangkai tersebut mengenai pakaian atau tubuh seseorang, ia harus menyucikannya terlebih dahulu agar shalat yang dilakukan dapat dihukumi sah. Jika sengaja tidak dibersihkan, maka jelas shalatnya tidak sah, kecuali jika sulit menghindarinya atau mengikuti pendapat Imam Qaffal.

Sedangkan jika bangkai serangga diketahui keberadaannya setelah selesai melakukan shalat, maka dalam menyikapi wajib tidaknya mengulangi shalat terdapat dua pendapat. Pendapat mazhab Syafii tetap wajib mengulangi, sedangkan pendapat Imam Malik tidak wajib mengulangi.

M. Usman/sidogiri

Spread the love