Siapa yang tidak suka dengan senyuman? Hanya dengan satu senyuman, dunia bisa diubah bak dalam genggaman. Dengan modal sunggingan, yang baru kenal langsung akrab terasa nyaman. Karena itu, tak salah kalau karyawan-karyawati berbagai perusahaan selalu menyungging senyum dalam setiap pelayanan, agar memikat hati para pelanggan.

Senyum memang memiliki daya pikat luar biasa. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kalian tidak akan bisa menarik hati manusia dengan harta kalian, maka tariklah hati mereka dengan wajah berseri (senyuman) dan akhlak mulia.” (HR. at-Tirmidzi) Senyum itulah yang senantiasa terpancar dari wajah mulia Baginda. Baginda selalu tersenyum ketika bertemu para shahabat. Shahabat Jarir berkata, “Sejak aku masuk Islam, Rasulullah tidak pernah menghindar dariku. Dan beliau tidak pernah menatapku kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) Hal ini juga diamini oleh Shahabat Abdullah bin al-Harits. Beliau berkata, “Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling murah senyum, selain Rasulullah.” (HR at-Tirmidzi)

Saat diperlakukan tidak sopan, Rasulullah tetap menyungging senyum. Suatu ketika Baginda didatangi oleh seorang Arab Badui. Dengan serta merta si Badui bersikap kasar dengan menarik selendang Baginda sampai berbekas warna merah di leher mulia Baginda. Orang Badui itu bersuara lantang, “Wahai Muhammad, perintahkan shahabatmu untuk memberiku uang dari baitul-mal.” Baginda menoleh kepadanya dengan lembut seraya tersenyum, lalu menyuruh shahabat memberinya harta dari baitul-mal sesuai permintaannya.

Bahkan, sampai detik-detik akhir hayat Baginda juga tetap tersenyum kepada para shahabat. Shahabat Anas bin Malik berkata, “Ketika kaum muslimin berada dalam shalat Fajar hari Senin, sedangkan Abu Bakar menjadi imam mereka, ketika itu mereka dikejutkan oleh Rasulullah yang membuka hijab kamar Aisyah. Beliau melihat kaum muslimin sedang dalam shaf shalat, kemudian Beliau tersenyum kepada mereka.” (HR. Muslim)

Selain sosok yang murah senyum, Baginda juga menganjurkan para shahabatnya untuk menyebar senyum. Rasulullah bersabda, “Senyummu di hadapan sudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu.” (HR at-Tirmidzi) Baginda juga mewanti para shahabat agar tidak menyepelekan soal bermuka manis dengan murah senyum. Baginda mengingatkan, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik, meskipun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria (tersenyum).” (HR. Muslim)

Hanya saja, apabila yang tersenyum itu adalah seorang wanita muda yang memikat jiwa kepada pria dewasa yang tidak punya ikatan keluarga, apakah yang demikian ini tetap bernilai pahala? Apakah tetap dianjurkan tersenyum dan berseri-seri ketika seorang wanita berjumpa dengan seorang pria? Terlebih, kalau si wanita berparas jelita dan masih muda belia.

Seperti disinggung di muka, tersenyum saat berjumpa saudara seiman sangat dianjurkan. Salah satunya oleh hadis berikut ini:

تبسمك في وجه أخيك لك صدقة

“Senyummu di hadapan sudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu.” (HR at-Tirmidzi)

Kata saudara (akhun) dalam hadis tersebut berbentuk tunggal (mufrad) yang disandarkan pada kata setelahnya (mudhâf). Dalam aturan Ushul Fikih, karakter semacam ini mengindikasikan universal (‘am). Sehingga, pada dasarnya wanita juga masuk dalam cakupan hadis tersebut, baik yang masih muda ataupun yang sudah lanjut usia. Akan tetapi, universalitas kata saudara (‘akhun) itu dibatasi (takhshîsh) oleh hadis lain yang menyebut wanita sebagai fitnah terbesar kaum pria. Baginda bersabda:

ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من النساء

“Tidaklah aku tinggalkan fitnah (cobaan) yang paling berat bagi laki-laki selain fitnah (cobaan) wanita” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Di hadis lain, Baginda bersabda:

المرأةُ عورةٌ ، فإذا خرَجَتْ اسْتَشْرَفَها الشيطانُ

“Wanita adalah aurat, jika ia keluar, setan akan menghiasinya” (HR. at-Tirmidz)

Maka, bolehnya seorang wanita tersenyum kepada pria saat berjumpa adalah terbatas saat aman dari fitnah. Itupun dengan mengikuti pendapat yang menyatakan wajah tidak termasuk aurat wanita. Berbeda dengan pendapat yang kuat (al-Ashah) yang memasukkan wajah, selain bola mata, pada aurat. Hal ini mirip dengan persoalan mengucap salam kepada lawan jenis. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fathul-Bâri-nya, menyomentari salah satu sub tema dalam kitab Shahîhul-Bukhârî, yaitu laki-laki mengucap salam kepada wanita dan sebaliknya, bahwa bolehnya saling berucap salam itu terbatas saat aman dari fitnah.

Pertanyaannya sekarang, di zaman edan layaknya saat ini, mungkinkah aman dari fitnah kala seorang gadis melempar senyum kepada pria yang dijumpainya? Apalagi, jika sang gadis berparas jelita dan menawan jiwa, ditambah tatapan lama dan setruman mata? Ini belum mempertimbangkan pendapat Ashah yang menyatakan wajah wanita bagian dari aurat. Sungguh, bukan murah senyum yang wanita dapat, justru senyum murahan yang dia perlihat.

Padahal, wanita yang senyumnya menawan diacungi jempol oleh Rasulullah. Rasulullah pernah ditanya; “Wanita yang bagaimana yang paling baik?” Beliau menjawab: “Jika dipandang (suami) ia menyenangkan, jika diperintah ia taat, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara-perkara yang dibencinya, baik dalam diri maupun harta” (HR. Ahmad)

Alangkah indahnya jika seorang wanita menjaga senyumnya hanya untuk mereka yang berhak menikmati. Sayidah Aisyah mengungkapkan, “Rasulullah ketika bersama istri-istrinya adalah sosok suami yang paling perhatian dan paling mulianya manusia yang dipenuhi dengan tawa dan senyum simpul.” (HR. Ibnu Asakir). Sepantasnya wanita menjaga diri dan menyucikan hati. Ia tetap harus murah senyum seperti anjuran Nabi, namun jangan sampai memberi senyum murahan, yaitu senyuman kepada lawan jenis yang tentu saja sangat disukai setan terlaknat.

Saharudin Yusuf/sidogiri

Baca juga: Aku Bukan Siti Nur Baya

Spread the love