Tujuan niat adakalanya: 1) Untuk membedakan ibadah dan aktifitas yang bukan ibadah seperti ketika duduk di masjid. Maka antara i’tikaf (ibadah) dan duduk untuk sekadar istirahat (bukan ibadah) bisa dibedakan melalui niat; jika duduk di masjd disertai dengan niat i’tikaf, maka duduknya adalah ibadah dan mendapat pahala; jika tidak ada niat, maka duduknya adalah duduk biasa (bukan ibadah); 2) Untuk membedakan derajat ibadah seperti antara ibadah wajib dan ibadah sunah.
Berikut Tips Pesantren tampilkan beberapa faedah yang perlu diketahui seputar niat. Semoga bermanfaat.
Mengubah Amaliah Mubah Menjadi Qurbah
Perbuatan manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1) Kemaksiatan. Perbuatan maksiat tidak bisa dirubah sama sekali dengan niat baik. Seperti seseorang yang mencuri harta orang lain dengan niat untuk disedekahkan, maka ini hukumnya tetap haram dan berdosa, meskipun diniati baik (sedekah). Adalah tidak benar pernyataan semisal “Yang penting niatnya baik” dengan disertai perbuatan dosa. Semisal membiarkan keluarga perempuan kita berpacaran dengan selain mahram karena beralasan niat baik dari si lelaki (pacar). Sekali haram, tetap haram. Keharaman sesuatu tidak bisa dirubah dengan niat baik;
2) Ketaatan. Perbuatan taat tidak bisa terlepas dari niat dalam keabsahan dan balasan pahalanya. Semisal beribadah salat malam atau bersedekah, maka keabsahan dan balasan pahalanya bergantung pada niatnya, apakah ia niat karena Allah atau ada motivasi lain semisal ingin dipuji mertua (riya). Jika niatnya benar, maka ketaatannya akan diterima oleh Allah I dan berpahala, jika niatnya buruk, maka ketaatannya tidak diterima dan bahkan terhitung maksiat dan berdosa;
3) Perbuatan Mubah. Karena besarnya pengaruh niat, maka hal-hal yang mubah dan kebiasaan, dapat bernilai ibadah dan amalan qurbah.
Pekerjaan mencari rezeki, bercocok tanam, berkarya, berdagang, mengajar dan profesi lainnya, dapat menjadi ibadah dan jihad fî sabilillâh selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan mencari yang halal, serta tidak bertentangan dengan perintah dan larangan dari Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula makan minum, berpakaian, jika dikerjakan dengan niat untuk ketaatan kepada Allah dan melaksanakan kewajiban kepada Rabb, maka akan diganjar berdasarkan niatnya. Orang yang mencari nafkah untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta kepada orang lain, agar tidak mencuri, untuk membiayai dirinya dan keluarganya, akan diganjar atas niatnya.
Imam Suyuthi menjelaskan, dalil yang tepat sebagai dasar bahwa seorang hamba akan mendapat pahala dengan niat baik dalam perkara mubah adalah hadis berikut:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ رواه البخاري و مسلم
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan…” (HR. al-Bukhari-Muslim)
Ketika Rasul tiba di Madinah untuk hijrah, beliau berkhutbah dengan hadis tersebut, sebagai pengingat kepada para sahabat akan pentingnya niat di dalam berhijrah. Peringatan beliau r tersebut meskipun secara leterlek khusus pada hijrah namun juga mencakup pada amaliah secara umum (tanbihan ‘alal-kulli bil-ba’dh) atau dalam istilah usul fikih disebut khâs ma’mûm (kata khusus dengan jangkauan umum). Artinya, segenap perbuatan seorang hamba akan menghasilkan pahala atau siksa bergantung pada niatnya; jika niatnya baik, maka perbuatannya terhitung baik dan berpahala; jika niatnya buruk, maka perbuatannya terhitung buruk—meskipun bentuknya baik—dan berakibat dosa.
Imam Nawawi menjelaskan dalam al-Minhâj Syarhu Muslim bin al-Hajjâj bahwa perkara yang mubah dapat menjadi perbuatan taat dengan niat yang benar. Jima’ (bersetubuh), bisa menjadi ibadah apabila diniati untuk memenuhi hak istrinya, bergaul dengan cara yang baik sebagaimana diperintahkan Allah, atau untuk menjaga dirinya dan istrinya agar tidak terjatuh kepada perbuatan haram, dls.
Melipatgandakan Pahala
Ulama mengajarkan kita untuk memperbanyak niat baik dalam setiap amaliah yang kita kerjakan. Sebab, satu kebaikan atau ketaatan memungkinkan untuk mendapatkan pahala yang berlipat-lipat jika niat baiknya diperbanyak. Semisal puasa sunah Rajab yang bertepatan dengan hari Senin, maka akan mendapat pahala double jika sama-sama diniati. Atau semisal duduk di masjid, maka akan memperoleh pahala berlipat jika diniati beragam semisal niat i’tikaf, menunggu shalat jemaah, menghindari anggota tubuh dari maksiat (daripada nongkrong di jalan, maka lebih baik di masjid), untuk berzikir, memfokuskan pikiran untuk Allah dan bertafakkur, dan niat-niat baik lain. Maka, masing-masing dari niat tersebut akan menghasilkan pahala berbeda meski dari satu amalan.
M Romzi Khalik/sidogiri
Baca juga :Menu Makan Rasulullah dan Shahabat