Bermula dari usulan Pemerintah Orde Baru untuk memberlakukan UU Nomor 3/1985 yang mengharuskan semua parpol berasas tunggal Pancasila, DPR akhirnya menyetujui usulan tersebut pada 19 Februari 1985. Undang-undang itu menggantikan UU Nomor 3/1975 yang menyatakan boleh mengusung asas selain Pancasila. UU ini juga berlaku pada seluruh ormas di Indonesia.

Mewajibkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua golongan, yang dicitrakan sejak 1970-an itu, merupakan salah satu cara Pemerintahan Soeharto dalam mempertahankan kekuasaan. Satu kelompok Islam bernama Gerakan Usroh, pimpinan Abdullah Sungkar, dijadikan contoh oleh Orde Baru sebagai gerakan politik yang tidak sesuai dengan ideolog pemerintah. Mayor Jenderal Harsudiono Hartas, menghancurkan gerakan yang berada di teritorial Kodam Diponegoro (Jawa Tengah) itu. Orang pertama dari gerakan ini yang ditangkap bernama Tubagus Muhammad Jiddan, seorang petani asal Banaran, Kulonprogo. Ia dijerat 6 tahun penjara (Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989 (2001)).

Setelah Tubagus tertangkap, Fadillah yang juga berasal dari Banaran melarikan diri demi menghindari pengganyangan. Bersama muridnya, Muslimah, ia menuju Lampung. Di sana Fadillah ditampung oleh Darhari, seorang petani dan muslim yang saleh. Melalui Darhari, Fadillah mengenal Warsidi, seorang guru mengaji dalam skala kecil, yang kemudian menampung pelarian Gerakan Usroh dari Jawa Tengah.

Baca Juga: 12 September 1984 Tanjung Priok Berdarah

Keberadaan pelarian Gerakan Usroh ini kemudian dicurigai pemerintah sebagai gerakan subversif. Pemerintah berdalih bahwa kelompok Warsidi mengajarkan ajaran sesat karena membangun komunitas yang tertutup dan tidak berinteraksi dengan masyarakat. Padahal sedari awal mereka memang hanya ingin membangun kampung yang bisa dengan leluasa menerapkan syariat Islam yang diyakini.

Pada 28 Januari 1989, turun perintah dari Kapten Sutiman, Komandan Rayon Militer (Koramil) Way Jepara, agar Warsidi menghadap. Kepala Desa (Kades) tempat Warsidi tinggal mendapatkan tugas dari Sutiman untuk mengawasi gerak-gerik Warsidi. 1 Februari 1989, Kades melaporkan bahwa kelompok Warsidi mengadakan ceramah bernada ekstrem, mengumpulkan botol untuk bom molotov, dan mengadakan latihan beladiri. 4 Februari 1989, laporan dari Kades itu diteruskan ke Kodim Lampung Tengah, Mayor E.O. Sinaga dan Kapten Sutiman mengirim beberapa anggotanya untuk mengintai pengajian Warsidi.

Pengintai yang dikirim Sutiman rupanya melakukan penculikan pada beberapa pengikut Warsidi. Jamaah Warsidi akhirnya mengadakan rapat mendadak. 6 Februari 1989, rombongan pejabat lokal, sipil dan militer, mendatangi jamaah Warsidi. Karena disangka akan menangkap Warsidi, rombongan itu diserang dan mengakibatkan Kapten Sutiman tewas. Di tempat lain, Prajurit Satu Budi dibunuh pengikut Warsidi yang kesal atas kedatangan pejabat itu.

Baca Juga: 23 Januari 1948 Terbentuknya Negara Madura

Pukul 04.00 dini hari, 7 Februari 1989, pasukan pimpinan Kolonel Hendropriyono yang terdiri 3 peleton Batalyon 143 dan satu peleton Brigade Mobil (Brimob), menyerbu Cihideung, Talangsari, lokasi jamaah Warsidi. Pasukan ini, menurut laporan Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), dilengkapi senjata M-16, bom pembakar (napalm), granat, dan dua helikopter. Penyerbuan terencana dan besar-besaran tersebut membuat jamaah Warsidi tidak punya jalan menyelamatkan diri. Mereka hanya bisa membentengi diri dengan senjata seadanya. Tempo edisi 18 Februari 1989 melaporkan, Warsidi dan 246 pengikutnya tewas dalam tragedi tersebut.

Salah seorang kelompok Warsidi yang masih hidup, Ibu Saudah, memberi kesaksian bahwa ia melihat sekitar 80-an mayat bergelimpangan pada pagi hari. Sekitar 20 ibu-ibu dan anak-anak yang telah dikumpulkan dipukul dan ditarik jilbabnya sambil dimaki-maki: “Ini istri-istri PKI!” Seorang tentara mengatakan, “Perempuan dan anak-anak ini juga harus dihabisi, karena akan tumbuh lagi nantinya”.

Warsidi dan jamaahnya dituduh melakukan kegiatan subversif yang hendak menggulingkan pemerintah Soeharto. Padahal kelompok ini tidak memiliki kemampuan memberontak serta tidak punya niatan mendirikan negara Islam. Apalagi mereka hanyalah kelompok kecil dengan SDM sedikit dan rendah. Mereka hanya ingin membangun sebuah perkampungan yang menjamin warganya menerapkan syariat Islam.

N. Shalihin Damiri/sidogiri

Spread the love