Ingat kisah Nabi Yusuf dengan ketampanannya yang luar biasa. Membuat para wanita biasa hingga sekelas Zulaikha, istri seorang pejabat pemerintah sekalipun terbelalak mata mereka penuh cinta. Jangankan rasa sakit, jari-jemari teriris oleh pisau pun tak terasa. Begitulah naluri selera mata wanita menempatkan cintanya pada sosok lelaki yang tampan raut wajahnya. Bisa dihitung jari, para wanita yang cintanya murni tanpa dorongan hasrat ketampanan dan kekayaan pangkuan hatinya. Tidak dapat dipungkiri Muslimah mana yang tidak punya impian bersanding di pelaminan dengan sosok lelaki tampan nan gagah. Merajut cinta dalam keindahan hingga melahirkan putra-putri cantik nan ganteng jua. Dan terkadang pilihan orang tua yang sudah matang rela ia terjang demi sosok pria tampan pilihannya. Bahkan Muslimah sekarang rela mengorbankan agamanya demi memburu cinta sosok lelaki tampan sekalipun beda agama.
Sebenarnya syariat menganjurkan seorang Muslimah memilih calon pendampingnya yang tampan raut wajahnya. Imam Abdul Malik bin Habib menganjurkan bagi wanita untuk memilih calon suaminya yang tampan. Hal ini berdasarkan dari riwayat Abi Bakar bin Abi Maryam yang bercerita, bahwa pada masa Khalifah Umar bin Khattâb ada laporan wanita muda telah dinikahi oleh kakek tua renta. Lalu kakek tersebut dibunuh oleh si istri dan pada akhirnya sang istri ditahan. Lantas, Umar bin Khattâb berkata, “Hai manusia! Bertakwalah kepada Allah. Dan sebaiknya salah satu dari kalian bila menikah, maka nikahilah dengan sepadan dari kalangan wanita. Begitu pula sebaliknya, para wanita menikah dengan lelaki yang sepadan dengan dirinya (baik umur dan keelokan raut wajahnya).”
Begitulah wanita ketika bersanding dengan jodoh buruk rupa oleh karena raut wajah yang menua. Fitrah cinta memang tidak bisa dilepaskan dari keelokan wajah pasangannya. Tak terbayangkan bagaimana rasanya bila sosok Muslimah bergandengan tangan dengan suami buruk rupa? Hati perih dan sumpek rasanya. Namun bila dipikir kembali, ketampanan ialah keindahan sesaat bila sosok imamnya tidak shalih dan religus menjalani syariat. Ibarat santri yang taat beribadah, “Allah saja yang tidak kasat mata, dia patuhi dan cintai. Apalagi hanya wanita yang menjadi makmumnya.”
Baca Juga:
Bahtera nikah merupakan pelayaran akhir Muslimah dalam mengarungi samudera kehidupannya. Bila ia dinahkodahi oleh pilot yang salah (tidak shalih), maka bisa jadi dia terjerumus ke jalan yang salah dan pada akhirnya membuat dirinya menyesal seumur hidup. Dari situlah al-Quran menegaskan bahwa suami ialah pemimpin dan yang bertanggung jawab terhadap istrinya, sebagaimana penjelasan QS an-Nisâ’, ayat 34. Muslimah perlu menentukan pilihan cintanya pada pria yang tepat, salih, dan taat kepada Allah. Sebab ketampanan pria tanpa dibarengi dengan ketaatan kepada-Nya, ibarat fatamorgana genangan air yang nampak di padang sahara. Membagkitkan hasrat cinta, namun hampa.
Rasulullah pernah bersabda,
لَا تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ وَلَا تَزَوَّجُوهُنَّ لِأَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَلَكِنْ تَزَوَّجُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ وَلَأَمَةٌ خَرْمَاءُ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ (رواه البيهقي)
“Janganlah kalian menikahi perempuan lantaran keelokannya, boleh jadi kecantikannya dapat membinasakannya. Dan jangan menikahi mereka lantaran hartanya, kemungkinan dengan hartanya dia berbuat sewenang-wenangnya. Namun nikahilah dia lantaran agamanya. Sungguh budak perempuan yang berlubang telinganya dan gelap kulitnya namun religius itu lebih utama,” (HR. al-Baihaqi).
Sekalipun makna yang tersurat dalam hadis di atas ditujukan bagi para lelaki, namun ada pelajaran dari makna yang tersirat yang bisa dijadikan prinsip bagi para Muslimah. Bahwa ketampanan dan bergelimang harta bukanlah barometer untuk mengukur keutamaan calon jodoh kita. Akan tetapi, nilai keshalihan dan ketakwaanlah yang menjadi acuan utamanya. Sebab, keshalihan perangai calon suami Muslimah adalah sebagai hiasannya. Bentuk rupa bisa berubah menjadi indah bila dihiasai dengan hiasan akhlak dan amal yang mulia. Imam Ibnu Malik dalam nadzam Alfiyah berkata,
وَرَغْبَةٌ فِيْ الْخَيْرِ خَيْرٌ وَعَمَلْ * بَرٍّ يَزِيْنُ وَلْيُقَسْ مَا لَمْ يُقَلْ
” Cinta dalam kebaikan ialah suatu yang paling baik dan amal yang baik dapat menghiasi pelakunya.”
Baca Juga:
Ibnu ‘Ajibah dalam Bahrul-Madîd-nya berkata,
أَنَّ الرَّجُلَ الصَّالِحَ يَنْتَفِعُ بِهِ أَهْلُهُ وَأَقَارِبُهُ ، وَهُوَ كَذَلِكَ؛ فَإِنْ عَظُمَ صَلاَحُهُ تَعَدَّتْ مَنْفَعَتُهُ إِلَى جِيْرَانِهِ وَقَبِيْلَتِهِ ، فَإِذَا كَبُرَ جَاهُهُ شَفَّعَ فِيْ الْوُجُوْدِ بِأَسْرِهِ
“Seorang lelaki shalih bisa bermanfaat bagi keluarga dan kerabatnya. Bila keshalihannya agung, maka dapat menular manfaatnya kepada tetangga dan kabilahnya. Dan bilamana besar pangkatnya, maka dia dapat memberi pertolongan dengan rahasia yang dia miliki antara dia dengan Allah.”
Begitu besar manfaatnya bila Muslimah berumah tangga dengan sosok lelaki yang salih. Dia akan selalu menerima dan menjaga segala kekurangan Muslimah yang menjadi pelabuhan cintanya. Pernah suatu ketika seorang ayah meminta saran kepada Sayid Hasan cucu Rasulullah perihal calon buat putrinya. Sayid Hasan pun menjawab, “Nikahkanlah dia dengan lelaki yang taat beragama. Bilamana dia mencintainya (putrimu), maka dia akan memuliakannya. Bila dia tidak cinta padanya, maka dia tak akan menzaliminya.” Alangkah beruntungnya bila Muslimah mencari calon suami yang shalih dan baik perangainya. Ketimbang lelaki rupawan dengan keelokan wajahnya yang memposana namun tidak sesuai dengan keelokan hatinya. Ibarat fatamorgana yang berkilau dan membangkitkan hasrat di pandang mata, namun hambar dan hampa. Wassalam.
Moh. Baihaqi/sidogiri.