Foto di atas diambil tepat 74 tahun silam. Tanggal 24 April 1943. Foto tersebut merekam momen peringatan Maulid Nabi Muhammad r di Masjid Kwitang Jakarta.
Tampak pada foto seorang berpakaian khas Timur Tengah sedang menyampaikan pidato di hadapan umat Muslim pribumi. Sosok pria berserban itu bukanlah ulama atau syekh dari Kerajaan Arab Saudi, tapi ia adalah salah seorang perwira militer Jepang bernama Abdul Mun’im Inada.
Disebutkan bahwa Abdul Mun’im Inada adalah perwira yang melantik para alumni pusat latihan militer pemuda pribumi menjadi anggota PETA.
***
Selain Abdul Mun’im Inada, terdapat pula nama Muhammad Taufik Suzuki, Yusuf Saze, Prof Kanaya, serta Abdul Hamid Nobuharu Ono.
Prof Kanaya adalah seorang ilmuwan yang concern mengkaji tentang Islam dan umat Islam. Ia adalah tokoh penting di balik acara pameran dan kongres Islam yang digelar di Tokyo dan Osaka pada November 1939 yang juga dihadiri delegasi perwakilan ulama Indonesia. Usai kongres itu, Prof Kanaya berangkat ke Indonesia demi memperkuat ikatan antara umat Muslim kedua negara.
Sedangkan Abdul Hamid Ono adalah seorang perwira Jepang beragama Islam dan ditugaskan di Jakarta sejak Perang Dunia II.
Abdul Hamid Ono terlibat aktif dalam upaya diplomasi yang dilakukan oleh KH Wahid Hasyim untuk membebaskan Rois Akbar NU, KH Hasyim Asy’ari dari tahanan militer Jepang. Kiai Hasyim pernah ditahan pada tahun 1942 oleh penguasa militer Jepang tepat pada masa-masa awal penjajahan Negeri Matahari Terbit itu di Hindia Belanda.
Peran Abdul Hamid Ono sebagai pembuka jalur diplomasi dan komunikasi antara pihak Tebuireng dan militer Jepang dikupas dengan jelas dalam buku Seri Tempo: Wahid Hasyim (Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan). Dalam buku ini dijelaskan bahwa Abdul Hamid Ono adalah pejabat dinas rahasia Jepang yang dekat dengan keluarga Kiai Asy’ari. Beliau bertugas di Gresik, Jawa Timur, dan sering berkunjung ke Pondok Pesantren Tebuireng (hlm 72, 2011).
LIHAT JUGA VIDEO TENTANG MENGENANG JASA TOKOH-TOKOH MUSLIM JEPANG DI INDONESIA
Sementara itu, Aboebakar Atjeh dalam buku Sedjarah Hidup Wahid Hasjim, juga menegaskan adanya peran dari Abdul Hamid Ono dalam membuka pintu diplomasi agar Kiai Wahid bersama KH Wahab Hasbullah dapat menemui pembesar Jepang di Jakarta. Hasil dari diplomasi oleh kedua tokoh itu membuahkan hasil positif: Kiai Hasyim dikeluarkan dari terali besi pada 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan berada dalam ruang tahanan.
Upaya diplomasi yang dilakukan oleh Kiai Wahid dan Kiai Wahab yang dibantu oleh Abdul Hamid Ono, secara tidak langsung mengubah cara pandang pihak Jepang terhadap kalangan pesantren khususnya, dan umat Islam pada umumnya. Umat Islam tidak lagi dianggap sebagai ancaman yang berpotensi mengganggu kekuasaan Jepang di Hindia Belanda.
Sejak saat itu, terjadi kolaborasi politik yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Hal itu ditandai dengan didirikannya sejumlah organisasi seperti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Kantor Urusan Agama (Shumubu), serta dibentuknya pasukan PETA (Pembela Tanah Air) yang dilatih secara khusus oleh militer Jepang.
Bahkan pasukan paramiliter khusus untuk umat Islam seperti Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah juga dibentuk oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), organisasi pengganti MIAI, atas izin dari pemerintah Jepang.
PETA adalah cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bersama dengan Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah, ketiganya adalah pahlawan yang menjaga kedaulatan NKRI, baik dari serangan pasukan sekutu pada akhir 1945, hingga agresi milter ke-2 Belanda pada tahun 1949.
Kolaborasi tersebut juga melahirkan langkah-langkah strategis lain, seperti diterbitkannya majalah Soeara MIAI, didirikannya Universitas Islam Indonesia dengan Abdul Kahhar Muzakkir sebagai ketua, ditetapkannya libur setengah hari pada hari Jumat di kantor-kantor pemerintah sejak 1 Mei 1945, serta dicetaknya mushaf al-Quran untuk kali pertama di tanah air pada 8 Juli 1945.
Moh. Yasir/sidogiri