Seorang guru pernah menasehati, “Jika kamu berteman dengan penjual minyak wangi, maka kamu akan ikut wangi. Jika kamu berteman dengan penjual ikan, maka kamu akan tertulari bau amis.” Tentu saja, maksud dari guru tadi bukan pada masalah penjualnya. Akan tetapi bersama siapa kita berteman, maka akan ada dampak yang didapat, meski hanya sekadar “bau”. Kata sebuah syair Arab, “Jangan bertan-ya, siapa dia? Cukup kau tahu, oh, itu temannya. Karena siapapun dia, mesti berwatak seperti temannya.”
Karakter seseorang memang cenderung tidak jauh berbeda dengan lingkungan di mana ia tinggal atau bersama siapa ia bergaul. Sebab, manusia memang cenderung terinspirasi dan meniru apa yang ia lihat dan dengar. Diakui atau tidak. Sadar atau tidak sadar. Mimesis, begitu orang-orang filosof mengistilahkan. Para alim abad pertengahan, dalam buku-buku etika tata krama yang mereka tulis menjadikan poin “pertemanan” sebagai faktor signifikan yang amat berpengaruh pada pembentukan dan perkembangan mental karakter seseorang. Syekh az-Zaranji dalam kutipan sebuah syair mengibaratkan pengaruh teman yang buruk tak ubahnya pasir yang dapat seketika memadamkan kobaran api, maka jauhilah segera.
Dalam salah satu buku dongeng anak kecil yang pernah saya baca, dikisahkan ada seekor Singa yang tak mampu mengaum, bukan karena ia sedang batuk atau flu, bukan pula ia sedang sakit tenggorokan. Singa tersebut tidak bisa mengaum tersebab dari kecil ia terlalu sering bergaul dengan kambing. Akhirnya, sampai menginjak usia dewasa, si Singa tersebut tak mampu mengeluarkan auman. Bahkan pada saat marah sekalipun. Ia hanya mampu mengembik. Menyedihkan.
Namun setelah si Singa tadi berpisah dengan teman kambingnya, dan kembali pada habitat aslinya, berkumpul dengan sesama singa, tak lama kemudian ia mampu mengeluarkan auman yang keras dan berwibawa.
Tentu saja kisah Singa mengembik itu hanya fiktif seorang penulis buku cerita anak, akan tetapi isi gagasan-nya sungguh menyentuh dan mengena. Bahwa seorang yang berbakat, jika terlalu sering berkumpul dengan seorang yang lemah, pemalas, maka bakatnya akan terpendam; seorang yang cerdas dan pintar jika selalu nongkrong dengan orang bebal, maka ia tidak akan berkembang; seorang yang baik yang berada di lingkungan buruk, maka lama kelamaan ia akan terbawa arus keburukan; seorang yang jujur jika berada di komunitas penipu, maka kejujurannya akan bergeser; dan seterusnya. “Berkawanlah dengan orang-orang yang lebih baik darimu. Pilihlah sahabat-sahabat yang memiliki kepribadian lebih baik darimu, maka kamu akan mencoba melakukan hal yang sama,” begitu kata Warren Buffet, investor tersukses di dunia itu.
Faktor “pertemanan” ini bukanlah kausa yang menentukan, namun dapat mempengaruhi kecenderungan dan karakteristik seseorang dan bisa berdampak pada perkembangan jiwa dan mental. Faktor pertemanan ini juga termasuk dari resep “Tombo ati” yang diracik oleh Sayid Ibrahim al-Khawash. Bahwa bagi seseorang yang ingin mendapatkan ketenangan hati, maka sering-seringlah berkumpul dengan orang-orang saleh; “Wong kang soleh kumpulono,” begitu dalam bahasa Jawa. Dalam istilah Fengsui, “ada semacam energi positif yang ditularkan oleh orang saleh kepada siapapun yang bersamanya.” Lebih dari itu, konon, kesejukan hati tersebut juga akan didapat hanya dengan melihat seorang yang alim yang saleh. Tanpa ada interaksi apapun.
Ibnu Jauzi mengisahkan dalam Manaqib Imam Ahmad, Abu Bakar alMuthawi’ selama dua belas tahun selalu aktif mengikuti majelis taklim Imam Ahmad. Namun, selama mengikuti majelis tersebut, beliau tidak memiliki catatan. Lantas apa yang dilakukan oleh al-Muthawi’ di majelis itu? Beliau ternyata hanya ingin memandang Imam Ahmad.
Bahkan, tidak hanya al-Muthawi’ saja yang datang ke majelis tersebut dengan tujuan agar bisa memandang dan berbaur dengan Imam Ahmad. Mayoritas mereka yang hadir dalam majelis memiliki tujuan yang sama dengan al-Mutawi’; mengambil manfaat (istifâdah) dan menjalin hubungan dengan orang saleh.
M Romzi Khalik/sidogiri