Hati muslimah mana yang tidak pilu kala pangeran impiannya menyunting wanita lain. Jiwa muslimah mana yang tidak remuk saat separuh nafasnya mengikat janji suci dengan gadis lain. Setiap insan kasmaran, tentu ingin mahligai rumah tangga. Tapi apa mau dikata, goresan takdir menulis suratan berbeda. Sakit jangan ditanya. Tubuh bak tertimbun runtuhan langit seketika. Sukma bak tersengat aliran listrik tenaga surya. Meskipun cinta tak harus memiliki, tetap saja luka hati mengiris, menyayat-nyayat sanubari. Walaupun mulut berucap ketus merestui, tetap saja luka hati menyisakan segudang ironi.
Begitulah kira-kira gambaran orang patah hati atau broken heart, di mana sesuatu yang diidamkan siang-malam, pupus dalam sekejab sebab tak sesuai tinta Ilahi. Dalam situasi begini, semua terasa pahit, menyiksa nurani. Diri bukan tidak menyadari, jodoh, maut dan rezeki sudah terukir sejak zaman azali. Namun apalah daya tubuh lemah ini, setan masih begitu pandai mengelabui dan memanipulasi.
Banyak sekali orang dirundung duka begitu mendalam saat dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit, utamanya soal asmara. Seorang gadis yang terlanjur menaruh hati pada salah satu pemuda misalnya, kemudian secara tiba-tiba berita pernikahan pemuda itu tersebar luas.
Bagaimana perasaan gadis tadi? Tentu saja sakit luar biasa. Inilah yang dialami oleh Nurul dan Maria yang secara diam-diam jatuh cinta pada maha siswa al-Azhar Kairo bernama Fahri, dalam alur cerita novel terkenal, Ayat-Ayat Cinta. Betapa menyedihkannya nasib Nurul dan Maria kala pernikahan Fahri dan Aisyah sampai ke daun telinga. Nurul secara tulus dan jujur mengakui hilang semangat dan motivasi hidup melalui surat yang ia tulis dengan linangan air mata. Sementara itu, Maria langsung terserang penyakit dahsyat akibat pilu yang tajam menghujam.
Sakit hati dan kecewa barang kali naluri manusiawi. Sebagai makhluk yang diciptakan dengan fitrah berakal dan bernafsu, wajar saja gejolak asmara begitu sensitif baginya. Terlebih dalam tubuhnya tertanam organ vital yang mudah terombang-ambing dan bergonta-ganti rasa; sebentar bahagia, sekejap berikutnya nestapa. Namun akan menjadi tidak wajar dan terlalu lebay kalau duka itu ditanggapi berlebihan, sampai-sampai sulit move on dan gagal menata masa depan. Padahal, itu hanyalah secuil alur dari naskah panjang kehidupan yang sedang dilakoni. Biar tangguh anti galau dan bisa cepat move on, ada baiknya membaca tulisan ini sampai tuntas.
Dalam ajaran Islam, berlebihan termasuk tindakan yang dikecam. Islam merupakan agama sempurna yang menempatkan semua hal pada semestinya dan sesuai dengan porsinya. Islam tidak mengultuskan Nabi Muhammad sebagai Tuhan, namun juga tidak merendahkan Beliau dengan menganggapnya sebagai manusia biasa. Pelit dan kikir adalah sifat buruk yang mesti dihindari, namun berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uang juga bukanlah perbuatan baik yang dianjurkan. Allah berfirman yang artinya,“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Sesungguhnya Rabb-mu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. al-Israa [17] : 29-30)
Ketika seorang shahabat bernama Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah, sampai-sampai kurang memperhatikan keluarga, hingga menyebabkan sang istri mengeluhkan hal itu kepada Baginda, Baginda langsung menegur kebiasaan Shahabat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash tersebut. Rasulullah memanggil Shahabat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan bertanya, “Aku mendengar bahwa engkau berpuasa sepanjang hari dan bangun sepanjang malam untuk shalat malam?” Shahabat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Baginda lalu menegor, “Janganlah berbuat demikian. Berpuasa dan berbukalah. Tidur dan bangunlah untuk mengerjakan shalat. Karena sesungguhnya tubuhmu, kedua matamu, istrimu dan tamumu mempunyai hak.”
Begitu pula soal asmara. Islam memanglah agama damai yang penuh dengan taburan cinta dan kasih sayang. Namun, mencintai atau menyayangi sesuatu secara berlebihan juga bukanlah ajaran Islam. Karena itu, dalam sebuah hadis Mauqûf, Sayidina Ali pernah mengutarakan sebuah nasehat bijak:
اَحْبِبْ حَبِيْبَكَ هَوْنًامَا، عَسَى اَنْ يَكُوْنَ بَغِيْضَكَ يَوْمًامَا وَابْغِضْ بَغِيْضَكَ هَوْنًا مَا، عَسَى اَنْ يَكُوْنَ حَبِيْبَكَ يَوْمًامَا
“Cintailah seseorang sedang-sedang saja, siapa tahu di suatu hari nanti dia akan menjadi musuhmu, dan bencilah seseorang juga secara biasa-biasa saja, siapa tahu pada suatu hari nanti dia akan menjadi kekasihmu.” (HR. at-Tirmidzi)
Sakit hati yang begitu mendalam dan berlebihan, tentu tidak akan timbul kecuali dari cinta atau kasih saying yang melebihi batas wajar. Jika dari semula kita mengerem diri untuk tidak melewati garis ketentuan, pastilah rasa remuk akibatnya juga tidak sampai menenggelamkan akal sehat. Apalagi, kalau orang yang kita cintai itu adalah sosok yang belum tentu bersanding di pelaminan dan menjadi milik kita. Yang sudah halal dan menjadi teman hidup saja pada saatnya akan berpisah, terlebih yang simpang-siur dan tidak jelas statusnya. “Hiduplah sesukamu, karena sesungguhnya kamu akan mati. Cintailah sesuatu sesukamu, karena sesungguhnya kamu akan berpisah (dengannya). Berbuatlah sesukamu, karena sesungguhnya kamu akan bertemu dengannya (mendapat balasannya).“ (HR. al-Hakim)
Yang tidak kalah penting adalah selalu berpikir positif. Manusia ialah makhluk lemah yang terkadang mudah sekali dikuasai setan. Ia kerap memandang peristiwa yang menimpanya secara berlebihan dan terlalu terbawa perasaan (baper). Padahal, apa yang ia cintai belum tentu baik baginya, dan yang ia benci belum tentu buruk untuknya. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [02] : 216) Maka, atas segala apa yang menimpa kita, yakinlah bahwa itu adalah yang terbaik untuk kita, termasuk jika harus menelan sebentar pahitnya patah hati untuk kemudian mengecup manisnya bahagia hakiki.
Karena Allah adalah Sang Pemilik Hati, maka kala hati itu tergores luka kekecawaan, kembalilah kepada-Nya. Perbanyaklah menyebut dan menyingat-Nya, sebab dengan itu hati kita menjadi tenang. “… Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d [13] : 28)
Saharudin Yusuf/sidogiri
Baca juga: Kaderisasi Wanita Shalehah