Sayidah ‘Aisyah mengisahkan, seorang budak perempuan dari kaum Anshar bernama Barirah datang menemuinya. Barirah meminta belas kasih Sayidah Aisyah untuk sudi memerdekakannya dengan membayar sejumlah uang kepada pemiliknya. Sayidah Aisyah menemui pemilik Barirah dan bernegosiasi. Si pemilik mau melepas Barirah dengan kompensasi uang dari Sayidah Aisyah asal dengan satu syarat. “Aku mau, tapi hak wala’ tetap milikku.” Rasulullah kemudian datang dan Sayidah Aisyah menceritakan apa yang terjadi. Beliau pun menyuruh Sayidah Aisyah untuk memerdekakan Barirah.
Setelah merdeka, Rasulullah memanggil Barirah untuk memberi pilihan antara tetap menjadi istri Mughits atau berpisah dari suaminya yang masih berstatus budak. “Walau Mughits memberiku segepok uang aku tidak mau menjadi istrinya,” jawab Barirah.
Ditinggal Barirah, Mughits patah hati luar biasa. Shahabat Ibnu ‘Abbas menuturkan, “Aku ingat betul bagaimana Mughits mengikuti Barirah kemana ia pergi sambil menangis (mengharapkan cinta Barirah). Air matanya mengalir membasahi jenggotnya. Ia membuntuti Barirah di jalan-jalan kota Madinah sambil terus mengharap belas kasih dari Barirah. Sampai-sampai Nabi bersabda kepada pamannya, Abbas, “Wahai Abbas, tidakkah engkau heran betapa besar rasa cinta Mughits kepada Barirah namun betapa besar pula kebencian Barirah kepada Mughits.”
Karena kasihan dengan kondisi Mughits setelah ditinggal Barirah, Nabi pun menemui Barirah. “Andai engkau mau kembali kepada Mughits?,” kata Rasulullah “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku?,” tanya Barirah. “Aku hanya ingin menjadi perantara.” “Aku sudah tidak lagi membutuhkannya,” tegas Barirah.
Kisah cinta Barirah dan Mughits di atas tertera dalam kitab-kitab Hadis mu’tabarah sekaliber Shahîhul-Bukhârî dan Shahîh Muslim. Bagaimana Mughits sulit move on dan terus terbayang tambatan hatinya, Barirah, sampai-sampai ia “mengemis” cinta dari sang pujaan hati.
Cinta memang tidak pandang bulu dan status sosial. Setiap insan bernyawa pasti pernah jatuh cinta. Tak peduli apakah ia seorang saudagar kaya, rakyat jelata, atau bahkan budak, seperti Mughits. Dan sialnya, kala cinta datang menggoda, semuanya bisa serba tak berdaya. Kata seorang penyair, “Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar. Namun jika cinta kudatangi, aku jadi malu pada keteranganku sendiri.”
Di dalam al-Quran, cinta membara wanita jelita yang mambakar akal sehatnya diurai sempurna. “Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini”. Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.” (QS. Yusuf [12]: 23)
Wanita itu terus menggoda. “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andai kata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf [12]: 24)
Nasi Yusuf terus menolak dan menghindar. Nabi Yusuf lari menuju pintu, namun dikejar dari belakang dan ditarik bajunya sampai sobek. “Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (QS. Yusuf [12]: 25) Cinta memang bisa bikin orang jadi gila. Virus merah jambu itu merupakan senjata setan paling mutakhir untuk menggoda iman manusia.
Pada dasarnya, jatuh cinta kepada lawan jenis, dari sisi cinta itu sendiri bukanlah sebuah aib ataupun dosa. Cinta adalah hal manusiawi yang menimpa setiap makhluk berakal. Bahkan, panutan kita, Rasulullah juga pernah jatuh cinta. Beliau cinta kepada Khadijah dan Aisyah. Cinta adalah perasaan normal, wajar, natural, dan biasa. Tak ada yang salah dengan cinta. Asal cinta itu tidak dengan sengaja ditumbuhkan dengan cara melirik-lirik atau menjalin komunikasi dengan lawan jenis. Selagi Muslimah menjaga martabat dan harga diri, tidak bergaul dengan yang bukan mahram, tak ada yang salah dengan rasa cinta yang tiba-tiba bergemuruh dalam dada. Akan tetapi harus disadari, cinta yang tumbuh dengan sendirinya itu, tidak boleh dibiarkan menguasai akal sehat. Terlalu baper lantas menjadi “budak” cinta.
Jika seorang Muslimah falling in love, maka selama ada jalan hendaknya diusahakan untuk menikah dengan pujaan hatinya. Di sini Muslimah bisa meneladani sosok Ibunda Khadijah. Pernikahan Ibunda Khadijah dengan Baginda adalah berkat upaya Ibunda untuk mendapat sosok sempurna Baginda. Ibunda Khadijahlah yang membuka pintu pernikahan terlebih dahulu. Ibundalah yang meminta walinya untuk menawarkan dirinya kepada Baginda.
Baca juga: Muslimah yang Menyejukan Hati
Adapun mengapa orang yang jatuh cinta perlu mengupayakan menikah dengan orang yang dicintai, karena obat cinta paling mujarab adalah dengan menikah. Rasulullah bersabda, “Saya belum pernah melihat (obat yang mujarab bagi) dua orang yang saling mencintai sebagaimana pernikahan.” (H.R Ibnu Majah)
Maka buat Muslimah yang tengah dirundung cinta kepada seorang lelaki, hendaknya mengupayakan menikah dengan lelaki tersebut dengan cara menawarkan diri untuk dinikahi. Menawarkan diri untuk dinikahi bukanlah sesuatu yang hina dan tercela. Justru hal itu lebih bermartabat dan menjaga kesucian diri. Namun harus digarisbawahi, cara yang ditempuh harus betul-betul sesuai dengan aturan syariat. Tidak malah pakai cara-cara alay muda-mudi zaman now.
Jika pihak yang dicintai belum berkenan menikahinya atau tertutup kemungkinan untuk menikahi dengannya, maka tidak ada jalan bagi Muslimah tersebut selain bertabah hati. Ia harus mengerti bahwa iman dan cintanya kepada Sang Khalik tengah diuji. Bertabah hati ini harus terus dilakukan sambil meminta kepada Allah agar diberi pengganti yang lebih baik, atau dihilangakan perasaan cintanya itu.
Saharudin Yusuf/sidogiri