Di Indonesia, ada dua tempat ibadah kaum Muslim; masjid dan musholla. Keduanya sama-sama dijadikan tempat shalat dan kegiatan ibadah lain, hanya saja mushalla sifatnya sekala kecil. Bahkan adat Madura di setiap pelataran rumah terdapat mushalla. Dari itu, dalam suatu desa atau kampung, mushalla bisa lebih banyak dibanding masjid, sementara masjid hanya satu dalam satu kampung atau desa.
Kemudian, di sebagian tempat yang keberadaan masjid terbatas, kadang ada rencana mendirikan masjid yang sebelumnya ikut kampung sebelah. Salah satu alternatifnya ialah mengubah musholla yang sebelumnya dijadikan pusat ibadah menjadi masjid. Bolehkah musholla dijadikan masjid?
Karena hal ini terkait dengan wakaf, maka perlu kejelasan proses pewakafan masjid dan mushalla. Dalam proses terbentuknya masjid, ulama merumuskan bahwa masjid dipastikan sebagai wakaf, ketika ada ungkapan pelafalan yang tertuju untuk dijadikan masjid. Dalam kitab Fathul-Mu’in, misalnya, ada dua bentuk shighat pewakafan tanah atau tempat sebagai masjid: Sharih dan Kinayah.
“Di antara bentuk shighat sharih: ‘Saya jadikan tempat ini sebagai masjid’. Dengan ungkapan itu, objek langsung menjadi masjid, meski tidak ditambahi ungkapan ‘karena Allah’ dan tidak menyebut hal-hal pada penjelasan sebelumnya. Sebab, masjid pasti wakaf. Adapun ungkapan, ‘Saya wakafkan ini untuk shalat’, merupakan bentuk sharih dalam pewakafan dan kinayah dalam hal ia sebagai masjid, sehingga harus ada niat kalau ingin dijadikan masjid. Hal itu jika tidak pada tanah bebas.’”
Maka dapat dipahami bahwa ketika ada penyebutan masjid dalam pewakafan, secara otomatis menjadi masjid. Jika hanya menyebut pewakafan untuk shalat saja, tanpa ada maksud menjadikan masjid, tidak secara otomatis jadi masjid. Ini karena shighat-nya adalah bentuk kinayah. I’anatuth-Thalibin (III/190) mengomentari redaksi kitab Fathul Mu’in tadi:
)قوله ووقفته للصلاة الخ ) أي وإذا قال الواقف وقفت هذا المكان للصلاة فهو صريح في مطلق الوقفية ( قوله وكناية في خصوص المسجدية فلا بد من نيتها (فإن نوى المسجدية صار مسجدا وإلا صار وقفا على الصلاة فقط وإن لم يكن مسجدا كالمدرسة
(Ungkapan “Saya mewakafkannya untuk shalat”) maksudnya, jika pewakaf berkata, “Saya mewakafkan tempat ini untuk shalat” maka termasuk sharih (jelas) dalam kemutlakan wakaf. (Ungkapan, “Dan kinayah dalam kekhususannya sebagai masjid, harus ada niat agar menjadi masjid”), sehingga jika pewakaf berniat menjadikannya masjid, maka tempat itu menjadi masjid. Jika tidak ada niat maka hanya wakaf untuk shalat saja, sebagaimana sekolah biasa.
Jadi jelas pewakafan hanya untuk shalat saja, hukumnya sah dan tidak serta merta ia jadi masjid jika tidak ada niatan menjadikannya masjid.
Nampaknya, hal seperti inilah yang terjadi pada mushalla wakaf yang berkembang di tengah masyarakat. Jelas bukan masjid jika sedari awal memang tidak diwakafkan untuk masjid. Tempat itu disebut mushalla, langgar, surau atau nama lain sesuai istilah yang digunakan di beberapa daerah.
Hanya kemudian, bagaimana jika mushalla wakaf ingin ditingkatkan menjadi masjid? Terkait perubahan bentuk atau fungsi barang wakaf, mazhab Syafi’i demikian ketat. Artinya, ada kehati-hatian untuk melakukan perubahan fungsi yang telah ditentukan oleh pewakaf atau wakif. Tidak semudah di awal ketika ingin mewakafkan tanah untuk masjid, sehingga sekali ucap langsung jadi masjid. Imam Nawawi dalam Raudhah-nya, menulis:
لا يجوز تغيير الوقف عن هيئته ، فلا تجعل الدار بستانا ، ولا حماما ، ولا بالعكس ، إلا إذا جعل الواقف إلى الناظر ما يرى فيه مصلحة للوقف ، وفي فتاوى القفال : أنه يجوز أن يجعل حانوت القصارين للخبازين ، فكأنه احتمل تغيير النوع دون الجنس
“Tidak boleh mengubah fungsi atau bentuk (barang) waqaf. Makanya, tidak boleh (waqaf) rumah dirubah jadi (waqaf) kebun atau tempat pemandian, dan sebaliknya. Kecuali jika pewaqaf memasrahkan susuai pandangan maslahah bagi kepentingan wakaf. Adapun fatwa Imam al-Qaffal ‘Boleh menjadikan (waqaf) tempat cukur (salon rambut) sebagai toko roti, barangkali maksudnya adalah mengubah bentuk bukan fungsi.’”
Maka, kebolehan mengubah benda wakaf hanyalah untuk menyelaraskan tempat, bukan mengubah fungsi kebun sebagai rumah atau sebaliknya. Dalam redaksi yang lebih luas, mengubah barang wakaf disebutkan dalam Nihayatul-Muhtaj, mengutip Imam as-Subki:
ولأهل الوقف المهايأة لا قسمته ولو إفرازا ولا تغييره كجعل البستان دارا وعكسه ما لم يشرط الواقف العمل بالمصلحة فيجوز تغييره بحسبها ، قال السبكي : والذي أراه تغييره في غيره ولكن بثلاثة شروط : أن يكون يسيرا لا يغير مسماه ، وأن لا يزيل شيئا من عينه بل ينقله من جانب إلى آخر ، وأن يكون مصلحة وقف
“Pengelola waqaf boleh mengubah (menyelaraskan) bentuk, tetapi tidak boleh membagi-bagi memakai sekat-sekat. Dan tidak boleh mengubah fungsi seperti mengalihkan kebun sebagai rumah atau sebaliknya, selama waqif tidak menyaratkan satu tindakan sesuai maslahah, (jika waqif menyaratkan demikian) maka boleh merubah fungsi dengan pertimbangan maslahah. Imam as-Subki mengatakan: Pendapatku, boleh pengubahan wakaf menjadi hal lain, tetapi dengan tiga syarat; (1) perubahannya sedikit dan tidak mengubah nama. (2) Tidak menghilangkan apapun dari fisik wakaf, melainkan hanya memindah lokasi saja. (3) Perubahannya bernilai maslahah.”
Dua redaksi ini tampak diawali dengan ungkapan tidak boleh mengubah (fungsi) benda wakaf, melainkan dengan syarat maslahah dari instruksi waqif. Pada kasus pengubahan musholla menjadi masjid, dari redaksi ini tidak boleh dilakukan, terlebih perubahan yang sifatnya mengubah total demi penyesuaian, dari musholla, langgar, surau menjadi masjid. Maka syarat perombakan Imam as-Subki tidak terpenuhi.
Namun kemudian, yang perlu didiskusikan adalah fatwa Imam Qaffal dalam redaksi Raudhah tadi, “Boleh menjadikan (waqaf) tempat cukur (salon rambut) sebagai toko roti” yang kemudian ditanggapi Imam Nawawi, “Barangkali pengertiannya adalah mengubah bentuk, bukan fungsi.”
Artinya, pendapat Imam Qaffal membolehkan pengubahan bentuk, bukan fungsi. Maka tidak boleh mengubah fungsi rumah sebagai tempat tinggal sebagai kebun untuk cocok tanam. Berbeda jika hanya mengubah bentuk, seperti bentuk tempat potong rambut menjadi toko roti, yang fungsinya sama-sama sebagai tempat usaha.
Dari titik ini, timbul pertanyaan, apakah mushalla dan masjid memiliki satu fungsi dan makna yang sama? Secara umum, keduanya memang memiliki fungsi yang sama. Hanya saja masjid memiliki hak khusus, misalkan ia bisa jadi tempat i’tikaf. Dari sudut bahasa, semua tempat ibadah bisa juga disebut masjid (Lisanul-Arab, entri Sajada). Jika mushalla dan masjid punya esensi fungsi yang sama, bisa jadi boleh mengubah musholla menjadi masjid. Akan tetapi ini perlu diskusi lebih dalam.
Kesimpulannya, mengubah musholla menjadi masjid, jika ada instruksi wakif yang menyaratkan satu maslahah lalu ia percayakan kepada Nazhir, yang kemudian disepakati ada maslahah dalam pengubahan fisik tersebut, maka boleh. Sebaliknya, mengubah fisik tanpa ada mashlahah yang jelas dan mendesak, maka tidak boleh. Wallahu A’lam.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri
Baca juga: Masjid Meulaboh Aceh