Menteri Agama (Menag) H. Yaqut Cholil Qoumas ketika rapat kerja bersama komisi VIII DPR RI menyebut akan mengadakan sertifikasi wawasan kebangsaan untuk para dai dan penceramah. Dalam raker tersebut, Menag berniat menggandeng orams-ormas Islam maupun MUI. Sebelumnya, MUI pernah juga melakukan sertifikasi untuk para dai guna memberikan standarisasi dakwah. Sertifikasi dai yang akan diadakan Kemenag pun menuai pro-kontra. Bagaimana tanggapan terhadap sertifikasi tersebut? Berikut adalah wawancara Ahmad Sabiq Ni’am dari Sidogiri Media dengan KH. Muhammad Cholil Nafis, Lc., MA., Ph.D., Ketua MUI bidang Ukhuwah dan Dakwah sekaligus pembina Yayasan Investa Cendekia Amanah.
MUI pernah mengadakan sertifikasi dai. Perbedaan sertifikasi dai yang dilakukan MUI dan Kemenag?
Saya tidak memiliki kapasitas untuk membedakan lembaga kami (MUI) dengan Kementerian Agama. Saya hanya akan menjelaskan sertifikasi yang ada di MUI. Kalau yang diprogramkan oleh MUI itu sebenarnya dai bersertifikat atau standarisasi dai menurut MUI, sehingga nantinya dai tersebut akan mendapatkan sertifikat. Nah, pemahaman kami berbeda dengan sertifikasi. Kalau sertifikasi itu artinya orang yang boleh berceramah hanya yang sudah memiliki sertifikat.
Kemudian ketika sudah disertifikasi, dai yang sudah mendapatkan sertifikat akan mendapat honor dan menjadi bagian dari pemerintah. Seperti halnya di Malaysia dan di Brunei, program sertifikasi itu orang yang sudah mendapatkan sertifikat adalah yang berhak berceramah. Sedangkan di Indonesia tidak bisa membatasi orang berceramah, karena tidak semuanya ditanggung oleh pemerintah dan kebutuhan penceramah tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah. Di samping memang di negara kita melakukan pembinaan umat agar sesuai dengan ajaran Islam itu diserahkan kepada lembaga agama, yakni Majelis Ulama Indonesia. Pemerintah tidak berhak mengatakan benar atau tidak benar, tetapi hanya sebagai regulator saja.
Kementerian Agama masih ambigu antara program sertifikasi dalam artian tidak boleh berbicara (berceramah) kecuali yang mendapatkan sertifikat dengan program peningkatan kapasitas keilmuan dan wawasan dai, kemudian setelah itu para dai diberi sertifikat. Kalau dalam arti pertama, yaitu sertifikasi yang maksudnya tidak boleh ceramah kecuali setelah mendapatkan sertifikat, tentu tidak boleh, karena kapasitas dai itu berbeda dengan kapasitas ulama. Sedangkan kapasitas ulama di Indonesia itu tidak ada yang diberi sertifikat. Kalau dalam pengertian yang kedua, yaitu sertifikasi untuk peningkatan kompetensinya, kemudian para pesertanya diberi sertifikat, ya, itu bagus-bagus saja, karena dai itu sering banyak ceramah, tetapi lupa mendengarkan.
Dalam pandangan Anda, apakah langkah Kemenag mengadakan sertifikasi ini sudah tepat? Mengingat beberapa pihak ada yang menilai seritifikasi itu lebih baik dipegang oleh lembaga yang independen.
Kalau sertifikasi dalam artian tidak boleh ceramah kecuali yang bersertifikat, pasti tidak realistis dan tidak boleh dilakukan oleh Kementerian Agama. Di Indonesia ada namanya BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) dan pelaksananya dilakukan oleh LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi). Dari lembaga-lembaga yang mempunyai kewenanangan sertifikasi itu, dalam lembaga keagamaan hanya MUI yang memilikinya. Tidak ada pemerintah yang melakukan sertifikasi. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) itu yang membuat sertifikasi di luar pihak kementerian. Maka dalam Kementerian Agama yang bertugas membimbing haji dan umrah, kalau membikin sertifikasi, ya, di luar Kementerian Agama. Demikian juga nanti kalau dai, nggak mungkin (dilakukan oleh Kemenag). Secara undang-undangnya tidak memperbolehkan (sertifikasi) dilakukan oleh Kementerian Agama. Kalau sekadar membina peningkatan kompetensi, tentu boleh (dilakukan oleh Kemenag). Jadi tergantung pengertian dari sertifikasinya. Silakan Anda konfirmasi ke Kementerian Agama, yang dimaksud (sertifikasi) itu yang mana.
Apakah mungkin Indonesia meniru Malaysia dalam hal dai yang berceramah harus bersertifikat?
Kalau berbicara mungkin, ya, mungkin-mungkin saja. Di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin. Al-Quran yang nggak mungkin bisa ditiru saja ada sebagian orang yang beranggapan bisa meniru al-Quran. Namun, kalau melihat dari Undang-Undang Dasarnya, kita nggak mungkin, kecuali mengubah UUD-nya dulu. Karena kalau di Malaysia dan Brunei Darussalam itu memang negara-negara yang menggunakan hukum Islam. Jadi (jika diterapkan di Indonesia) harus mengubah dulu dari negara pancasila menjadi negara yang mengikuti hukum Islam, dan ini tambah bertentangan dengan orang yang tujuannya ingin membatasi para penceramah itu. Sebenarnya harus tahu tujuan dai bersertifikat itu bukan sertifikasi. Dai bersertifikat (tujuannya) adalah meningkatkan kompetensi para dai sehingga ceramahnya lebih berbobot, ceramahnya lebih inspiratif.
Sebagai Ketua MUI bidang Ukhuwah dan Dakwah, saran Anda mengenai sertifikasi dai?
Saran saya, pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat dan ormas untuk membina umatnya dengan sebaik-baiknya. Saya berharap semuanya berpayung di bawah ormas. Anggarannya diberikan kepada ormas-ormas untuk membina umatnya, pemerintah nggak perlu masuk pada hal-hal yang bersifat teknis pembinaan. Kalau toh mau masuk, pemerintah cukup memberikan wawasan atau peningkatan wawasan, lalu setelah adanya acara diberi sertifikat. Namun, bukan berarti sertifikasi yang dalam artian tidak boleh berceramah kalau tidak punya sertifikat. Anggaran untuk ormas diperbanyak, selain juga dipakai untuk pemerintah sendiri, sehingga kualitas dakwah dan pengajaran keagamaan bisa meningkat.