Entah untuk ke berapa kalinya. Permohonan agar Pondok Pesantren Sidogiri mendirikan perguruan tinggi bisa diijabahi. Dari berbagai pihak. Dan juga entah ke berapa kalinya. Permohonan itu menguap begitu saja bersama angin.

Bahkan di acara terakhir yang saya ikuti. Permohonan itu dijawab tidak serius namun sangat serius oleh Katib Majelis Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Mas d. Nawawy Sadoellah. “Sidogiri tidak perlu membuat sekolah tinggi. Yang rendah-rendah saja sudah cukup.” Tanggapan yang diikuti gelak tawa peserta Rapat Wali Santri Pondok Pesantren Sidogiri di Wilayah Bondowoso.

Lalu saya teringat pada seseorang pernah bertanya kepada saya. “Katanya Sidogiri tidak punya Perguruan tinggi. Tapi kok bisa ada Hamas?” Hamas yang dimaksud adalah HMASS. Harakah Mahasiswa Alumni Santri Sidogiri. Sebuah badan otonom IASS yang konsen di bidang penguatan akidah. Utamanya di civitas kampus.

Waktu itu spontan saya menjawab. “Karena Sidogiri punya keberkahan yang dikelola secara profesional.”

Baca juga: Pesantren, Santri dan Perdamaian

Pikir saya. Kalau bukan karena keberkahan Pondok Pesantren Sidogiri, lalu keikhlasan para masyayikhnya, bagaimana mungkin lembaga pendidikan yang tidak punya sekolah tinggi bisa mengakomodir mahasiswa, yang alumni, yang santri lagi? Bukankah Mas d. Nawawy Sadoellah sudah menegaskan. “Santri yang menjadi mahasiswa itu biasa, tapi mahasiswa yang tetap santri itu luar biasa.”

Bahkan dengan HMASS, Pondok Pesantren Sidogiri sudah lebih dari sekadar mendirikan perguruan tinggi. Karena afiliasinya ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia bahkan luar negeri. Akademisi keilmuannya mencakup berbagai macam jurusan. Serta loyalitas anggotanya tidak usah dipertanyakan.

Saya melihat, ini adalah satu titik kecil dari kanvas Pondok Pesantren Sidogiri. Di sana ada keberkahan, yang menurut Tengku Bajang saat berkunjung ke Pondok Pesantren Sidogiri, keberkahan itu dikarenakan keikhlasan pendiri dan para masyayikh Sidogiri.

Baca juga: Santri Nasionalis Sejak Sebelum Kemerdekaan

Keberkahan ini yang kemudian disambut dengan profesionalitas kerja. Dibantu dengan managemen yang baik dan terukur. Diperkuat oleh kontroler yang sigap. Serta evaluasi yang terus kembali dievaluasi.

Maka tidak heran. Santri yang ‘hanya’ berkutat dengan kitab, bisa bersaing di kancah perekonomian nasional. Santri yang ‘hanya’ lihai memutar tasbih. Juga lihai memutar otak di gulita perpolitikan. Santri yang ‘hanya’ santri. Mampu berwawasan modern dengan akhlak yang tetap salaf.

Pesan singkat yang tetap dieja di setiap masa. Adalah Takrif Santri Kiai Hasani. Bahwa santri adalah santri. Berpedoman kitab suci. Mengikuti sunah Nabi. Istikamah dan tidak goyah kanan kiri. Ini adalah pondasi. Dimana pun dan kapan pun. Karena darinya akan mengalir keberkahan.

Lalu garis tegas Sayidina Ali. “Kebenaran yang tidak terkoordinir, akan hancur oleh kebatilan yang terkoordinir.” Adalah pemacu profesionalisme. Bukan sekadar profesionalitas. Ini adalah ‘isme’. Merasuk dan mendarah daging.

Spread the love