Terbesar dan Termegah dari Era Klasik

SAAT pasukan Amerika Serikat (AS) menggempur Irak pada Mei 2003, pakar buku asal Venezuela Fernando Baez, sedang berada di Bagdad. Ia menyaksikan langsung bagaimana peradaban dihancurkan melalui pembakaran buku serta penghancuran perpustakaan dan museum-museum.

Didorong oleh pertanyaan “mengapa manusia membakar buku?”, pada tahun 2017 yang lalu Baez menyusun buku tentang sejarah bibliosida (penghancuran buku), merentang sejak awal peradaban manusia hingga masa kontemporer. Buku itu berjudul Historia Universal de la Destruction de Libros, atau A Universal History of The Destruction of Books. Edisi bahasa Indonesianya: Penghancuran Buku dari Masa ke Masa.

Berbeda dengan pandangan umum, Baez mengemukakan bahwa rata-rata bibliosida terjadi bukan karena pendidikan yang minus atau rendahnya literasi, melainkan justru dilakukan oleh kaum terdidik dengan motif ideologis masing-masing.

Saat mengulas mengenai perpustakaan pada era klasik, Baez begitu terpesona dengan Perpustakaan Agung Aleksandria. Perpustakaan ini dibangun oleh Ptolemeus I Soter (367-283 SM), penguasa Mesir sejak 305 SM, seorang jenderal Yunani Makedonia bawahan Aleksander Agung, pendiri Kekaisaran Ptolemaik.

Perpustakaan Agung Aleksandria, menurut Baez, tidak hanya menyimpan manuskrip, tempat itu selalu ramai dengan diskusi dan ceramah kaum intelektual di zamannya. “Begitu berharganya tempat ini sehingga sempat dijuluki sebagai ‘sangkar para dewi inspirasi’,” tutur Baez.

Baca Juga: Navigator Muslim, Penemu Amerika

Bukan Perpustakaan Pertama

Dalam sejarah, Perpustakaan Agung Aleksandria memang bukanlah perpustakaan pertama. Perpustakaan-perpustakaan lain sudah sejak lama ditemukan di Yunani dan kawasan Timur Dekat/Asia Barat Daya (mencakup Anatolia, Syam/Levant, dan Irak).

Arsip tulisan pertama yang tercatat dalam sejarah terletak di kota Uruk di peradaban Sumeria kuno (sekarang 30 km timur Samawah modern, ibukota Provinsi al-Mutsanna, Irak), sekitar 3400 SM, ketika manusia baru mengembangkan tulisan.

Pengumpulan naskah-naskah oleh para ahli semakin berkembang pada tahun 2500-an SM. Kerajaan-kerajaan kuno yang maju diketahui sudah memiliki tradisi pengumpulan naskah, seperti Bangsa Het di Syam maupun Asyiria di Mesopotamia. Dua peradaban ini memiliki gudang arsip raksasa yang berisi catatan-catatan dari berbagai bahasa.

Perpustakaan paling terkenal di zaman kuno di kawasan Timur Dekat adalah perpustakaan yang dibangun Kaisar Asyurbanipal (668-627 SM) di Niniwe. Di Babilonia, pada masa kekuasaan raja penghancur Jerusalem, Nebukadnezar II (605-562 SM) pernah pula berdiri sebuah perpustakaan yang megah. Di Yunani, penguasa Athena Peisistratos (561-527 SM) konon juga membangun perpustakaan yang besar dan lengkap. Menurut sejarawan Roy MacLeod dalam Introduction: Alexandria in History and Myth (2000), budaya pengumpulan buku yang telah mentradisi baik di Yunani maupun kawasan Timur Dekat inilah yang menginspirasi gagasan pembangunan Perpustakaan Agung Aleksandria. Tokoh utamanya adalah Demetrios dari Faleron, seorang negarawan dari Athena yang diasingkan ke Aleksandria.

Raja-raja Makedonia pasca Kaisar Aleksander sebagai penguasa kawasan Timur Dekat dan sekitarnya, ingin mendorong penyebaran budaya Helenistik (budaya Yunani). MacLeod menyebutnya “program imperialisme budaya”. Perpustakaan dan dunia buku merupakan salah satu instrumen terpenting yang mereka prioritaskan. Oleh karena itu, setiap kota Helenistik yang besar pasti memiliki perpustakaan. Keberadaan perpustakaan meningkatkan martabat suatu kota, menarik minat cendekiawan, serta membantu penguasa dalam menjalankan pemerintahan. Terkait Perpustakaan Agung Aleksandria, para penguasa Kekaisaran Ptolemaik (305-30 SM) ingin menghadirkan konsep perpustakaan yang berbeda dan lebih unggul daripada perpustakaan lain yang pernah ada.

Baca Juga: Sejarah Islam Di Sisilia hasil perjuangan Muslim Afrika Dan Andalusia

5 Abad Berkiprah

Perpustakaan Aleksandria merupakan bagian dari sebuah lembaga penelitian besar, Mouseoin, yang dipersembahkan untuk para Musai (sembilan dewi yang melambangkan seni).

Kejayaan perpustakaan ini dicapai pada masa Ptolemeus II Philadelphus (283-246 SM). Puluhan ahli dipekerjakan menjadi pustakawan. Koleksi-koleksi baru ditambahkan, jumlahnya mencapai ratusan ribu, terutama gulungan naskah papirus, media tulis paling populer di zaman itu.

Petugas-petugas dikirim dengan anggaran besar untuk membeli naskah sebagai tambahan koleksi. Mereka sering mengunjungi pameran naskah yang diselenggarakan di pulau Rhodos dan Athena. Menurut penulis kedokteran abad ke-2 Masehi dari Yunani, Galenus, setiap naskah yang ditemukan di kapal-kapal yang berlabuh di Aleksandria, wajib dibawa ke Perpustakaan untuk dibuatkan salinannya.

Banyak cendekiawan terkenal yang bekerja di Perpustakaan Aleksandria pada abad ke-3 dan ke-2 SM, sebut saja:

  • Zenodotos dari Efesos, kritikus puisi-puisi karya Homer;
  • Kalimakos, penyusun Pinakes, karya bibliografi yang dianggap sebagai buku katalog pertama di dunia;
  • Apollonius dari Rodhes, penulis epik Argonautika;
  • Eratosthenes dari Kirene, pakar matematika dan geografi yang pertama kali memikirkan sistem koordinat geografi, sekaligus orang pertama yang menghitung keliling bumi dengan perhitungan yang nyaris akurat.

Melewati usia satu abad lebih, setelah melalui masa Ptolomeus I hingga Ptolomeus VII, Perpustakaan Aleksandria perlahan mengalami kemunduran. Titik baliknya ketika Ptolomeus VIII Fiskon mengusir para cendekiawan dari perpustakaan. Akibatnya kepala perpustakaan dan bawahannya banyak yang mengundurkan diri dan mengungsi ke luar negeri.

Pada saat pengepungan Aleksandria tahun 48 SM, Julis Caesar secara terpaksa membakar armada perangnya. Kobaran api melebar hingga menjangkau Perpustakaan Aleksandria. Sebagian besar koleksi terbakar hingga nasib perpustakaan semakin tidak menentu, meski masih berdiri. Strabo, filsuf dan geografer Yunani pada tahun 20 SM masih sempat mengunjungi lokasi Mouseion dan melihat-lihat Perpustakaan Agung Aleksandria.

Setelah Mesir dikuasai Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) sejak 30 SM, Perpustakaan Aleksandria semakin merosot karena kurangnya sokongan dana. Keanggotaan para cendekiawan berakhir pada dekade 260-an Masehi. Tahun 270-275, pemberontakan meletus di Aleksandria. Serangan balasan dari Kekaisaran Romawi menyebabkan bangunan perpustakaan Aleksandria hancur tanpa sisa.

Cabang perpustakaan di Serapeum mampu bertahan hingga tahun 391, ketika bangunan kuil itu dihancurkan oleh pasukan Romawi dalam misi menghabisi kaum pagan, sesuai maklumat Paus Teofilus dari Aleksandria. Meskipun sebenarnya, kuil itu sudah tidak lagi berfungsi sebagai perpustakaan, melainkan forum diskusi para filsuf aliran neoplatoninsme.

Bersambung…

Moh. Yasir/sidogiri

Spread the love