Cinta adalah legenda yang tidak pernah habis dibahas. Ia datang dan pergi tanpa harus permisi. Tiba-tiba saja ia hinggap di hati, dan bisa jadi sekejap kemudian menghilang pergi. Itulah cinta, penuh dengan dinamika.
Bagi yang sedang dimabuk cinta, mereka berani mengorbankan apapun demi menyenangkan sang kekasih. Bukan cinta namanya, kalau tidak mau berkorban untuk menggapai yang dicintainya, karena cinta memang identik dengan pengorbanan.
Syahdan, Rasulullah mencium aroma sangat harum ketika beliau menjalani Isra’ Mi’raj. Dengan penuh rasa penasaran, Baginda Nabi bertanya pada Malaikat Jibril:
“Harum apakah ini, wahai Jibril?’’
Malaikat Jibril menjawab: “Itu bau wangi dari kuburan seorang perempuan shalehah yang bernama Siti Masyitah dan putra-putrinya. Kisah perempuan yang memegang teguh kebenaran dan keimanan, karena begitu cintanya kepada Allah. Seperti yang diriwayatkan dalam hadis Ibnu Abbas.
Siti Masyitah yang dimaksud Malaikat Jibril itu tak lain adalah perempuan shalehah yang hidup di zaman Firaun, raja beringas yang mendeklarasikan dirinya sebagai “Tuhan”. Di sekitar Firaun ternyata ada beberapa orang dekat yang diam-diam beriman kepada Allah dan Nabi Musa. Mereka mengikuti tuntunan Kitab Taurat.
Orang-orang terdekat itu diantaranya wanita shalehah yang menjadi belahan cinta Firaun yaitu Siti Aisyiah dan Siti Masyitah yang mengurus anak-anak Firaun. Juga seorang lelaki yang bernama Hazaqil. Ia adalah pembuat peti, tempat Musa balita ditaruh untuk kemudian dihanyutkan di sungai.
Di istana kerajaan Firaun, Hazaqil menjadi orang kepercayaan sang raja yang kemudian menikah dengan Siti Masyitah. Suatu hari terjadi perdebatan sengit antara Firaun dengan Hazaqil, tentang keputusan Firaun menjatuhkan hukuman mati kepada ahli sihir yang menyatakan beriman kepada Nabi Musa. Keputusan itu pun ditentang keras oleh Hazaqil.
Penentangan Hazaqil membuat Firaun curiga, jangan-jangan Hazaqil selama ini beriman pula kepada Nabi Musa. Atas kecurigaan, Firaun kemudian mengganjar dengan hukuman mati. Namun itu tak membuat Hazaqil takut. Ia tetap yakin Tuhan yang diimaninya tidak ada lain, kecuali Allah.
Suami Siti Masyitah kemudian diketemukan meninggal dengan kondisi mengenaskan. Tangannya terikat di pohon kurma; tubuhnya penuh dengan tusukan anak panah. Siti Masyitah merasakan sedih yang mendalam melihat kondisi suaminya. Namun ia tetap bersabar dan berserah diri kepada Allah. Ia berkeluh kesah pada istri Firaun, Siti Aisyiah.
***
Sepeninggal suaminya, seperti biasa Siti Masyitah menjalankan tugas harian sebagai perias putri Firaun. Ada kisah sepele, tapi berdampak besar. Saat itu Siti Masyitah sedang menyisir rambut anak Firaun. Tiba-tiba sisir dalam genggamannya terjatuh. Ketika mengambil lagi sisir tersebut, bibirnya reflek mengucap: “Bismillah”
Ucapan itu membuat anak Firaun terkejut. “Apakah ucapan yang kamu maksud adalah ayahku,” tanya putri Firaun. Siti Masyitah dengan jujur mengatakan bahwa maksud ucapannya ialah Tuhan yang Maha Esa, Tuhan yang Maha Pemberani dan Tuhan yang Maha Cinta, bukan ditujukan untuk Firaun.
“Dialah Rabb-ku, juga Rabb ayahmu, yaitu Allah. Karena tiada Tuhan selain Allah,” katanya. Jawaban itu membuat anak Firaun tersinggung: berarti ada Tuhan lain selain ayahnya. Putri Firaun itu mengancam melaporkan ucapan Siti Masyitah tersebut pada ayahnya. Siti Masyitah tidak gentar, karena ia yakin Allah adalah Tuhan sebenarnya, bukan Firaun.
Laporan anaknya membuat Firaun murka. Ia tidak menyangka, pengasuh anaknya adalah pengikut Nabi Musa. Siti Masyitah dipanggil lalu ditanya oleh Firaun:
“Apakah benar apa yang disampaikan putriku? Siapakah Tuhan yang engkau sembah selama ini?”
Siti Masyitah tidak mengelak dari tuduhan itu. Dengan tegas dia mengatakan: “Betul, raja yang zalim. Bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang sesungguhnya menguasai alam dan segala isinya.”
Jawaban itu kontan membuat Firaun makin marah. Ia memerintahkan para pengawal menyiapkan minyak mendidih di dalam bejana besar. Panci panas itu untuk menggodok Siti Masyitah beserta anak-anaknya, yang dipertontonkan pada masyarakat luas. Sebelum dimasukkan ke minyak mendidih, Siti Masyitah diberi kesempatan sekali lagi untuk memilih: dia dan dua anaknya selamat jika mengakui Firaun sebagai tuhan, sebaliknya nyawanya terancam jika tidak mau mengakui ketuhanan Firaun.
Siti Masyitah tidak gentar terhadap ancaman Firaun. Ia tetap menjaga rasa cintanya kepada agama yang di anut dan ia yakini. Tuhan yang sesungguhnya hanyalah Allah I, bukan raja yang lalim. Pendirian Siti Masyitah semakin mempermalukan Firaun. Raja kejam itu memerintahkan pengawal segera melemparkan Siti Masyitah bersama kedua anaknya.
Kisah ini disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad r, bahwa Firaun memerintah untuk melemparkan anak Siti Masyitah satu persatu di hadapan ibunya, hingga giliran terakhir bayi yang sedang menyusu dalam pelukan Siti Masyitah. Ibu mana yang tega menyaksikan satu persatu anaknya tergerus minyak panas.
Ketika tiba giliran si bayi yang akan dimasukkan, Siti Masyitah sempat ragu. Kekuasaan dan kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang teguh bertakwa menyebabkan bayi dalam gendongan Siti Masyitah tiba-tiba berbicara: “Jangan takut dan mengelak, wahai ibuku. Karena kematian kita akan mendapat ganjaran dari Allah. Pintu surga terbuka lebar menanti kedatangan kita.”
Riwayat lain, bayi Siti Masyitah seakan meyakinkan ibunya: “Sabarlah wahai ibuku, sesungguhnya kita ada di pihak yang benar. Wahai ibu, menceburlah. Karena sesungguhnya siksa dunia lebih ringan daripada siksa akhirat.’’ (HR Imam Ahmad)
Kekuatan anaknya membuat keraguan Siti Masyitah hilang; kecintaannya kepada agama dan Tuhan bertambah kuat. Dengan yakin dan ikhlas kepada Allah, Siti Masyitah merapal doa: “Bismillâhi Tawakkaltu ‘Alallâh Wallâhu Akbar.” Siti Masyitah dan bayinya terjun kedalam kubangan minyak mendidih. Ajaib, begitu minyak panas menggerus raga orang-orang istiqamah itu tercium wangi yang sangat harum dari dalamnya.
Allah telah memberi bukti kepada setiap hamba-Nya yang istiqamah dan mencintai-Nya dengan sepenuh hati. Ketika Siti Masyitah dan anak-anaknya dilemparkan satu persatu ke periuk, Allah terlebih dahulu mencabut nyawa mereka, sehingga mereka tidak merasakan panasnya minyak mendidih.
Tulang belulang Siti Masyitah bersama anak-anaknya dikubur di suatu tempat, hingga mengeluarkan wangi yang sangat harum. Aroma itu tercium oleh Rasulullah ketika perjalanan Isra’ Mi’raj. “Itulah kuburan Siti Masyitah bersama anak-anaknya,” kata Malaikat Jibril.
Betapa kuat rasa cinta Siti Masyitah kepada Allah dan agamanya. Dengan cinta itu pula tak pernah terlintas untuk menggadaikan kenyakinannya demi apapun. Siti Masyitah bahkan rela menerima konsekuensi berat meski nyawa dirinya beserta seluruh keluarganya menjadi taruhan. Dengan modal iman yang kuat pula ia dinobatkan sebagai salah satu cerminan wanita shalehah yang menjadi inspirasi Muslimah-Muslimah setelahnya.
Faiz Jawami’ Amzad/sidogiri