Beberapa waktu yang lalu Indonesia heboh oleh isu salah satu pertanyaan yang muncul dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN). Konon, salah satu pertanyaan yang disodorkan adalah, “Anda pilih al-Quran atau Pancasila?”. Tentu, pertanyaan semacam itu tidak saja aneh dan ganjil, namun juga kontroversial, karena di balik pertanyaan itu penuh dengan bias. Bagaimana seharusnya kita menanggapi pertanyaan semacam itu, serta bagaimana mengungkap bias di baliknya?

***

Tampak jelas bahwa pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bermasalah alias keliru. Sebagaimana maklum, pertanyaan yang salah tidak akan pernah menghasilkan jawaban yang benar. Sebab pada hakikatnya, Pancasila bukan sesuatu yang bisa dipertentangkan dengan al-Quran, sebab sila-sila di dalam Pancasila itu dihasilkan dari ajaran al-Quran, atau bisa ditemukan sumbernya dari al-Quran, terutama sila pertama yang berupa Keturunan yang Maha Esa. Tidak ada yang memiliki konsep sedemikian tentang Tuhan selain al-Quran, yakni agama Islam.

Jika demikian halnya, maka selanjutnya bisa dengan mudah kita diduga bahwa pertanyaan yang keliru tersebut adalah murni kekeliruan, atau memang sengaja dibuat dan diajukan untuk tujuan yang tidak benar. Jika memang murni kekeliruan, maka hal itu bisa kita maklumi, untuk kemudian dikoreksi dan dibenahi. Namun jika sengaja dikelirukan untuk tujuan yang tidak benar, maka tentunya harus kita kritik dan kita perangi, supaya tidak menciptakan kerusakan yang merata.

Jika pertanyaan itu memang sengaja dibuat meski telah disadari kekeliruannya, maka salah satu kemungkinan terdekatnya adalah bahwa di balik pertanyaan itu terselip agenda anti-Islam atau Islamophobia; agar supaya bangsa Indonesia tidak suka pada Islam atau bahkan anti terhadap Islam, maka dimunculkan kesan bahwa Islam bertentangan dengan Pancasila, atau bahwa Islam adalah radikal dan tidak sesuai dengan Pancasila dan Indonesia, atau bahwa ajaran Islam di dalam al-Quran itu adalah asing dan tidak sesuai dengan ‘kearifan lokal’.

Kita semua menyadari bahwa narasi semacam itu memang tengah dengan gencar dibangun oleh kelompok-kelompok yang anti terhadap Islam, baik oleh mereka yang terindikasi terpapar paham komunisme atau sosialisme maupun mereka yang terpapar paham liberalisme. Mereka rajin menyetempel setiap hal yang berhubungan dengan Islam dengan stempel buruk. Misalnya jilbab dan niqab. Padahal siapapun tahu bahwa itu adalah ajaran khas Islam yang sangat memuliakan terhadap kaum wanita. Sementara di sisi yang berbeda mereka justru sangat apresiatif terhadap segala hal yang bersumber dari Barat atau dari luar Islam, seperti tren membuka aurat bagi wanita, sekalipun kita semua menyadari bahwa itu merendahkan harga diri setiap wanita.

Spread the love