(CINTA DALAM DOA, RESTU ADA DI BALIK USAHA)
Hidup mesra di masa senja bersama pasangan yang dicinta dan mencinta, barangkali menjadi idaman semua pujangga. Tentu saja, pejuang cinta yang saban waktunya diliputi bahagia, akan berusaha bagaimana agar rasa di relung dada tidak hilang begitu saja. Ada upaya agar seribu satu gejolak sanubari tidak lenyap bersama petang menjemput senja. Kendati pun mereka mengerti bahwa dalam histori, cinta acap kali datang memikul duka dan lara. Tapi apalah daya, ketika cinta menghiasi hati, yang tumbuh hanyalah rerimbunan bahagia. Suka cita menyesaki ruang otak yang bekerja. Tubuh terasa bugar, suasana alam terasa segar, nafsu makan pun selalu terbakar.
Ketika plotnya demikian, maka menikah adalah langkah terbaik dan paling sempurna. Yang dengannya pula, kita akan dengan mudah memantik berlusin-lusin berkah meraih hidup sakinah. “Kami belum menemukan solusi paling mujarab bagi sepasang insan (dewasa) yang saling jatuh cinta selain menikah”(HR. Ibnu Majah)
Mari sejenak mengintip dapur mesra kisah asmara Sayidina Ali. bersama tambatan hatinya yang tak lain adalah putri tersayang Rasulullah, Sayidah Fatimah. Ketika Ali menginjak usia pubertas, diam-diam beliau menaruh hati pada Sayidah Fatimah, sedangkan di balik pintu rumah Nabi, Fatimah malah lebih dulu menaruh hati kepincut kepada Ali. Kecerdasan dan keelokan paras Fatimah yang terpahat begitu sudah sukses membikin Ali terlena tak kuasai diri. Semakin sering detik jam berputar semakin susah pula Ali menahan amuk cintanya yang terus berdebar-debar. Tapi sungguh di luar harapan, ketika rasa cinta yang menyeliputi segenap pikirannya telah mencapai pada puncaknya, kabar buruk pun datang menghantui alam sadarnya. Abu Bakar yang tak lain adalah shahabat terdekat Nabi, hadir bertamu bermaksud melamar Fatimah. Sontak saja, cinta yang cukup lama memenara roboh sekejap seketika. Tentu saja apa yang ada dalam pikiran Ali adalah tanda terima dan restu dari Baginda, hal itu lantaran pengorbanan Abu Bakar pada tegaknya agama Islam tidak pernah tanggung alias setengah matang. Akan tetapi, Tuhan berkehendak lain, Nabi menolak lamarannya, karena Fatimah masih kecil belum pantas untuk menikah.
Baca Juga: Muslimah yang Menyejukkan Hati
Mendengar berita penolakan Nabi, Sayidina Ali kembali bangkit dengan sisa-sisa cintanya yang kembali ia bangun dengan sabar dan perlahan. Hidupnya kembali utuh nan normal, ia kembali bisa menikmati udara segar. Pun pula dengan Sayidah Fatimah, ia bahagia melihat keputusan bijak ayahnya. Seulam senyum mengembang melambangkan bunga-bunga cintanya yang kembali merekah. Spirit dan power cintanya kembali bersenandung menarasikan nada-nada gembira. Tapi apa yang terjadi setelahnya, ternyata secara diam-diam Umar bin al-Khaththab juga tertarik mempersunting putri Nabi yang satu ini. Melihat momentum yang sangat tepat pasca ditolaknya Abu Bakar, beliau hadir ke rumah Baginda dengan tujuan yang sama; meminang Sayidah Fatimah. Tentu saja mendengar berita tersebut, keagungan cinta Sayidina Ali kembali ciut dan menyusut, begitu pula dengan pujaan hatinya, meski ia ikhlas dengan keputusan ayahnya tapi tetap saja perasaan hati tidak bisa membohongi. Tapi lihatlah bagaimana Allah menyutradarai. Dengan santun dan suara tenang, Baginda juga menolak pinangan Umar bin al-Khaththab. Beliau menolak lantaran belum mendapat wahyu dari Allah. Ali pun kembali lega.
Nafasnya kembali teratur tanpa tercegat ataupun terjeda. Hatinya meronta luar biasa, ingin rasanya pergi ke dalem Baginda berterus terang tentang apa yang dialaminya. Melalui motivasi yang lakukan oleh mantan budaknya, Ali bertekad diri datang menemui Nabi. Dan sungguh di sanalah awal cerita cintanya mulai bertumbuh semi. Ibarat pepatah “Pucuk dicita ulam pun tiba”.
“Apa yang membuat dirimu datang ke sini, Wahai Ali?” Ali hanya terdiam. Rupanya beliau juga khawatir bernasib sama seperti dua sahabat sebelumnya. “Apakah kamu memiliki kepentingan hingga kau datang menemuiku?,” tanya Baginda. Ali masih saja bungkam. “Apakah kamu mempunyai mas kawin untuk kau berikan kepada Fatimah?,” barulah di pertanyaan yang ketiga ini Ali menjawab “Aku hanya memiliki unta, pedang dan juga tameng pemberianmu, wahai Nabi!” Nabi pun menjawab “Simpanlah pedang dan untamu. Sesungguhnya engkau masih membutuhkannya untuk berperang. Ketahuilah wahai Ali, sesungguhnya Allah telah menikahkanmu dengan Fatimah di langit dengan mas kawin sejumlah 400 dirham, maka sekarang pulanglah dan juallah tameng itu seharga 400 dirham. Sesungguhnya aku merestuimu dan akan menikahkanmu dengan putriku.”
Baca Juga: Muslimah Anti Galau
Kira-kira hati Muslimah mana yang tak mau suratan takdirnya seperti ini. Ketika hati saling mencintai, sang pujaan hati datang membebaskan diri. Menikah tanpa perlu melewati jalur yang dimurkai ilahi. Sungguh para bidadari surga pun iri cemburu setengah mati. Tapi adakah di antara Muslimah yang mengetahaui rahasia apa yang dilakukan oleh Sayidah Fatimah dan Sayidina Ali. Adalah doa dan usaha diri.
Dalam Islam Allah memerintah kita agar supaya terus berdoa dan tak lupa pula usaha dan upaya. Dalam al-Quran Allah berfirman dengan begitu jelas yang artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaknya mereka itu memenuhi (segala perintah-ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka sanantiasa berada dalam kebenaran” (Al-Baqarah [02]: 186). Tiada Tuhan selain Allah. Ia adalah Dzat yang tidak pernah tidur yang selalu mengawasi gerak-gerik hamba-Nya. Wajar saja jika kemudian Fatimah az-Zahra beruntung dipersunting oleh Ali bin Abi Thalib. Karena diakui atau tidak, siang dan malam, kedua insan mulia ini tak henti-hentinya merapalkan bait-bait doa. Bermunajat meminta agar apa yang diinginkannya dikabulkan dan diamini oleh Tuhan Sang Maha Cinta. Barulah setelah itu, Ali yang gantleman berterus terang pada dirinya sendiri. Mengerahkan segenap usahanya hingga pada akhirnya kedua insan ini mampu menyeduh manisnya ending perjalanan cinta.
Hanya saja, bagaimana jika orang tua tidak merestui? Bagaimana jika mereka sudah memiliki calon lain? Ketahuilah wahai Muslimah sejati, jika memang benar di antara pilihan Anda dan pilihan orang tua sama-sama baik, maka tak ada salahnya mengikuti kehendak orang tua. Pasti mereka semua telah mempersiapkan calon terbaik untuk anak-anaknya. Mustahil orang tua akan memilihkan pendamping tanggung apalagi hina untuk buah hatinya. Namun jika memang perasaan cinta yang telah menancap erat di hati Anda sudah tidak bisa lagi dicabut maka terus teranglah kepada orang tua. Katakanlah sejujurnya. Bicaralah empat mata, karena Nabi telah bersabda: “Sebagian dari kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah mendidiknya dengan baik dan menikahkannya apabila sudah baligh” (HR. Ibnu Hibban).
Khoiron Abdullah/sidogiri