Preambule
Beberapa waktu yang lalu, sebelum dan setelah tanggal 22 Oktober 2016, ada perbincangan yang cukup ramai mengenai tanggal itu yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional, karena bertepatan dengan resolusi jihad yang memang dipelopori oleh para kiai dan santri. Sebagian kelompok setuju, dan sebagian kelompok tidak setuju; antara pro dan kontra.
Seperti halnya momen tanggal 10 Muharam, yang selalu diributkan karena memang ada dua perayaan yang kontras pada hari yang sama, antara bergembira dan berduka. Tapi kata al-Habib Ali al-Jufri, “Siapa yang pada hari Asyura bergembira karena kemenangan Nabi Musa, berarti dia ada dalam haqq (kebenaran). Lalu siapa yang pada hari itu berduka secara wajar karena musibah yang menimpa keluarga Nabi, berarti ia ada dalam hubb (kecintaan). Di sini, kebenaran dan kecintaan tidaklah bertentangan.”
Setidaknya dari sini kita jadi tahu, bahwa pada kebanyakan topik-topik yang diperdebatkan orang ramai, sebetulnya selalu ada celah untuk mengkompromikan, karena memang menghindar dari khilâf itu mustahabb.
Menelisik ‘Sesuatu’
Tapi kenapa Hari Santri Nasional kok mesti diperdebatkan, bahkan sebagian kalangan santri sendiri juga ada yang setidaknya tidak sreg? Jawabannya tentu karena ada ‘sesuatu’ di balik penetapan tersebut yang tidak disetujui oleh sebagian pihak, dan ada ‘hal lain’ yang menempel pada keputusan itu, sehingga dikhawatirkan menimbulkan hal-hal negatif yang tak diinginkan di kemudian hari.
Sebagian pihak dari kalangan santri sendiri emoh dengan Hari Santri Nasional karena bagi mereka santri tak memerlukan hari-hari khusus. Kalau memang Hari Santri ditujukan supaya reputasi santri terangkat, mereka bilang santri tak perlu pengakuan apapun dari sesama makhluk. Dan jika Hari Santri ditujukan supaya santri memiliki tambahan semangat, mereka bilang setiap hari adalah hari santri, karena setiap hari santri selalu semangat.
Sebagian pihak lain merasa enggan terhadap Hari Santri Nasional itu karena ia merupakan hasil kontrak politik dengan presiden yang tengah berkuasa saat ini. Jadi saat kampanye, calon presiden itu mengajak kaum santri untuk memilih dirinya, dan nanti kalau menang, kaum santri akan dihadiahi penetapan Hari Santri Nasional. Maka tanggal 22 Oktober pun dipilih untuk itu. Dengan demikian, bisa diartikan bahwa penetapan Hari Santri Nasional itu tidak tulus untuk menghargai perjuangan santri.
Di samping itu, ada pihak lain lagi yang juga tidak setuju dengan Hari Santri Nasional itu, dengan alasan hal tersebut berpotensi mengkotak-kotakkan umat ke dalam golongan-golongan yang makin beragam, sehingga dikhawatirkan terjadi kesenjangan di antara mereka. Penetapan Hari Santri Nasional dianggap telah menghidupkan kembali sekat-sekat sosial yang sebelumnya dibuat oleh penjajah Belanda, di mana ada kelas Priyayi, Abangan, dan Santri.
Bersikap Kalem
Dalam hal ini, penulis memiliki pandangan netral, tidak memihak pada dua titik ekstrem antara pihak-pihak yang pro maupun yang kontra, serta lebih memilih bersikap kalem, alias soft and smooth, mengingat Hari Santri Nasional bukan merupakan perkara yang penting dan tak ada kaitannya dengan urusan-urusan mendasar di dalam agama dan umat, sehingga sebetulnya kita rugi kalau harus otot-ototan gara-gara hal itu.
Tapi bagaimanapun, Hari Santri Nasional itu juga tetap ada gunanya, setidaknya dalam konteks kehidupan berbangsa yang berbhineka. Karena dengan adanya hari khusus itu, setidaknya bangsa Indonesia bisa mengingat jasa perjuangan kaum santri, dan karenanya santri tak terabaikan dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara. Lha wong Kartini saja ada hari khususnya, sehingga ia dikenang sepanjang masa, masa santri gak ada?
Bahkan jika awalnya ia merupakan kontrak politik sekalipun, itu tak mengurangi nilai positif dari keberadaan Hari Santri Nasional ini. Sebab sejatinya hal itu malah lebih menunjukkan bahwa kaum santri ternyata memiliki nilai tawar politik yang cukup kuat, dan bahwa suara mereka masih didengarkan oleh pemerintah.
Sedangkan kekhawatiran adanya potensi memecah-belah keutuhan umat, sesungguhnya itu terlalu hiperbolis, bombastis alias lebay. Karena perkiraan itu jelas sangat jauh dari maksud keberadaan hari-hari khusus itu. Bahkan kalaupun hari khusus itu semakin mempertegas perbedaan status, maka dari sisi yang berbeda ia bisa dipandang sebagai potensi untuk memupuk rasa toleransi dan solidaritas. Atau dalam konteks humor, kekhawatiran itu bisa dijawab dengan fakta bahwa kendati yang ada hanya Hari Ibu, ternyata ia tak menyebabkan terjadinya kesenjangan antara para ibu dan para ayah.
Yang Dikhawatirkan
Jadi ya sudah lah, disetujui atau tidak, faktanya Hari Santri Nasional sekarang sudah ditetapkan, dan memperpanjang pembahasan tentang pro-kontra tentu hanya membuang-buang waktu. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita mengisi hari itu sehingga memenuhi ekspektasi yang seharusnya. Yakni bagaimana sekiranya spirit Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober itu benar-benar bisa memperbaharui semangat santri dalam berjuang, baik dalam rangka dakwah Islam maupun dalam mengisi kemerdekaan. Bagaimana sekiranya hari itu benar-benar bisa memberikan inspirasi kepada santri dan kepada siapapun, sehingga ia menjadi momentum kebangkitan yang luar biasa.
Karenanya, yang dikhawatirkan adalah jangan-jangan Hari Santri Nasional ini kelak akan memiliki nasib yang tak jauh beda dengan hari-hari nasional lainnya, yang tampak sesak dengan seremoni-seremoni tanpa arti, dan sangat jauh dari spirit yang terkandung di dalamnya. Hari Kartini, misalnya, yang mestinya bisa menyuntikkan semangat kaum wanita dalam hal pendidikan, malah diisi dengan ramai-ramai berkebaya dan memakai rambut palsu. Hal ini sungguh mengecewakan dan jauh dari harapan.
Jadi jika pada akhirnya nanti Hari Santri Nasional itu diisi dengan lomba makan kerupuk atau panjat pinang, maka sungguh kita benar-benar tak memerlukan hari nasional apapun.
Moh. Achyat Ahmad/sidogiri