Setiap tahun, umat Islam memperingati peristiwa hijrahnya Rasulullah bersama para sahabat beliau dari Mekah ke Madinah. Ini adalah peristiwa yang sungguh luar biasa, karena menjadi titik balik yang mendandai kesuksesan dakwah Rasulullah yang luar biasa. Konon, itu merupakan salah satu alasan mengapa kemudian umat Islam generasi awal menjadikan mementum hijrah sebagai penanda dimulainya kalender dalam Islam, yang selanjutnya dikenal dengan kalender Hijriah.

Hijrah itu sendiri berarti berpindah domisili dari satu tempat menuju tempat yang lain, di mana di tempat asalnya umat Islam selalu dizalimi, diintimidasi dan didiskriditkan, sehingga hak asasi mereka terampas; tidak bisa menampakkan syiar Islam dengan leluasa, tidak bisa berdakwah, dan lain sebagainya. Dalam keadaan yang seperti itulah umat Islam diharuskan hijrah meninggalkan tanah airnya, menuju tempat yang lebih kondusif untuk diri dan agamanya.

Baca Juga: Membangun Nyali Hijrah

Namun setelah Mekah berhasil ditaklukkan pada tahun delapan hijriah, Rasulullah ditanya tentang hijrah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis riwayat Sayyidah Aisyah. Menjawab pertanyaan itu, Rasulullah bersabda: “Tidak ada hijrah setelah ditaklukkannya kota Mekah. Akan tetapi yang tersisa adalah jihad dan niat.” Artinya, setelah Mekah ditaklukkan, umat Islam di situ sudah tidak wajib hijrah, karena kini mekah sudah menjadi wilayah Islam (Darul-Islam).

Lalu kini, apa yang tersisa dari sejarah dan ajaran hijrah bagi kita di sini, padahal kita sudah tidak berkewajiban untuk hijrah? Hal apakah yang mesti kita gali dari memperingati peristiwa hijrah pada setiap tahunnya, sehingga peringatan itu tidak sekadar menjadi seremonial yang kering tanpa manfaat dan pemaknaan? Jawaban dari pertanyaan itu adalah: pertama, kita perlu mewarisi semangat hijrah. Kedua, ada hijrah dalam bentuknya yang lain yang harus tetap kita perjuangkan.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak ada hijrah setelah ditaklukkannya kota Mekah. Akan tetapi yang tersisa adalah jihad dan niat.” Itu artinya, meskipun seseorang sudah tidak diwajibkan hijrah karena ia tinggal di negara yang aman, sehingga bisa melaksanakan seluruh ajaran agama dengan leluasa, namun semangat yang tersimpan dalam hijrah harus tetap menyala: jihad dan niat.

Baca Juga: jangan Semua ‘Pindah’ Disebut Hijrah

Jihad artinya berusaha tanpa kenal lelah, hingga batas kemampuan yang kita miliki, untuk mencapai cita-cita yang kita gantungkan tinggi-tinggi, di mana cita-cita, usaha dan proses untuk menggapainya telah ditata rapi sesuai dengan tuntunan agama. Maka usaha keras dalam mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan, ilmu agama maupun ilmu umum, usaha mengajarkan ilmu, berdakwah, melakukan penelitian, bekerja dengan profesional, dan lain sebagainya, adalah bagian yang tak terpisahkan dari jihad yang dimaksudkan dalam Islam.

Selain itu, sebetulnya juga ada bentuk hijrah lain selain berpindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Jika hijrah dalam bentuknya yang pertama sudah tidak berlaku pada zaman ini, maka hijrah dalam bentuknya yang lain masih tetap berlaku hingga saat ini dan sampai kapanpun. Yakni hijrah dari satu akhlak menuju akhlak yang lain; hijrah dari perangai buruk menuju perangai yang baik, hijrah dari kegemaran bermaksiat menuju kegemaran taat, dan begitu seterusnya.

Hijrah dalam bentuknya yang terakhir ini – yang tetap relevan hingga kini dan sampai kapanpun itu – adalah sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah hadis, di mana Rasulullah e bersabda: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Adapun orang yang berhijrah (al-Muhâjir) adalah orang yang berhijrah dari segala apa yang dilarang oleh Allah I.” (HR. Ibnu Hibban).

Achyat Ahmad/sidogiri

Spread the love