Tahun 1 Hijriah atau Tahun 14 Kenabian, 1440 tahun yang lalu. Selang beberapa bulan setelah Rasulullah hijrah, seorang kakek tua di Makkah menjadi buah bibir cerita hijrah. Sejarawan masih berbeda pendapat mengenai nama asli kakek yang fenomenal ini. Sejarawan al-Waqidi dan beberapa sejarawan ternama lainnya menyebutkan bahwa dia bernama “Jundub bin Dhamrah al-Laitsi”. Ada yang menyebutnya bernama “Jundu’ bin Dhamrah”, dan ada yang menyebutnya bernama “Dhamrah bin Abi al-Aish.”

Ia sedang sakit parah. Tubuhnya yang ringkih tampak sudah sangat lemah. Dalam kondisi itu, dia menengadahkan tangan ke langit, “Ya Allah, aku akan membela Rasul-Mu dengan raga dan jiwaku. Tapi aku harus meninggalkan kumpulan orang-orang musyrik ini ke Kampung Hijrah. Aku akan bersama Nabi dan memperbanyak kumpulan orang-orang Muhajirin dan Anshar di sana.”

Dia memanggil empat orang putranya. Dia mengungkapkan tekad hatinya untuk hijrah. Dia sudah tidak betah lagi berada di Makkah. “Sudah tidak ada lagi alasan bagiku untuk tetap tinggal di sini!,” katanya dengan suara terbata-bata.

Beberapa hari sebelumnya, memang ada sepucuk surat datang dari Madinah. Isinya adalah pemberitahuan mengenai turunnya QS an-Nisa’: 97. Ayat itu menyatakan bahwa orang-orang yang enggan berhijrah berarti telah berbuat zalim kepada dirinya sendiri. Jika dia mati dalam kondisi tidak hijrah, maka siksa Jahanam baginya. Surat itulah yang membuat tekad Jundub untuk hijrah tidak bisa ditawar lagi.

“Bawalah aku pergi dari sini (untuk berhijrah), barangkali masih ada kesempatan bagiku untuk hidup.” “Ke arah mana, Ayah menginginkan?” “Ke arah Tan’im saja…” Tan’im, berjarak empat mil di utara Makkah. Tepat di jalan utama yang menghubungkan Makkah dan Madinah. Di sana, ada sebuah lembah yang diapit oleh dua bukit. Orang-orang Arab biasa menyebutnya dengan Wadi Nu’man. Tidak jauh dari lembah itu, Jundub terbaring sangat lemah, dikelilingi oleh empat putra yang mengantarnya. Ia berperang manahan rasa sakit yang sedang dideritanya.

Imam Fakhruddin ar-Razi bercerita, di detik-detik akhirnya hayatnya itu, Jundub bin Dhamrah mengumpulkan sisa-sisa tenaga, berusaha mengangkat kedua tangannya. Lalu menepukkan tangan kanan ke tangan kirinya, seraya bergumam lirih, “Ya Allah, yang ini untuk-Mu, sedangkan yang ini untuk Rasul-Mu. Aku berbaiat kepada-Mu seperti baiat Rasulullah kepada-Mu.” Usai mengucapkan kalimat tersebut, Dhamrah memejamkan mata dan menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya.

Kabar kematian Dhamrah segera menyebar di Madinah. Rasa simpati dan iba tumpah di setiap sudut kota. Ada yang merasa kasihan karena kematian telah merenggut asanya untuk berhijrah. Tidak lama kemudian, Allah menurunkan wahyu untuk menjawab semua itu:

وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. (QS an-Nisa’ [4]: 100)

Kisah heroik Jundub dan turunnya ayat ini menginspirasi orang-orang Islam yang masih tersisa di Makkah untuk memaksakan diri berhijrah. Orang-orang Quraisy di bawah komando Abu Sufyan merespons hal itu dengan cepat. Beberapa orang yang memaksa hijrah ditangkap, dipenjara, bahkan disiksa.

Cuplikan kisah ini menggambarkan betapa hijrah bagi umat Islam pada masa itu bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan dan keniscayaan. Allah dan Rasul-Nya tidak memberi pilihan lain bagi yang mampu berhijrah, kecuali meninggalkan Makkah dan segala sesuatunya untuk membangun komunitas yang kokoh di Madinah.

Tidak tanggung-tanggung, perintah itu disertai ancaman siksa Jahanam bagi siapapun yang melanggarnya. Mengapa? Karena hijrah merupakan satu-satunya  cara untuk mempertahankan eksistensi agama Islam dan menyelamatkan umat Islam pada masa itu. Bayangkan, seandainya umat Islam memilih tetap di Makkah dan tidak ‘dipaksa’ hijrah ke Madinah, tentu mereka tidak akan pernah memiliki kekuatan politik-militer yang sangat dibutuhkan untuk bertahan di tengah tekanan klan-klan Arab, serta kekuatan Romawi dan Persia.

Karena itulah Allah menegaskan sebuah janji kepada umat Islam terkait potensi hijrah. Allah berfirman:

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً

Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. (QS an-Nisa’ [4]: 100)

Ternyata benar! Tidak perlu menunggu waktu lama untuk membuktikan janji Allah. Dalam waktu singkat, umat Islam berhasil menjadi kekuatan yang ditakuti di Semenanjung Arab, bahkan mulai mengusik ketenangan Romawi dan Persia. Hingga pada akhirnya, umat Islam tidak hanya berhasil mematahkan dominasi dua kerajaan besar itu, tapi juga berhasil menghapus mereka dari peta dunia.

Hijrah secara fisik memang sudah berakhir. Rasulullah sendiri yang menyatakan bahwa setelah penaklukan Makkah, sudah tidak ada lagi hijrah (dari Makkah ke Madinah), karena Makkah sudah menjadi milik umat Islam. Beliau hanya menegaskan, “Tapi (ada) jihad dan niat”.

Apa jihad dan niat? Tentu sangatlah banyak ragam penafsiran ulama mengenai kalimat ini. Namun, karena beliau menegaskannya dalam konteks hijrah, maka kata jihad dan niat yang dimaksud beliau tentu saja tidak bisa dilepaskan dari visi hijrah itu sendiri. Inti hijrah adalah berani meninggalkan apapun yang kita miliki demi perjuangan dan kemuliaan agama.

Umat Islam menjadi terpuruk seperti saat ini, faktor utamanya adalah karena tidak memiliki nyali untuk mengorbankan kepentingan duniawi demi perjuangan agama. Padahal, Rasulullah telah memberikan jaminan bahwa apapun yang kita korbankan untuk perjuagan agama ini, pasti diganti dengan yang lebih baik. Beliau bersabda:

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً للهِ عَزَّ وَجَلَّ؛ إلَّا بَدَّلَكَ اللهُ مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ

Sungguh, tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah Azza wa Jalla, melainkan Allah pasti memberikan ganti yang lebih baik untukmu.” (HR Ahmad).

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Raudhatul-Muhibbîn memberikan beberapa contoh mengenai hal ini. Nabi Sulaiman pernah membunuh kuda kesayangannya gara-gara menjadi penyebab beliau terlambat salat Ashar. Setelah itu, Allah menggantinya dengan kendaraan angin yang bisa membawa beliau ke manapun beliau suka. Begitu pula, para sahabat Muhajirin, mereka meninggalkan rumah dan kampung halaman yang sangat mereka cintai demi perjuagan agama. Tidak lama kemudian, Allah menggantinya dengan penaklukan-penaklukan yang sangat luas di tangan mereka.

Lalu, bagaimana dengan kita saat ini!?

Ahmad Dairobi/sidogiri

Baca juga: Rasulullah Mengajarkan Pun Cinta Tanah Air

Baca juga: Kembalikan Semua Pada Yang Maha Esa!

Spread the love