النور جند القلب كما أن الظلمة جند النفس فإذا أراد الله أن ينصر عبده أمده بنور الأنوار وقطع عنه مدد الظلم والأغيار
“Cahaya ilahiyah adalah pasukan hati, sebagaimana kegelapan adalah pasukan nafsu. Ketika Allah hendak menolong hambanya, maka Dia akan menghidupkan hatinya dengan pasukan cahaya ilahiyah, dan memutus pasukan kegelapan dan aghyar.”
Sampai di kalam hikmah ini, Syekh Ibnu Athaillah masih konsisten membicarakan cahaya ilahiyah, sebagai rentetan panjang dari warid yang menghinggapi hati seorang hamba. Hal itu mengindikasikan bahwa begitu pentingnya cahaya ilahiyah ini, sehingga perlu untuk diteliti dan dirasakan kehadirannya.
Sebagaimana dua pembahasan sebelumnya, cahaya ilahiyah di sini bukanlah cahaya yang dapat terdeteksi dengan indra, melainkan cahaya yang dapat menenangkan dan melapangkan, serta dapat menyerap segenap resah dan gelisah.
Hanya saja, ada prespektif baru yang dibangun Syekh Ibnu Athaillah, bahwa hati manusia tidak hanya menjadi pusat pertapaan cahaya ilahiyah, akan tetapi juga menjadi pusat pertahanan tentara syahwat syaithaniyah. Maka hati bisa menjadi dua markas untuk dua kekuatan yang berbeda.
Di sinilah tantangan baru seorang hamba. Untuk bisa membedakan dan memetakan posisi keduanya. Serta melihat secara mendalam, kekuatan mana yang lebih dominan pada hatinya saat ini. Jangan sampai kita merasa sudah baik, padahal pasukan syaithaniyah telah mendominasi sudut-sudut hati kita. Kewaspadaan harus ditingkatkan di setiap waktunya.
Adapun posisi kedua pasukan ini tetap ditentukan oleh inayah dan maunah Allah. Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan kekuatan cahaya ilahiyah. Kekuatan ini spontanitas akan menekan dan memborbardir kekuatan kebatilan pada sisi satunya.
Dan sebaliknya, apabila seorang hamba tidak dikehendaki baik oleh Allah, maka hatinya akan disesaki dengan kekuatan jahat. Melemahkan cahaya ilahiyah lalu meluluhlantakkannya. Maka hati itu akan dikuasai oleh bisikan-bisikan setan untuk selalu menjauh dari ketaatan kepada Allah. Begitulah hati manusia di setiap waktunya. Peperangan yang tak pernah usai.
Baca Juga: Menjaga Hati Pada Ilahi
Ketika pasukan cahaya ilahiyah menang. Maka nilai keimanan akan naik signifikan. Tapi ketika tentara syaithaniyah yang menang. Maka nilai keimanan akan jatuh ke zona degradasi. Begitulah indikasi sabda Rasulullah, bahwa iman bisa naik dan bisa turun. Tergantung pihak mana yang sedang juara.
Lantas siapakah hamba yang dikehendaki baik itu? Bagaimana kriteria dan ahwal-nya dalam dunia nyata? Akankah kita termasuk salah satu dari mereka?
Tentu hamba yang dikehendaki itu adalah hamba yang telah menyerahkan dirinya sepenuh hati pada Allah. Tidak mau terpedaya oleh hiruk-pikuk dan gemerlap dunia. Dialah hamba pilihan, yang menyediakan rongga hatinya untuk cahaya para malaikat. Menutup segala sisi dari nafsu dan hasrat. Bersungguh-sungguh dalam mencari ridha Allah. Maka dialah orang-orang yang akan diberi petunjuk ke jalan yang diridhai. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهلمعَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan orang-orang yang berjuang di jalan kami, maka sungguh Kami benar-benar memberi petunjuk (kemudahan) kepada jalan Kami dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan.” QS. Al-Ankabut [29]:69.
Mereka adalah hamba yang istikamah melaksanakan kewajiban-kewajiban. Serta bersabar meninggalkan larangan-larangan. Maka buah dari istikamah dan kesabaran ini adalah terikatnya hati kepada Allah. Dan apabila hati sudah tertambat kuat pada sang pencipta, maka efeknya bisa terlihat dalam aktifitasnya sehari-hari.
Adapun beberapa hal yang bisa dilakukan agar hati senantiasa tersambung pada Allah adalah dengan melazimkan hal-hal berikut:
Pertama, senantiasa membaca al-Quran. Belum pernah ada ulama yang menyangsikan bahwa membaca al-Quran adalah dzikir yang paling utama. Membaca al-Quran adalah membaca firman-Nya. Berkomunikasi dengan Allah. Semakin sering membacanya, dengan tilawah, dengan taammul dan tadabbur, dengan menghadirkan Allah, maka hati akan semakin lembut mengingat Allah.
Kedua, melazimkan istighfar, tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad. Biasakan setiap setelah shalat maktubah. Atau setidaknya di waktu pagi dan sore hari.
Baca Juga: Muslimah Yang Menyejukkan Hati
Secara detail, Syekh Ramadhan al-Buthi menjelaskan teknis pelaksanaannya. Yaitu dengan membaca istighfar seratus kali di setiap waktu sahur. Inilah anjuran Rasulullah. Lalu mengapa waktu sahur? Karena telah disampaikan oleh Allah dalam al-Quran:
وَبِاالأسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Mereka memohon ampun pada waktu sahur.” QS. Adz-Dzariyat: 18
Lalu setelah terbit fajar Shadiq, atau masuk waktu shalat Subuh, dilanjutkan membaca tasbih sebanyak seratus kali. Bisa dibaca sebelum shalat sunah Fajar atau setelahnya.
Lalu setelah selesai melaksanakan shalat Subuh dan dzikir-dzikir yang telah diajarkan. Maka dilanjutkan membaca tahlil (lailaha illallah) seratus kali. Dilanjutkan dengan membaca shalawat seratus kali.
Kemudia disempurnakan dengan membaca al-Quran. Bacalah semampunya. Bila mampu satu juz, maka istikamahkan satu juz. Bila tidak mampu satu juz, maka setengah juz. Bila tidak mampu setengah juz. Maka minimal satu lembar al-Quran setiap hari.
Lalu lihatlah! Bila kita mampu mengamalkannya dengan istikamah, di sana lah letak pertolongan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Di tengah sibuknya urusan kerja, masih sempat membaca dzikir-dzikir dan al-Quran. Di atas kendaraan dalam perjalanan, masih sempat membaca shalawat pada Rasulullah. Di tengah keramaian pasar, masih sempat menyepikan hati untuk mengingat Allah yang maha suci. Maka sungguh Allah telah memberikan pertolongan yang nyata.
Tidak mungkin ada hamba yang ingin mendapatkan kekuatan cahaya ilahiyah, namun enggan membaca dzikir, al-Quran dan shalawat pada Rasulullah. Padahal Rasulullah saja sebagai makhluk paling mulia di sisi Allah, masih enggan untuk lepas dari semua itu. Maka kira-kira siapa yang lebih butuh pada dzikir, shalawat dan al-Quran itu? Kita atau kah Rasulullah? Wallahu a’lam.