إِنْ لَمْ تُحَسِّنْ ظَنَّكَ بِهِ لِأَجْلِ جَمِيْلِ وَصْفِهِ حَسِّنْ ظَنَّكَ بِهِ لِوُجُوْدِ مُعَامَلَتِهِ مَعَكَ فَهَلْ عَوَّدَكَ إِلَّا حَسَنًا وَهَلْ أَسْدَى اِلَيْكَ إِلَا مِنَنًا؟
Jika engkau belum bisa berbaik sangka kepada Allah dengan kesempurnaan sifat-Nya, maka hendaklah engkau berbaik sangka terhadap wujud-nya yang selalu berinteraksi denganmu. Bukankah Dia tidak membawamu selain pada kebaikan? Dan tidak menggiringmumu selain pada kenikmatan?
Di dalam kalam hikmah ini, Syekh Ibnu Athaillah begitu memahami psikologi jamak manusia. Bahwa perjalanan hidup mereka tidak akan selalu lurus nan mulus. Beragam lika-liku dan masalah pasti akan datang, bahkan sering menghadang tanpa permisi. Di sinilah keajekan hati seorang hamba akan teruji. Akankah situasi dan kondisi buruk mampu mengguncang prasangka mereka?
Karenanya, jika kita belum bisa berbaik sangka kepada Allah dengan kesempurnaan sifat-Nya, maka hendaklah kita berbaik sangka terhadap wujud-nya yang selalu berinteraksi dengan kita.
Ya, bagaimanapun juga, manusia sebagai hamba harus berbaik sangka kepada Allah. Bila tidak bisa dengan cara terbaik, yaitu dengan melihat sifat baik-Nya, maka cukuplah kita berprasangka baik dengan adanya interaksi Allah kepada kita.
Dari kalam hikmah ini, Syekh Said Ramdhan Al-Buthi mengklasifikasi hamba menjadi dua, yang merupakan penjabaran dari kalam hikmah di atas. Bagian pertama, adalah hamba yang bisa berbaik sangka kepada Allah karena kesempurnaan sifat-Nya. Sedangkan yang kedua adalah hamba yang baru bisa berbaik sangka kepada Allah ketika sudah merasakan wujudnya Allah di setiap interaksinya.
Bagian pertama, adalah hamba yang benar-benar membenarkan semua kebaikan Allah. Meyakini bahwa Allah adalah Ar-Rahman. Meyakini bahwa Allah adalah Ar-Rahim. Dan semua kebaikan yang terhimpun di dalam nama-namanya yang indah (Asmaul Husna). Keyakinan yang langsung hadir tanpa membutuhkan dalil. Keyakinan yang menancap kuat tampa perlu penguat. Dan ketika ada dalil atau penguat yang datang, maka keyakinannya semakin kokoh menancap di sanubari. Sehingga dia mampu berbaik sangka kepada Allah, cukup dengan mengetahui sifat-sifat-Nya yang sempurna. Dialah permata pilihan di antara permata-permata Allah.
Bagian kedua, adalah hamba yang baru bisa melihat kebaikan Allah tatkala betul-betul merasakan interaksi Allah dalam kehidupannya. Beragam kebaikan. Setumpuk kasih sayang.
Hingga luasnya tanggungan Allah. Lisannya selalu merapal Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik, dan Al-Quddus. Namun hatinya belum bisa meyakini kasih sayang Allah, selagi dia tidak merasakannya dalam kehidupan secara sadar.
Interaksi apa yang dimaksudkan di sini? Interaksi di sini adalah kehadiran Allah di dalam semua langkah kaki, hembusan nafas, gerak otak, bahkan bisikan hati yang sangat tersembunyi. Bukankah Allah telah meyertai kita sejak kita belum memiliki ‘sejak’? di saat keberadaan kita masih tiada. Di saat semua masih fana. Allah menjaga kita sejak dalam rahim. Kehidupan kita tanpa nyawa. Penglihatan tanpa mata. Pendengaran tanpa telinga. Tapi Allah tidak membiarkan kita sendiri. Allah hadirkan makanan tanpa dimakan. Allah memenuhi kebutuhan gizi dan nutrisi tanpa perlu dikonsumsi. Hingga akhirnya Allah hadirkan dunia baru dengan tetap menyertai.
Allah menyediakan langit dengan hujannya. Mengatur alam dengan peredarannya. Menjadikan musim yang terus hilir berganti tanpa henti.
Allah pula yang menghamparkan bumi dengan aneka flora dan faunanya. Allah menganugerahkan akal agar kita bisa beradaptasi. Bertahan di dalam segala kondisi. Mendenyutkan segenggam jantung sebagai mesin penggerak. Tak jemu memompa berkubik-kubik darah setiap hari. Alangkah indah interaksi Allah kepada setiap hambanya.
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتَا, أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا, وَجَعَلْنَا فِيْهَا رَوَاسِيَ شَامِخَاتٍ وَأَسْقَيْنَا كُمْ مَاءً فُرَاتًا
“Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul?. Orang-orang hidup dan orang-orang yang mati?. Dan Kami jadikan padanya gunung-gunung yang tinggi, dan Kami beri minum kamu dengan air tawar?” QS. Ar-Mursalat [77] 25-27
Karenanya, Syekh Ibnu Athaillah menyampaikan, “Wahai engkau yang menyatakan iman kepada Allah. Bila engkau belum mampu menjadi bagian yang pertama, maka jadilah engkau bagian yang kedua. Berbaik sangkalah engkau kepada Allah sebab interaksi Allah kepadamu. Bukankah semua yang Allah lakukan adalah demi kebaikanmu. Bukankah semua yang Allah perintahkan adalah demi nikmatmu?
Baca juga: Saya Hanya Menolak Mudharat
Dengan memahami semua itu, maka kepastian Allah I akan selalu diterima dan dipahami. Tak ubahnya seorang anak yang menerima dan memahami semua yang dilakukan orang tuanya. Di saat anak itu mengerti bahwa orang tua memiliki kasih sayang yang tidak berbatas, maka dia akan memahami semua yang orang tua lakukan untuknya, meski terkadang berseberangan dengan kehendak hati. Sehingga anak tidak akan berburuk sangka ketika orang tua melarangnya untuk keluar rumah. Anak akan selalu menerima semua aturan dan larangan orang tua, walau terkadang terasa berat untuk dilaksanakan. Begitulah kiranya.
Kesimpulannya adalah bahwa Allah tidak akan berinteraksi dengan manusia selain dengan kebaikan. Dan tidak akan membawa kita kecuali pada kenikmatan. Allah akan senantiasa menjaga dan mendidik manusia dengan dua awamir (perintah); awamir takwiniyah dan awamir tasyri’iyah. Awamir takwiniyah adalah firman ‘Kun’ Allah di dalam menciptakan manusia. Lalu manusia akan dijaga dengan awamir tasyri’iyah dalam kehidupannya. Beragam perintah dan larangan Allah , tidak lain adalah bentuk penjagaan Allah kepada manusia. Setidaknya, itulah maksud firman Allah:
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, tuhan semesta alam.” QS: Al-A’raf 54.