Setelah era kenabian, ijtihad ulama sangat berkembang pesat di kalangan umat Islam sehingga ijtihad menjadi suatu hal yang sangat penting dalam berbagai problematika kehidupan. Terlebih lagi di era yang serba modern, dengan tingginya kompleksitas kehidupan dan banyaknya problematika, sudah pasti membutuhkan upaya ijtihad yang benar, melalui ulama otoritatif yang memiliki kapasitas keilmuan yang memadai, atau yang kita sebut dengan para mujtahid.

Para ulama sepakat, bahwa sumber dalil dalam berijtihad adalah al-Quran dan Sunah. Al-Quran berada di urutan pertama dan utama karena ia merupakan wahyu Allah SWT. Dalam al-Quran disebutkan:

ومن لم يحكم بما انزل الله فأولئك هم الكافرون

Barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan oleh Allah (Al-Quran ), maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah 44)

ومن لم يحكم بما انزل الله فأولئك هم الظالمون

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Maidah 45)

ومن لم يحكم بما انزل الله فأولئك هم الفاسقون

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan oleh Allah, makamereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah 47)

Umat Islam sejak generasi sahabat sampai kini meyakini otentitas al-Quran. Tetapi, dalam kitab-kitab Syiah, seperti Masyâriqusy-Syumus ad-Duriyyah karangan Sayid Adnan bin Sayid Alawi, justru mempunyai pandangan bahwa al-Quran sudah tidak asli lagi dan menganggap banyak terjadi tahrif (perubahan) di dalamnya.

Juga merupakan bagian dari ideologi Syiah, sebagian besar ulama Syiah melarang ijtihad pada masa para imam mereka, karena mereka beranggapan kalau para imam sendiri sudah nash, sehingga ijtihad tidak lagi diperlukan. Syiah mengharamkan ijtihad hingga abad ke ketiga Hijriyah yang merupakan masa ghaibatul imam (Ketiadaan imam). Baru pada masa ketiadaan iman ini, menurut Rida al-Mudzaffar, seorang tokoh Syiah, hukum ijtihad adalah fardu kifayah. Yahya Muhammad dalam kitab Al-Ijtihâd wat-Taqlîd, mengatakan bahwa Syiah juga berpendapat kalau ijtihad seseorang dianggap sah jika ia bermazhab Syiah Imamiyah.

Ketika kita melihat sekilas tentang metode ijtihad dalam perspektif Syiah di atas, dapat kita simpulkan bahwa semua rumusan tersebut tidaklah disandarkan pada argumentasi yang kuat. Hal itu disebabkan beberapa faktor:

Menganggap terjadinya tahrîf dalam al-Quran

Pandangan ini tidaklah sejalan dengan firman Allah I yang berupa: ْ

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ

“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Quran dan kami yang akan menjaganya” (QS Al-Hijr : 9).

Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT yang akan menjaga al-Quran sampai hari kiamat. Dengan demikian, sangatlah mustahil jika al-Quran mengalami perubahan, baik dalam harakat maupun hurufnya. Di sisi lain Syekh Nawawi Banten berkomentar di dalam kitabnya Mirqât Shu’ûdit-Tashdîq Syarh Sullam at-Taufiq, “Orang yang mengingkari satu ayat atau satu huruf dalam al-Quran, maka ia telah murtad i’tiqadi.” Pendapat Syekh Nawawi ini diperkuat oleh pendapat Imam al-Hafizh Abu ‘Amr ad-Dani al-Maliki al-Asy’ari dalam kitab ar-Risâlah al-Wâfiyah, bahwa orang yang menolak atau mengingkari satu huruf dalam al-Quran adalah kafir. Orang yang meyakini terjadinya perubahan dalam al-Quran adalah sesat, menyesatkan, kafir dan bermaksud membatalkan ajaran Islam.

BACA JUGA: TOLERANSI DAN ISU MEMECAH BELAH NKRI

Tidak Menggunakan al-Quran sebagai Pedoman untuk Berijtihad.

Pandangan ini tidak sejalan dengan sabda Rasulullah: ِ

ْن ُ إ َه ْد ع َ وا بـ ُّ َ ِضل ْ ت َا لَن ْ م ِ ُ يكم ْك ُت ف َ ر َ َ ْد تـ ق َ ِ و اب اللَّه ُ َ ت ِ ِ ك ِه ْ ب ُم ت ْ َم َص ت ْ اع

“Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang dengannya kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepadanya, yaitu Al-Quran ” (HR Muslim).

Hadis ini menjadi dalil bahwa tidak ada yang dapat menandingi derajat al-Quran. Apalagi dalam masalah yang berkaitan dengan agama Islam, maka sudah pasti al-Quran lah yang lebih didahulukan. Pada hakikatnya, hanya firman Allah SWT yang menjadi sumber rujukan setiap hukum Islam. Sedangkan Hadis adalah pondasi Syariat Islam kedua setelah al-Quran. Sebab, hadis Rasulullah SAW hanyalah sebuah informasi dari hukum Allah SWT. Ijmak yang terjadi, juga berdasarkan pada al-Quran dan Hadis. Imam al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa juga berkomentar bahwa qiyas pun tidak berpijak pada sesuatu melainkan al-Quran dan Sunah.

Derajat Para Imam Syiah Melibihi Segalanya, Termasuk al-Quran

Syiah mempunyai anggapan kalau para Imam mereka adalah orang-orang yang maksum dari segala kesalahan. Sehingga banyak ditemukan dalam kitab-kitab mereka, seperti kitab Bihârul-Anwar, yang menganggap bahwa Imam-imam mereka jauh lebih sempurna dari pada Nabi dan Malaikat. Padahal Rukun iman keempat adalah percaya kepada para rasul Allah. Mereka adalah hamba Allah yang paling utama. Allah SWT berfirman: “Masing-masing para rasul itu kami lebihkan derajatnya di atas semesta alam”. (QS. Al-An’am 86). Ayat ini sudah cukup jelas untuk menanggapi pandangan Syiah tentang Imam-imam mereka.

Ayat ini menegaskan bahwa Allah I secara tegas mengatakan drajat para rasul lebih utama dari pada yang lain.

Mujtahid Harus Bermazhab Syiah Imamiyah.

Pandangan ini jelas bertentangan dengan firman Allah SWT:

وَمَآ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۖ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

”Bertanyalah pada Ahli dzikir (ulama) ketika kalian tidak mengetahui” (QS. Al-anbiya 7)

Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa Allah SWT memerintahkan kita untuk bertanya kepada para ulama ketika kita tidak tahu terhadap suatu masalah. Dengan demikian, dapat disimpulkan kalau ijtihad dan fatwa para ulama dapat dibenarkan dan tidak ada klaim sepihak Syiah jelas ngawur.

Spread the love