Aksi damai umat Islam pada hari Jumat tanggal 4 Nopember 2016 (411) dan hari Jumat tanggal 2 Desember 2016 (212), adalah aksi damai paling bersejarah yang dilakukan umat Islam dalam rangka menuntut ditegakkannya keadilan hukum tanpa pandang bulu, di negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang dilanda krisis penegakan hukum ini.
Sebagaimana telah kita saksikan bersama, aksi ini benar-benar membikin mata dunia terbelalak, di mana jutaan umat Islam dari berbagai daerah di tanah air tumpek-blek membanjiri Jakarta. Sementara mereka yang tak berkesempatan datang ke Jakarta, juga turut membikin aksi-aksi serupa di daerah-daerah masing-masing, dengan tuntutan dan tujuan yang sama.
Tak ada kesimpulan apapun yang lebih tepat untuk menggambarkan aksi 411 dan 212 itu, selain bahwa umat Islam di Indonesia ini benar-benar luar biasa, dan jika mereka bisa mengelola persatuan umat dengan baik, maka tak akan ada kekuatan apapun yang bisa menghalang-halangi mereka. Fakta ini telah menumbuhkan kesadaran dan kepercayaan diri umat Islam secara kolektif, bahwa kezaliman terhadap umat hanya bisa dilawan jika umat ini bersatu.
Faktanya, kita sama-sama menyaksikan bahwa aksi damai bersejarah itu tidak hanya berhenti sampai di situ. Pasca aksi 411 dan 212 itu, umat Islam menyerukan pemboikotan terhadap salah satu stasiun televisi yang berita-beritanya tidak berimbang dan seringkali merugikan umat Islam, yang selanjutnya disusul dengan aksi boikot terhadap salah satu produk roti yang pernyataan klarifikasinya telah melukai perasaan umat Islam.
Dan, berangkat dari peristiwa luar biasa ini, muncul kesadaran umat Islam untuk membangun jaringan minimarket Muslim 212 Mart, membangun bank Islam, membangun televisi yang dikelola bersama oleh umat Islam, gerakan berbelanja di toko tetangga, dan gerakan-gerakan massal lain yang muaranya sama: gerakan melawan kezaliman terhadap umat Islam melalui kerja sama dan persatuan umat dalam berbagai sektor.
Tentu, kita melihat peristiwa ini sebagai momentum kebangkitan umat Islam yang mesti segera disambut, dirawat, dan dikembangkan dengan semangat jihad yang sesungguhnya. Dan, tak ada amunisi apapun yang bisa dijadikan sebagai bekal umat Islam dalam jihad ini, selain mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kaitannya dengan persaudaraan dan persatuan umat.
Sebab, jika momentum kebangkitan umat ini hanya dijawab dengan hirukpikuk aksi-aksi massal yang dilakukan sewaktu-waktu saja, sedangkan hati dan pengamalan umat Islam masih absen dari nilai-nilai dan ajaran Islam, maka aksi-aksi sedemikian tak akan memberikan pengaruh apapun kecuali hanya sesaat saja, dan akan lebih tampak sebagai euforia musiman yang tak banyak memberikan dampak positif dan berkelanjutan bagi umat.
Contoh sederhanya, bagaimana mungkin umat Islam bisa mensukseskan gerakan berbelanja di toko tetangga, jika nilai-nilai dan ajaran Islam tentang kerukunan tetangga, persaudaraan dan persatuan umat, masih belum menghiasi hati masingmasing individu umat? Bagaimana bisa mereka akan rajin berbelanja di toko tetangga, jika sifat iri dan dengki kepada tetangga masih menjangkiti hati individu umat? Bagaimana kerukunan dan persatuan umat dalam satu desa bisa dibangun, jika kesadaran untuk shalat berjamaah di masjid masih belum tertanam dengan baik? Lalu jika semua amunisi ini belum dimiliki umat, bagaimana bisa mereka hendak mengalahkan raksasa-raksasa ekonomi asing yang sedang menjajah Indonesia?
Untuk itu, gagasan gerakan shalat berjamaah di masjid yang telah sukses dilakukan secara serentak di sejumlah kota beberapa waktu yang lalu, perlu dijadikan sebagai tradisi bagi umat Islam yang tidak hanya dilakukan sewaktu-waktu, namun harus dilakukan di setiap waktu.
Achyat Ahmad/sidogiri
5