Salah satu kesalahan terbesar bangsa Indonesia dalam memahami demokrasi adalah ketika mereka terjebak ke dalam opini yang mensejajarkan posisi agama dengan suku dan ras. Orang yang fanatik terhadap agama dalam menyikapi segala sesuatu, tiba-tiba divonis dengan kata “rasis” bukannya kata “agamis”.
Penggunaan kata “SARA” sebagai akronim dari kata Suku, Agama, Ras dan Antargolongan, telah menyesatkan opini dan persepsi umat. Betapa banyak orang yang ciut nyali untuk menyuarakan ajaran agama hanya gara-gara dicap “SARA”. Kesesatan persepsi ini akibat derasnya pengaruh penggiringan opini yang dilakukan secara terus menerus oleh berbagai media, di samping minimnya kesadaran keagamaan dari umat Islam itu sendiri.
Cinta suku itu baik, sedangkan fanatisme suku merupakan sesuatu yang tidak baik. Bedahalnya dengan fanatisme agama. Fanatisme terhadap agama merupakan suatu yang sangat mulia karena merupakan bentuk militansi terhadap kebaikan dan kebenaran yang kita yakini. Di tengah bangsa kita, rupanya nalar ini sudah berubah gara-gara pengaruh media. Fanatisme kesukuan justru mendapatkan tempat yang lebih diterima dan kesan yang lebih simpatik daripada fanatisme terhadap agama. Dalam konteks politik misalnya, jargon “Orang Madura harus memilih calon dari Madura” masih lebih diterima daripada jargon “Orang Islam harus memilih calon yang Muslim.”
Di luar konteks politik, perbandingannya adalah kasus tuduhan pelecehan budaya Sunda, terkait dengan Habib Rizieq ketika beliau memplesetkan “Sampurasun” menjadi “Campur Racun”. Gelombang protes yang dilakukan oleh beberapa komunitas Sunda justru mendapatkan apresiasi dari berbagai media nasional. Namun, tidak ada satupun media yang menganggap protes itu sebagai sentimen kesukuan atas Habib Rizieq yang notabene adalah keturunan Arab.
Hal itu berbeda dengan pemberitaan media ketika menyikapi protes umat Islam terhadap dugaan penistaan terhadap al-Qur’an (atau ulama-ulama tafsir) yang dilakukan oleh Basuki Tjahja Purnama (Ahok) baru-baru ini. Dalam pemberitaan, seringkali disematkan kesan-kesan tendensi ‘SARA’, kepentingan politik, diskriminasi minoritas, intoleransi, radikal, memecah belah bangsa dan semacamnya. Tentu saja, ini merupakan sikap yang tidak obyektif dan sangat tidak adil. Bangsa Indonesia seharusnya memahami bahwa reaksi yang muncul akibat ketersinggungan akidah memiliki landasan yang jauh lebih kuat dibandingkan reaksi akibat ketersinggungan suku, atau bahkan dibandingkan ketersinggungan dalam masalah apapun. Bukan malah menuduh reaksi tersebut dengan berbagai fitnah yang tidak berdasar.
Posisi Agama dan Ras dalam Ajaran Islam
Islam mengecam orang-orang yang fanatik suku dan ras, tapi menjunjung tinggi orang yang fanatik terhadap agama (Islam). Dari sekian banyak dalil, setidaknya ada dua dalil yang paling masyhur mengenai hal tersebut.
Pertama, firman Allah:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Hai manusia, sesungguhnya Aku menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian…” (QS al-Hujurat [49]: 13).
Kedua, Hadis Rasulullah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى
“Hai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kalian satu dan moyang kalian satu. Ingatlah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas selain Arab, juga bagi selain Arab atas orang Arab, juga bagi yang berkulit atas yang berkulit hitam, atau yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan takwa.” (HR Ahmad dan al-Baihaqi dari Jabir bin Abdillah)
Dua dalil di atas dengan sangat jelas menegaskan bahwa latar belakang suku dan ras tidak memiliki nilai apapun di hadapan latar belakang agama atau ketakwaan. Suku dan ras adalah identitas yang didapat oleh seseorang tanpa pilihan, apalagi usaha, maka sangat tidak layak untuk dijadikan sebagai pedoman nilai kemuliaan. Sedangkan agama atau ketakwaan merupakan hasil dari proses berpikir dan upaya yang sungguh-sungguh, maka sangat layak dijadikan pedoman utama penilaian.
Tentang Pembela Islam
Apapun yang terjadi, kita harus bereaksi keras terhadap segala bentuk penistaan terhadap agama. Sebab, jika dibiarkan atau dimaafkan begitu saja, maka hal itu akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan beragama bangsa ini di kemudian hari. Tekanan terhadap penegak hukum sangatlah diperlukan agar mereka menangani dengan serius setiap dugaan penistaan agama. Mengingat, semakin hari, olok-olok dan ujaran-ujaran penghinaan terhadap agama semakin lumrah terjadi, khususnya di media sosial.
Salah satu tantangan terberatnya adalah menghadapi berbagai kecaman dan tuduhan, seperti radikalisme, intoleran, SARA, mencoreng citra Islam hingga teroris. Setiap gerakan pembelaan terhadap agama harus siap dengan risiko ini. Karakter pembela agama adalah seperti ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“…. maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mencintai-Nya, bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, bersikap keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan yang tidak gentar dengan kecaman orang yang suka mencela…” (QS al-Maidah [5]: 54).
Karakter pembela Islam yang ditegaskan dalam ayat ini adalah: (1) saleh, sehingga dicintai Allah dan mencintai-Nya, bukan orang yang gila dengan kepentingan pragmatis; (2) sangat ramah kepada orang-orang mukmin (benar dan baik), sangat garang terhadap orang-orang kafir (kebatilan dan kemungkaran); (3) perjuangannya murni karena Allah, bukan untuk tujuan-tujuan yang lain; (4) dalam membela kebenaran siap dikecam oleh siapapun dan dicap dengan tuduhan apapun.
Yang tidak kalah menarik, bahwa ayat ini hanya berjarak dua ayat dari ayat yang sempat menghebohkan bangsa kita, yaitu ayat al-Maidah: 51 yang melarang kaum Muslimin ber-muwâlah orang-orang Yahudi-Nasrani. Dua ayat di antara keduanya (ayat 52-53) berbicara tentang orang-orang munafik yang memiliki hubungan dekat (menjadi pendukung) orang-orang Yahudi-Nasrani, dan mereka mengemukakan berbagai macam alasan untuk ikut berjuang dalam barisan orang-orang mukmin. Sungguh, empat ayat ini seolah-olah sedang menceritakan apa yang terjadi pada bangsa kita belakangan ini…
Ahmad Dairobi/Sidogiri
Baca juga: Melukai MUI, Melukai Umat