Bukan hanya akhir akhir ini Majelis Ulama Indonesia menjadi sasaran delegitimasi yang luar biasa. MUI sudah lama sering digoyang dari sana sini. Mulai dari tuduhan menjadi sumber fundamentalisme dan radikalisme, tuduhan fatwa sesat, tuduhan menjadi alat politik, hingga adanya beberapa desakan pembubaran MUI.

Tentu saja merupakan suatu yang nyaris mustahil menjadi sebuah organisasi yang diterima oleh semua kalangan. Meskipun, merupakan wadah gabungan dari berbagai utusan ormas Islam di Indonesia, namun MUI justru kadangkala mengalami penolakan dari figur-figur ormas itu sendiri. Nahdlatul Ulama terlihat sebagai ormas Islam yang beberapa oknum figurnya terlihat sering berseberangan dan mengecam sikap-sikap MUI. Padahal, kepengurusan MUI sendiri banyak berisi tokoh-tokoh dari Nahdlatul Ulama. MUI tidak luput dari kritik figur-figur NU ketika masih dipimpin oleh KH. MA Sahal Mahfudz maupun KH. Ma’ruf Amin. Padahal, keduanya merupakan pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama pada masanya.

Hal itu menunjukkan, NahdlatulUlama akhir-akhir ini merupakan ormas Islam yang paling rentan dengan konflik pemikiran internal. Hal itu terbaca dengan sangat jelas dari sikap figur-figurnya terhadap produk fatwa MUI yang justru dipimpin oleh tokoh Nahdlatul Ulama sendiri.

Sebagai organisasi yang menjadi wadah dari beberapa ormas Islam, sudah pasti ada potensi sekaligus tantangan yang sama-sama besar bagi MUI. Potensinya, MUI bisa menjadi jembatan penghubung antar berbagai ormas Islam yang berada di dalamnya. MUI juga bisa menjadi penengah yang mengelola, mengakomodasi dan menggabung kecenderungan-kecenderungan yang berbeda dari berbagai ormas tersebut untuk menjadi suara yang mewakili seluruh umat Islam.

.

KH. Ma’ruf Amin menegaskan bahwa selama ini MUI selalu berusaha menempatkan diri berada di tengah. Sayangnya, posisi moderat MUI seringkali disalah-artikan. Di mata kelompok sekuler dan liberal, MUI dicap sebagai fundamentalis. Sementara di kalangan fundamentalis, MUI dicap liberal. Beliau menyatakan, “Tugas MUI utamanya adalah mengawal agar umat Islam tidak terjerumus ke dalam ajaran yang sesat, dan konsekuensi itu harus diterima.”

Setidaknya, ada beberapa momen di mana MUI mengalami serangan dan delegitimasi cukup dahsyat. Pertama, kasus Ajinomoto. Dalam Fatwa yang dikeluarkan pada tanggal 16 Desember 2000 MUI mengharamkan Ajinomoto karena menggunakan bahan pendukung bacto soytone yang mengandung enzim babi. Namun, sekitar satu bulan kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid, mengatakan bahwa produk Ajinomoto halal, setelah Presiden mendapat kunjungan dari salah seorang menteri Jepang pada tanggal 9 Januari 2000. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia saat itu, KH. MA Sahal Mahfudz, menegaskan bahwa MUI tidak mengubah sikapnya meskipun ditentang oleh Presiden.

Kedua, fatwa sesat tentang Ahmadiyah dan al-Qiyadah al-Islamiyah (Ahmad Musadeq). MUI dikritik habishabisan oleh kalangan Islam liberal karena dianggap tidak menghargai perbedaan keyakinan dan nilai-nilai kebhinnekaan yang merupakan ciri khas kehidupan bangsa Indonesia.

Ketiga, MUI dituduh memiliki kepentingan finansial dalam proses sertifikat halal yang selama ini ditanganinya.

Keempat, sikap MUI tentang DimasKanjeng Taat Pribadi. Lambatnya MUI mengeluarkan pernyataan tentang praktek penggandaan uang Dimas Kanjeng Taat Pribadi menjadi sorotan di berbagai media, khususnya media sosial. Bahkan, di media sosial, ada saja yang menuduh MUI ikut mendapatkan dana dari Kanjeng Dimas. MUI dikecam habis-habisan, terutama karena ada salah satu anggotanya yang terlibat dalam praktek penipuan tersebut.

Kelima, sikap MUI terkait pernyataan Ahok tentang Surat al-Maidah: 51 baru-baru ini. MUI dibully habis-habisan di berbagai media massa. Mulai dari yang menganggap MUI sebagai alat politik, pemicu perpecahan bangsa, aliran radikal, hingga memvonisnya sebagai fatwa sesat. Nusron Wahid dari Nahdlatul Ulama dan Syafii Maarif dari Muhammadiyah merupakan dua tokoh yang paling getol menyerang MUI terkait dengan kasus Basuki Tjahja Purnama (Ahok).

Beberapa tuduhan terhadap MUI di atas, di samping berbagai tuduhan lain yang tidak bisa disebutkan di sini, mungkin saja ada beberapa yang layak untuk dijadikan sebagai bahan koreksi oleh MUI. Namun, pada umumnya, tuduhan-tuduhan itu hanyalah ekspresi kebencian terhadap MUI yang datangnya dari orang-orang yang alergi dengan hal-hal islami.

Jika kita berpikir jernih, sangat jelas bahwa fatwa-fatwa MUI yang dikecam itu memiliki landasan yang sangat kuat dalam agama Islam. Kritik terhadap fatwa tentang aliran sesat mengindikasikan bahwa para pembenci menginginkan MUI menjadi gerombolan pemikir Islam yang membebek pada paham kebebasan dan toleransi tanpa batas yang dianut oleh Barat dan ditiru oleh sebagian pemikir Indonesia.

Sebenarnya, nalar kritik mereka tersebut kurang bisa dipahami. Sebab, yang namanya Majelis Ulama Indonesia, tentu saja, produk fatwanya harus merujuk kepada sumber-sumber ajaran Islam: al-Quran, Hadis, Ijmak, Qiyas dan pendapat para ulama. Jika keputusannya merujuk kepada Undang-Undang Negara, maka namanya bukan Majelis Ulama, tapi Dewan Perwakilan Rakyat. Jika rujukannya kepada bukubuku Barat, maka namanya Jaringan Islam Liberal.

Apapun itu, keberadaan MUI sangatlah penting bagi umat Islam di Indonesia, khususnya sebagai wahana pemersatu berbagai ormas Islam. Oleh karena itu, MUI harus senantiasa teguh pendirian meskipun diserang dari segala arah. Jika MUI konsisten dan tegas dalam menghalau penyimpangan akidah dan penistaan agama, maka posisi kawan dan lawan MUI akan menjadi jelas.

Dalam hal ini, tentu saja MUI tidak perlu khawatir karena merasa tidak memiliki massa. Sebab, massa dari seluruh ormas Islam, secara tidak langsung, juga merupakan massa dari MUI, jika langkah-langkah MUI sesuai dengan visi dan garis besar ormasormas tersebut. Hal itu terbukti dengan dahsyatnya dukungan masyarakat terhadap Fatwa MUI tentang kasus Ahok baru-baru ini. Berjuta-juta umat Islam dari berbagai belahan bumi Nusantara membanjiri Jakarta dengan judul: Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI. Mereka datang karena panggilan hati. Jadi, di samping datang atas nama pembelaan terhadap al-Quran, boleh jadi mereka juga merasa terlukai ketika fatwa MUI tentang persoalan tersebut diolok-olok di beberapa media nasional.

Ahmad Dairobi/sidogiri

Spread the love