Pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang membawa-bawa surah Al-Maidah 51 menuai kecaman dahsyat. Kritik menjalar menjadi viral di media sosial. Ahok menyatakan bahwa ia tidak berniat melecehkan ayat Al-Quran, tapi hanya mengkritik pihak-pihak yang menggunakan ayat suci untuk tujuan politik. MUI segara mengeluarkan pernyataan dan sikap keagamaan. Sejumlah organisasi melaporkan pidato Ahok ke polisi dengan dasar pasal Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Proses yang dinilai lambat membuat umat Islam bergerak menuntut keadilan. Puncaknya Aksi demo damai terbesar sepanjang massa di Indonesia pada 4 November lalu sebagai bentuk aksi bela agama. Berikut pandangan Dr. Anis Malik Thoha, Rektor Universitas Sultan Agung (Unissula) Pati Jateng terkait isu SARA dan bela agama saat diwawancarai Alil Wafa dari Sidogiri Media

Mulai dari isu SARA, sepertinya selalu menjadi jebakan dalam kita bertindak?

Memang kita ini sudah di-frame sedemikian rupa, sehingga kita ini terjebak sana-sini. Kita berbuat apa saja akan terjebak di frame-frame tertentu yang sudah diciptakan. Isu SARA ini adalah jebakan yang luar biasa. Jadi sebenarnya beragama itu mau tidak mau memang harus bersinggungan dengan SARA, kecuali kalau kita meyakini bahwa agama kita agama yang sekuler. Agama yang sudah dipisahkan dari kehidupan. Di situ isu SARA jadi relevan. Tapi untuk agama seperti yang kita yakini, yang kita implementasikan dalam berbagai aspek, dalam bersosial, dalam berpolitik, dalam berekonomi, dalam berbisnis, ya mau tidak mau kita harus membawa agama itu. Apakah ini dikatakan SARA? Jadi ini menjadi frame jebakan yang sangat merepotkan kita.

Kita ini harus bisa mendifinisikan ulang hubungan antar agama yang ada di Indonesia. Tidak relevan memang kalau kita tidak boleh berbicara tentang agama di ranah publik. Sekarang itu sedikit-sedikit kena isu SARA, meskipun sebenarnya kita ingin meneguhkan ideologi kita sendiri berdasarkan keyakinan kita, itu juga masih sering kali dianggap SARA. Makanya kita harus berani untuk menyuarakan ini.

SARA menurut hemat saya kalau untuk kalangan Muslim menjadi masalah, kita bergerak sedikit saja kita langsung kena. Padahal setiap gerakan kita tiak pernah lepas dari keyakinan kita, selama kita meyakini keyakinan kita yang paling benar, itu kita akan kena jebakan sara ini.

Saya rasa harus begitu, kalau memang itu mau digunakan harus ada batas-batas yang jelas dan perlu diketahui bersama dan disepakati bersama. Tidak bisa secara sepihak kemudian mengklaim ini SARA itu SARA. Repot kita kan?

Sebenarnya lebih baik dan lebih tepat diganti dengan istilah yang sudah biasa dipakai, yaitu toleransi. Kalau toleransi boleh, dan itu sikap yang bisa dibenarkan dalam Islam. Tidak lebih dari itu. Ya kita menghormati agama lain, kita menghormati penganut agama lain, dan kita tidak memperolokolokkan agama lain, sejauh hubungan kita dengan agama-agama lain terjaga dengan baik. Kalau kemudian agama kita diperolok-olok, ini bukan lagi SARA seperti yang tadi kita bicarakan, tapi ini sudah masuk pada istilah penistaan.

Dari SARA beralih ke penistaan agama, apa bedanya dengan Zakir Naik, Ahmad Deedat dan pakar Kristologi yang yang lain?

Penistaan ini beda dengan apa yang dilakukan Zakir Naik yang kadang dijadikan perbandingan. Zakir Naik itu mengungkap fakta berdasarkan teksteks yang ada. Dia ingin mengingatkan kepada pemeluk Kristen ini lho kondisi kitab Anda itu, dengan versi terjemahan yang berbeda-beda ini, mana yang benar? Kalau yang ini benar berarti yang ini salah.

Dia tidak bisa dijerat dengan penistaan, dia tahu caranya. Itu seperti yang dilakukan ulama-ulama kita terdahulu, sebutlah Imam al-Ghazali, dengan kitabnya Ar-Raddul Jamîl li Ilâhiyyati ‘Isa bi Sharîhil-Injil (Penolakan Elegan atas Ketuhanan Isa Berdasarkan Ketegasan Teks-Teks Injil) misalnya, dia mengangkat beberapa teks-teks dari Injil, berdasarkan dari kitab-kitab yang terdahulu juga, yang mana teks-teks itu semuanya menegaskan bahwa Nabi Isa itu bukan tuhan. Itu tidak menistakan, karena berdasarkan teks-teks yang ada. Dia tidak dalam posisi memperolok-olok, atau kalau dalam al-Quran disebut sibâb atau sabbu itu. Beliau dalam posisi ingin menunjukkan kebenaran teks-teks itu yang jelas menunjukkan Isa itu bukan tuhan, dia manusia biasa seperti kita yang diberi wahyu oleh Allah sebagai nabi. Malah Kalau Imam ibnu Hazm lebih telak dalam memberikan argumen, dan katakatanya lebih tajam dan menohok. Tapi dalam posisi beliau sedang berdebat dengan seorang pengikut agama Yahudi, terkait dengan kandungan-kandaungan al-asfâr al-muqaddasah atau disebut dengan kitab Perjanjian Lama. Beliau mengungkapkan faktanya. Beda dengan kata-kata, “Kamu jangan mau dibodohi pakai surat Al Maidah 51.” Pakai Dibohong-bohongin. Kalau ini jelas memperolok-olok.

Aksi Bela Agama 411 dalam bentuk demo damai barusan, bagaimana Bnda melihatnya?

Cara bela agama bisa macam-macam caranya. Dan apa yang dilakukan saudara-saudara kita yang sudah melakukan cara-cara persuasif tidak didengar, kemudian dengan cara demo damai, saya rasa itu baik. Secara konstitusi tidak dilarang. Kalau saudarasaudara kita menganggapnya sebagai bentuk jihad, itu bentuk jihad juga. Karena membela yang hak, membela agama Allah, membela hak Allah untuk kesucian al-Quran. Hak manusia saja harus dibela apalagi hak allah. Memang betul Allah itu tidak perlu pembelaanpembelaan, Allah Maha kuasa, dan Allah besar. Tapi pembelaan itu sebagai wujud keberpihakan kita, kecintaan kita.

Kita negara majemuk, agar dalam bersikap, bertindak, dan melangkah tidak terjebak isu SARA?

Saya kira dengan apa yang dilakukan saudara-saudara kita, timbul kesadaran dari semua pihak untuk mereposisi ulang hubungan antar agama. Termasuk mudah-mudahan SARA itu sendiri ada definisi yang jelas. SARA itu jebakan yang sangat luar biasa, bahkan ini sebenaranya untuk menelikung kita. Kita ditelikung dari segala arah dengan SARA ini, supaya kita tidak bergerak. Kita dikebiri dengan isu SARA.

Spread the love