Oleh: Muhammad Fuad Abd Wafi*
Islam adalah agama yang moderat, meskipun tanpa ada embelembel kata “moderat”. Sebagian kalangan tidak mau menggunakan istilah “Islam moderat”, antara lain karena Islam sejak semula memang sudah moderat. Di samping itu, istilah “Islam moderat” mengesankan adanya Islam yang tidak moderat, padahal Islam hanya satu: moderat. Oleh karena itu, ada sejumlah pakar yang lebih memilih menggunakan kata “moderasi Islam” yang bisa berarti “kemoderatan Islam” daripada “Islam moderat”.
Kata “moderasi” itu kurang lebih adalah terjemahan dari kata wasathiyyah, bentuk mashdar shinâ‘i dari kata wasath yang terdapat di dalam ayat 143 QS. Al-Baqarah:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لتَِّكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat wasath agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian”.
Selain QS. Al-Baqarah: 143, kata wasath juga disebutkan dalam empat ayat lainnya, yaitu; ash-shalât al-wusthâ (QS. Al-Baqarah: 238) untuk menyebut shalat Asar dalam mayoritas riwayatnya; min awsâthi mâ tuth’imûna ahlîkum (QS. Al-Maidah: 89) dengan makna a’dal atau amstal (paling baik); qâla awsâthuhum (QS. Al-Qalam: 28), dengan makna yang paling baik dan pilihan; fa wasathna bihî jam’an (QS. Al-Adiyat: 5), dengan arti tengah-tengah perkumpulan.
Dalam keempatnya itu kata wasath menggunakan salah satu dari makna bahasa di atas. Tiga di antaranya merujuk pada makna a’dal wa khiyâr (paling adil dan paling baik atau pilihan) yang secara bahasa menjadi makna pokok kata wasath. Dari sini terlihat bahwa kata wasath itu tidak menjadi istilah syar’i yang dibatasi maknanya pada makna tertentu saja.
Murtadha az-Zubaidi dalam Tâjul-‘Arûsy; ar-Razi dalam Mukhtâr ash-Shihâh dan al-Jauhari dalam ash-Shihâh fîl-Lughah mengatakan: al-wasath dari segala sesuatu adalah a’daluhu (yang paling adil). Juga dikatakan sesuatu yang wasath adalah antara yang baik dan yang jelek (kualitas medium). Rawwas Qal’ah Ji di dalam Mu’jamu Lughatil-Fuqahâ’ menambahkan bahwa al-wasath bentuk jamaknya awsâth, artinya al-mu’tadil (pertengahan). Wasathu asy-syay`i adalah pertengahan antara dua kutubnya dan dari situ wasathuth-tharîq artinya adalah tengah jalan.
Dalam bahasa Indonesia sendiri ada kata “wasit” yang diserap dari kata bahasa Arab wasîth, yaitu orang yang memimpin pertandingan yang tentu saja dituntut untuk bersikap adil dan tidak memihak kepada salah satu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cakupan arti kata wasath berkisar pada makna ‘adil’, ‘baik’, ‘tengah’, dan ‘seimbang’, seperti disebut oleh Ibnu Faris dalam Mu‘jam Maqâyîsil-Lughah.
Yusuf al-Qaradhawi sudah cukup panjang membahas makna wasath dalam bukunya Fiqh al-Wasathiyyah al-Islâmiyyah wat-Tajdîd: Ma‘âlim wa Manârât, terbitan Dâr asy-Syurûq, Kairo, 2010. Ia, misalnya, mengutip Mu‘jam Alfâzhil-Qur’ân al-Karîm terbitan Lembaga Bahasa Arab di Kairo, mengatakan bahwa wasath berarti ‘pertengahan dari dua sisi’.
Moderasi Islam juga berarti bahwa Islam tidak merestui sifat berlebihan dan ketidak-pedulian. Sebaliknya, Islam justru mengajarkan prinsip keseimbangan (tawâzun): keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, keseimbangan antara jasmani dan rohani, keseimbangan antara spiritualisme dan materialisme, dan sebagainya.
Di bidang akidah atau keimanan, keseimbangan (moderasi) Islam ini tampak, misalnya, pada posisi ajaran Islam yang berada di tengah-tengah antara mereka yang mempercayai khurafat dan mempercayai segala sesuatu walau tanpa dasar di satu sisi, dengan mereka yang mengingkari segala sesuatu yang berwujud metafisik di sisi lain. Selain mengajak umatnya untuk beriman kepada yang gaib (metafisik, tidak inderawi, bahkan kadang sulit dipahami akal), pada saat yang sama Islam juga mengajak akal manusia untuk membuktikan ajakannya secara rasional. Qul hâtû burhânakum in kuntum shâdiqîn (QS. Al-Baqarah: 111). Sikap moderat Islam itu juga tampak bahwa keimanan yang diajarkan oleh Islam tidak sampai menjadikan rasul pembawa risalah sebagai Tuhan, seperti yang terjadi pada agama Kristen, dan tidak pula menyepelekannya sehingga dengan mudah dibunuh, seperti yang terjadi pada agama Yahudi.
Di bidang ibadah, moderasi Islam tampak pada pemberlakukan kewajiban yang tidak memberatkan tetapi tetap berpahala besar. Shalat bagi umat Islam hanya wajib lima kali sehari (bandingkan dengan umat terdahulu yang pernah diwajibkan melakukan shalat lima puluh kali sehari semalam!), puasa hanya satu kali dalam setahun, haji hanya sekali seumur hidup, itu pun bagi yang mampu. Selebihnya Allah memberi kebebasan kepada masing-masing hamba-Nya untuk aktif mencari nafkah dan memakmurkan bumi. Mau memperbanyak ibadah pun boleh dengan ritual-ritual sunah: puasa sunah, shalat sunah, dan sebagainya.
BACA JUGA: IDEOLOGI NGAWUR SYIAH
Di bidang akhlak, manusia yang terdiri atas unsur ruh (jiwa) dan jasad, ini juga harus bersikap seimbang. Kedua unsur itu harus dapat dipenuhi secara seimbang. Rasulullah e, misalnya, melarang shahabat beliau yang berkeinginan untuk melakukan shalat malam sepanjang malam tanpa menyempatkan diri menyentuh istrinya. Beliau juga melarang shahabatnya yang ingin berpuasa sepanjang hari. Sebaliknya, beliau justru bersabda, “Berpuasalah dan berbukalah, bangun malam (untuk shalat) dan tidurlah. Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak yang harus dipenuhi, matamu punya hak untuk dipejamkan, istrimu punya hak yang harus dipenuhi.” (HR. Bukhari).
Prinsip moderasi ini juga tampak pada ajaran Islam untuk tidak berprasangka buruk kepada orang lain. Boleh saja kita menganut dan memilih salah satu mazhab, misalnya, tetapi pada saat yang sama kita juga harus menghormati penganut mazhab lain selama masih berada dalam koridor yang disepakati ulama otoritatif.
Berikut adalah beberapa ciri moderasi Islam yang perlu untuk diketahui, yaitu: 1. Memahami realitas. Kehidupan manusia ini berkembang tanpa batas, sementara teks-teks keagamaan terbatas (jumlah ayat al-Quran hanya 6.236 ayat dan tidak akan bertambah, jumlah hadis Nabi juga tidak lebih dari 6.000-an hadis). Oleh karena itu, ada hal-hal yang bersifat tetap (tsawâbit), ada pula yang bersifat berubah (mutaghayyirât). Yang tsawâbit sangat sedikit, berupa prinsipprinsip akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Sedangkan yang mutaghayyirât amat banyak jumlahnya. Oleh karena itulah mengapa fatwa ulama di negara A di luar hal yang prinsip, terkadang berbeda dengan ulama di negara B, atau fatwa ulama pada abad sekian berbeda dengan fatwa ulama kontemporer.
2. Memahami prioritas. Dalam perintah dan larangan, ada beberapa tingkatan. Ada mubah (boleh), sunnah (dianjurkan), sunah mu’akkadah (sangat dianjurkan), wajib atau fardhu. Yang wajib atau fardhu ini pun ada yang bersifat ‘ain (individu) dan ada yang bersifat kifâyah (kolektif) yang apabila sudah dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang maka orang lain tidak terkena lagi kewajiban itu. Untuk beragama secara moderat umat Islam dituntut untuk pandaipandai memahami mana yang harus didahulukan.
3. Memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif. Ayat-ayat al- Quran saling terkait satu sama lain. Itu harus dipahami secara utuh, karena ayat yang satu menjelaskan ayat yang lain dalam tema yang sama atau berkaitan. Sebagai contoh, dengan membaca seluruh ayat-ayat al-Quran terkait jihad, dapat dipahami bahwa kata “jihad” secara umum berarti perang dengan mengangkat senjata, tapi dalam ayat tertentu jihad juga diartikan dengan perjuangan non fisik tanpa mengangkat senjata.
Pembacaan ayat-ayat tentang jihad secara parsial dan terlepas dari konteksnya atau kaitannya dengan ayat yang lain, bisa saja akan mendapat kesan bahwa ajaran Islam itu keras, kejam, tidak toleran, dan sebagainya. Ini mirip dengan tahi lalat yang ada pada wajah seseorang yang membuatnya tampak menarik. Wajah orang itu akan menarik kalau dilihat secara utuh, tetapi akan sangat tidak menarik kalau yang dilihat hanya tahi lalatnya, meskipun tahi lalat itu adalah unsur penting yang membuatnya menarik!
*Anggota Litbang Annajah Center Sidogiri