Hadis adalah rujukan kedua dalam sumber hukum Islam, setelah al-Quran. Posisi Hadis, tidak hanya diperlukan untuk menafsiri dan menjlentrehkan isi al-Quran, tapi juga berdiri sendiri manakala al-Quran tidak menyinggung kasus yang tengah dihadapi. Mengembalikan sepenuhnya semua hukum Islam pada al-Quran, jelas suatu hal yang mustahil dilakukan, karena Nabi sebagai sumber Hadis, selain mengajarkan al-Quran juga memberi arahan sesuai dengan petunjuk wahyu.
Hanya yang menjadi masalah kemudian adalah kompleksitas hadis yang mengalami perubahan iklim otentisitas teks yang disebabkan intensitas penjagaan umat Islam terhadap Hadis terkalahkan oleh al-Quran. Jika al-Quran terjaga otensitisitasnya karena selain ada jaminan dari Allah dan itu didukung oleh tenaga yang menfokuskan padanya sehingga dapat dikodifikasi sejak awal Islam, sedang Hadis baru dibukukan pada akhir abad I dan awal abad II sejak Umar bin Abdul Aziz mencanangkan gerakan pembukuan Hadis.
Hadis adalah hasil dari reportase dan rekaman shahabat Nabi mengenai hal yang disampaikan dan dikerjakan oleh Nabi. Kemudian, hasil reportase dan rekaman tersebut kepada priode selanjutnya, dan terus berlanjut secara oral melalui rawi-rawi sebagai mediator. Hasil reportase yang berupa rekaman tersebut disebut Hadis atau Sunah, baik itu berisikan kalam ilahi yang akhirnya disebut dengan al-Quran atau bersumber dari Nabi sebagai interpretasi terhadap al-Quran dan tuntunan.
Namun kemudian, transfer hadis dari satu masa ke masa ini menuai masalah disebabkan pengaruh politik dan beberapa kepentingan di tubuh Islam, sehingga memunculkan hadishadis Maudhu’. Inilah yang kemudian memaksa para ulama berusaha untuk memurnikan ajaran Nabi tersebut melalui kajian intensif dalam melakukan penyaringan. Upaya-upaya tersebut akhirnya membentuk sebuah norma dan menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam Islam, yaitu Ilmu Hadis yang objek kajiannya adalah seputar jalur isnad dan matan.
Pada akhirnya, upaya penyaringan itu tidak hanya menemukan hadis Mawdhu’ yang menjadi sasaran utama, melainkan hadis yang mendekati Mawdhu’. Klasifikasi hukum pun berkembang, sehingga dikenal istilah hukum pada Hadis, yaitu shahih, hasan dan dhaif. Rumusan hukum ini demikian populer hingga saat ini, sehingga muncul ditengah kajian Hadis, “Hadis ini shahih” dan “Hadis ini dhaif”.
Selanjutnya, kajian ilmu Hadis ini juga mempengaruhi sistem keilmuan Islam, terutama ilmu fikih yang berkonsentrasi pada hukumhukum Islam. Rumus hukum hadis: shahih, hasan, dha’if dan mawdhu’, juga harus diterapkan dalam konsep bangunan syariah. Akhirnya, gelombang perbedaan terjadi di tubuh umat Islam kala itu. Bukan hanya dalam tataran apakah hadis harus mutawatir yang boleh diterima sebagai bangunan syariah atau hadis ahad juga diterima, tapi juga berkaitatan dengan hadis ahad itu sendiri; Apakah hanya yang berkategori shahih dan hasan saja yang diterima, atau dha’if bisa diterima?
Hal penting yang harus disadari adalah secara teori kelahiran Ilmu Ushul Fikih justru lebih awal daripada kajian Ilmu Hadis. Ilmu Hadis justru lahir dari kajian Metodologi Fikih itu sendiri, sebab sebelum istinbathulhukmi dilakukan penyaringan kualitas dalil yang menjadi sumber praktis dilakukan. Praktik penyaringan jelas telah dilakukan oleh para Mujtahid yang kompetensinya memang menggali hukum dari Hadis itu sendiri.
BACA JUGA: ANTARA QADA’, QADAR DAN ALUR KEHIDUPAN
Kita perhatikan dalam sejarah perkembangan Ilmu Hadis, akan kita temukan bahwa perbincangan isnad dan kualitas rawi justru berkembang lebih setelah Imam Syafi’i menyinggung soal kualitas hadis dalam kitab monumentalnya yang berjudul ar- Risalah. Ada istilah Hadis Khash dan ‘Amm untuk menyebut Hadis Mutawatir dan Ahad. Singgungan ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil pun mulai dilakukan Imam Syafi’i. Sementara Imam Syafi’i sendiri adalah pendiri mazhab ketiga, setelah didahului oleh Mazhab Hanafi dan Maliki.
Secara alami, teori keilmuan memang sering lahir dari praktik yang berjalan di tengah masyarakat. Secara teori, ilmu fikih lahir belakangan, tapi bukan berarti para shahabat Nabi tidak ber-fikih, justru ilmu itu lahir dari pekerjaan mereka. Termasuk juga, kajian Ilmu Hadis yang semarak pada abad ketiga Hijriah. Ulama-ulama sebelum berkembangnya ilmu ini bukan berarti tidak menerapkan aturan yang berkembang selanjutnya. Hanya yang kemudian menjadi persoalan adalah ketika bangunan fikih yang dikonsep oleh pendiri mazhab belakangan ditemukan di sebagian kasus bersumber dari hadis yang dinilai bermasalah, tepatnya berhukum dha’if oleh peneliti hadis setelahnya.
Telah maklum, dalam beberapa kasus fikih, kita temukan perbedaan pandangan dari empat mazhab fikih. Perbedaan ini dilatari oleh dua hal: perbedaan pada penilaian kualitas sumber hukum dan perbedaan tafsir dan pikiran pada sumber hukum. Pada tataran kualitas sumber hukum inilah Hadis Dha’if menjadi sumber problem utama; satu menyatakan shahih dan satu lagi menyatakan dhaif. Ada pula, ulama hadis menyatakan bahwa hadis pada kasus tertentu dhaif, tetapi kasus itu sudah menjadi bangunan hukum dalam fikih mazhab tertentu. Inilah topik pembahasan tulisan ini; hadis dhaif dalam lingkaran fikih.
Namun sebelumnya, perlu dikenal terlebih dahulu apa itu hadis dhaif. Menilik definisi yang dikemukan dalam ilmu hadis adalah Hadis yang tidak memenuhi kriteria dalam Hadis Shahih dan Hasan, yakni salah satu syarat dari kedua Hadis ini tidak terpenuhi oleh Hadis Dha’if. Peninjauan kelemahan dari Hadis Dha’if ini bisa terjadi di dalam Sanad, Matan atau Rawinya, karena indikator ke-Shahihan hadis adalah mata rantai sanad yang menyambung (ittishal), integritas para rawi (‘adalah) akurasi data para rawi (Dhabt) dan selamat dari syadz dan illat.
Istilah Shahih, Hasan, dan Dhaif, sebenarnya juga lahir belakangan dari kalangan ahli Hadis, mulai al- Khaththabi (w. 388) kemudian Ibn Shalah. Namun kemudian, istilah itu dipopulerkan oleh Imam at-Tirmidzi, sehingga beliau diyakini oleh sebagian orang sebagai pencetus tiga istilah itu. Sebelumnya, dikenal pula istilah Maqbul dan Mardud. Setelah ketiga istilah itu muncul, Shahih dan Hasan dimasukkan dalam kategori Maqbul, sementara dhaif dan Mawdhu’ disematkan pada kategori Mardud.
Memasukkan hadis dha’if pada kategori Mardud, sebenarnya tidak sepenuhnya diterima di kalangan umat Islam. Berbeda dengan Mawdhu’ yang memang bukan hadis. Alasanya, bagaimana pun Hadis dhaif adalah Hadis. Terlebih, kelas Dha’if memiliki banyak macam, tergantung seberapa parah penyakit yang menjangkitinya. Hal ini belum ada kepastian ketika ditemukan daftar rujukan melalui kajian komparasi isnad (I’tibar) sehingga dapat diperkuat melalui Tabi’ dan Syahid.
Hal inilah yang kemudian melahirkan ketentuan bahwa hadis Dhaif masih bisa diamalkan dengan beberapa ketentuan. Meski sempat menjadi polemik di tengah perdebatan mazhab, posisi hadis Dhaif di tengah amaliah umat Islam mendapat tempat tersendiri. Hujjah masing-masing kelompok antara penerima dan penolak Hadis Dhaif dalam bangunan hukum fikih dapat dilihat di beberapa kitab Ushul Fikih. Konsep paling populer adalah penerimaan hadis Dhaif dalam tatanan fadh’il a’mal.
Lantas, bagaimana Hadis Fada’il A’mal dalam kajian polemik ulama, termasuk juga bagaimana perkembangan ilmu hadis yang sering berseberangan dengan fikih? Kelanjutan tulisan ini akan mengupas hal itu. Insya-Allah.
Masyhuri Mochtar/sidogiri