Keguguran dalam dunia medis disebut abortus, yakni keluarnya embrio secara spontan dari dalam kandungan sebelum usia 20 minggu kehamilan, sedangkan dalam hukum fikih disebut siqth (gugur) yang terjadi pada usia sebelum 6 bulan. Apa pun itu, keguguran jelas akan membuat risau orangtua, karena buah hati yang menjadi idaman keluarga harus mengalami nasib yang sedemikiran rupa.
Dalam tinjauan fikih, keguguran tidak hanya berkaitan erat dengan bayi yang keguguran, tapi juga berkaitan erat dengan sang ibu. Setidaknya, ada dua pembahasan pokok dalam sudut K fikih mengenai keguguran ini; hukum berkaitan pada ibu dan pada anak.
Pada ibu berkaitan erat dengan iddah yang dijalani saat dicerai atau ditinggal wafat suami dan nifas pasca keguguran. Adapun pada anak, berkaitan dengan perawatan jenazahnya ketika meninggal dunia.
Sebagaimana maklum, ketika seorang wanita diceraikan atau ditinggal mati suaminya pada saat hamil, ia harus menjalani iddah sampai melahirkan bayi yang dikandung. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Perempuan-perempuan hamil, masa tunggu iddahnya sampai melahirkan kandungannya” (QS. Ath-Thalaq [65]: 4).
Maksud dari haml berarti ada anak di dalam perut sang ibu yang ketika keluar berarti mengakhirkan masa iddah sang ibu. Hal ini tidak hanya tertentu pada istri yang dicerai oleh suami yang menghamilinya, tapi juga berlaku pada istri yang ditinggal mati suaminya. Keumuman pada ayat yang menyatakan bahwa iddah wafat harus 4 bulan 10 hari, terbatasi oleh ayat di atas, karena ayat pada surah ath-Thalaq di atas turun lebih akhir.
Dalil lain bahwa kelahiran menjadi pembatas iddah bagi istri yang ditinggal mati suaminya ini sebuah hadis tentang Subai’ah binti al-Haris. Setelah suaminya meninggal dunia, selang beberapa malam ia melahirkan anak dari suami yang meninggalkan. Saat Rasulullah ditanyakan hal itu, beliau menjawab “Ia telah halal, kawinlah”.
Hanya kemudian yang menjadi masalah adalah apakah kelahiran anak ini cukup berupa calon anak, benih manusia atau harus terwujud manusia? Dalam hal ini ulama menyatakan tidak cukup dengan hanya berupa gumpalan darah (‘alaqah), karena terisinya perut dengan ‘alaqah belum terhukumi haml, sehingga keguguran berupa gumpalan darah, ulama tidak menjadikannya sebagai pembatas iddah. Berbeda dengan gumpalan daging (mudhghah), terlebih sudah terbentuk organ-organ semacam tangan dan kaki, keguguran menjadi pembatas iddah.
Terkait dengan segumpal daging ini, ulama memang memiliki sisi pandang yang berbeda pada gumpalan daging yang tidak memiliki tanda-tanda sebagai gambaran calon bayi, meski secara samar. Jika ahli kandungan (qawabil) memastikan bahwa itu benih manusia (ashlu adami) dan pasti berbentuk setelahnya maka mazhab Syafii (almazhab) menyatakan dapat menjadi pembatas iddah, karena dengannya rahim sudah dipastikan terbebas dari kandungan.
Soal pendapat ahli (qawabil), ulama mensyaratkan harus oleh dua ahli kandungan laki-laki atau empat ahli dari perempuan yang memastikan apakah yang lahir itu benih manusia (ashlu adami) atau bukan. Ketika keluar gumpalan daging, meski belum tergambar penciptaan manusia, atau secara samar sudah terbentuk, manakala ahli kandungan dimaksud telah memastikan bahwa daging itu merupakan benih manusia, berarti keguguran berhukum melahirkan (wadh’ul-haml) sehingga menjadi pembatas iddah. Jika bagian-bagian tubuh bayi sudah jelas terbentuk, maka pendapat ahli tidak menjadi pertimbangan.
Persoalan lain pada ibu yang mengalami keguguran adalah darah yang keluar setelah keguguran. Darah yang menyusul setelah keguguran dihukumi nifas, meski berupa gumpalan darah. Inilah yang berbeda antara penentuan batas iddah dan darah nifas. Jika keguguran berupa gumpalan darah tidak bisa dijadikan pembatas masa iddah, tetapi darah yang keluar setelahnya dihukumi nifas, mewajibkan mandi wiladah, dan membatalkan pada puasa.
Ketentuan nifas juga berlaku, sebagaimana kelahiran normal. Misalnya, darah yang keluar pasca kelahiran berhukum nifas jika jarak antara kelahiran dan keluar darah tidak melebihi 15 hari 15 malam. Inilah yang dimaksud dengan kata “darah yang keluar menyusul setelah kelahiran”. Jika darah keluar berjarak 15 hari 15 malam setelah kelahiran, maka bukan dihukumi nifas, melainkan darah haid.
Pembahasan kedua berkaitan dengan anak yang lahir keguguran dan meninggal dunia. Artinya anak yang lahir sebelum sempurna kandungan, yakni 6 bulan. Apakah harus di-tajhiz secara lengkap atau tidak?
Dalam kaitan tajhiz janazah, ada empat hal yang menjadi kewajiban: memandikan, mengafani, menshalati dan menguburkan. Kewajiban ini bersifat kolektif (fardhu kifayah) sehingga jika telah ada mengerjakan kewajiban di atas maka semuanya menjadi gugur. Akan tetapi, tidak semua mayyit yang bisa/harus di-tajhīz (dirawat) dengan empat hal di atas secara sempurna. Termasuk pengecualian adalah bayi lahir prematur yang perawatannya berbeda dengan mayit normal.
Setidaknya, untuk kasus mayit bayi prematur ini ulama membagi hukum perawatannya menjadi tiga, meninjau bayi yang meninggal. Pertama, bayi memiliki tanda-tanda kehidupan setelah lahir, seperti menjerit, bernafas atau menggerak-gerakkan anggota tubuhnya. Kondisi bayi seperti ini mewajibkan perawatan lengkap. Semua kewajiban yang harus dijalankan pada orang meninggal harus dilakukan: memandikan, mengafani, menshalati dan memendam.
Kedua, bayi tidak memiliki tanda-tanda kehidupan sama sekali. Untuk kondisi seperti ini, hukum perawatannya dipilah: bila sudah berbentuk manusia seperti sudah ada bentuk tangan, kaki dan kepala, maka wajib dimandikan, dikafani, dan dikubur, dengan tanpa dishalati; bila belum berwujud manusia (berupa daging atau gumpalan darah saja) maka tidak ada kewajiban apa pun, tapi sunah di-tajhiz dengan dibungkus dan dimakamkan dengan tanpa dishalati.
Ketiga, bayi prematur di atas usia kandungan 6 bulan. Dalam fikih, bayi keguguran di atas 6 bulan, sebenarnya tidak tergolong siqht karena sudah dinilai sempurna. Oleh karena itu, secara hukum, dalam kondisi merasakan hidup atau lahir kondisi meninggal, bayi tersebut wajib diperlakukan seperti orang dewasa. Artinya, ditajhiz secara lengkap; dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan.
Dengan demikian, saat terjadi keguguran, berarti berhukum melahirkan sehingga menjadi pembatas berakhirnya masa iddah yang membuka peluang bagi laki-laki lain untuk menikahinya. Anak yang lahir saat meninggal memiliki konsekuensi hukum yang berbeda-beda dalam tajhiz-nya melihat kondisi bayi. Semoga manfaat.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri