Pada zaman apapun, terutama zaman seperti sekarang ini, membela agama Allah merupakan perjuangan yang sungguh sangat berat, rumit, penuh tantangan dan rintangan, butuh ketegaran, kesabaran dan ketekunan luar biasa. Namun justru karena itu pula ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep jihad, yang janji pahalanya sungguh luar biasa besar.
Maka dari itu, pertama-tama kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan membela agama Allah, seperti apa bentuknya, dan bagaimana caranya. Sebab, seseorang tidak akan bisa memberikan saja pertolongan apapun pada orang lain tentang satu permasalahan yang dihadapinya, terkecuali jika ia benar-benar memahami permasalah itu dari berbagai sisinya terlebih dahulu secara matang.
Berkaitan dengan membela agama Allah, dalam al-Quran disebutkan (yang artinya): Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad [47]: 7)
Para ulama ahli tafsir menguraikan bahwa yang dimaksud dengan “menolong Allah” dalam ayat tersebut adalah membela agama Allah. Al-Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa makna ayat al-Quran di atas adalah orang yang menolong agama Allah dan nabi-Nya. Dengan demikian, menolong Allah berarti mengandung cakupan yang sangat luas.
Menolong agama Allah tidak saja berarti orang yang membawa senjata ke medan perang melawan orang-orang kafir yang zalim. Menolong agama Allah juga tidak hanya berunjuk rasa turun ke jalan menuntut keadilan kepada para penegak hukum agar mengadili orangorang yang menistakan agama Islam. Bagaimanapun, dua gambaran itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari “membela agama Allah”, namun membela agama Allah bukan hanya dalam bentuk itu saja.
Tercakup dalam membela agama adalah Allah adalah segala hal yang bisa menyebabkan orang memeluk keyakinan yang benar dalam Islam, dan menjalankan syariat Islam secara menyeluruh; menunaikan segala kewajiban dan menghindari segenap larangan. Sehingga, mengajar di surau kampung, mendirikan lembaga pendidikan, berdakwah dari rumah ke rumah, mengaji, berzikir, berakhlak mulia, berdagang sesuai syariat, berpolitik sesuai syariat, dan lain sebagainya, termasuk dalam kategori membela agama Allah.
Dari sini kita melihat gambaran yang sangat lugas, bahwa membela agama Allah sama sekali tak terpisahkan dari segenap sisi kehidupan yang kita jalani sehari-hari. Membela agama Allah bisa dilakukan di masjid, di madrasah, di mushala, di jalan, di pasar, di kantor, di pentas politik, di medan perang, dan seterusnya. Dan karena itu, masingmasing aspek dan sisi kehidupan yang kita jalani terdapat tantangannya sendiri-sendiri, yang harus dihadapi dengan penuh kesabaran, keteguhan dan istikamah.
Ketika membela agama Allah bisa dilakukan dengan cara yang tidak terbatas, dalam kesempatan dan moment yang tidak terbatas pula, maka berarti tantangan-tantangan yang harus dihadapi itu mestinya juga tidak terbatas, baik yang datang dari dalam (diri sendiri dan umat Islam) maupun dari luar (orang-orang non-Muslim). Namun dalam tulisan yang singkat ini hanya akan dibahas tantangan yang datangnya dari dalam umat Islam sendiri. Karena jika tantangan itu berupa permusuhan dari orang-orang non-muslim, tentu sudah jelas duduk perkaranya.
Pertama, tantangan yang datangnya dari dalam diri individu umat, berupa gairah dan semangat dalam mempelajari ilmu-ilmu Islam. Pemahaman tentang Islam yang benar, akan mengantarkan pada langkahlangkah yang benar dalam membela Islam. Karena betapa banyak orang atau kelompok mengaku membela Islam, namun justru menyimpang jauh dari ajaran Islam itu sendiri. Contoh gampangnya seperti ISIS. Mereka mengaku menegakkan syariat Islam melalui Khilafah Islamiyah dengan cara membunuhi umat Islam, merampok harta mereka, dan seterusnya.
Penyimpangan ini terjadi bermula dari pemahaman yang tidak benar tentang Islam dan bagaimana cara membelanya. Maka, malas di dalam belajar, mengaji kepada guru, dan tidak memiliki niat yang benar lagi tulus di dalamnya, merupakan asas dari segala tantangan dalam usaha membela agama Allah. Sikap masa bodoh pada ilmuilmu syariat, serta keengganan untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman dengan serius, akan berakibat secara langsung pada kualitas umat Islam secara kolektif, sehingga banyak dari individu umat yang terombang-ambing dalam kebingungan di tengah-tengah perang pemikiran, antara pemikiran kelompok yang haq dan yang batil di dalam umat Islam sendiri, sebagai mana poin kedua berikut ini.
Kedua, tantangan yang datang dari dalam umat Islam yang memiliki ilmu, tapi ilmunya menyimpang atau sesat. Kelompok ini memiliki keseriusan dalam mempelajari ilmuilmu keislaman, namun mereka tersesat karena belajar kepada para orientalis di Eropa (misalnya). Akhirnya setelah pulang ke negerinya, mereka jadi nyeleneh, dan dalam berbagai isu-isu pembelaan terhadap agama Islam, mereka justru berdiri berlawanan dengan para ulama. Mereka, meski beragama Islam dan punya ilmu keislaman, namun justru selalu kritis atau lebih tepatnya nyinyir terhadap para ulama.
Dalam konflik Israel vs Palestina, misalnya, tentu sudah jelas siapa penjajah dan siapa terjajah; siapa penindas siapa tertindas. Namun faktanya masih sempat-sempatnya mereka bersikap ‘kritis’ dan mengecam tindakan para pejuang yang berusaha medeka, lepas dari penjajahan Israel yang terkutuk.
Dalam berbagai ketegangan sektesekte dan keagamaan yang terjadi di Indonesia tentu bukan pengecualian. Umat Islam vs Kristen, mereka di pihak Kristen. Islam vs Ahmadiah, mereka di pihak Ahmadiah. Umat Islam vs pendukung LGBT, mereka di pihak LGBT. Umat Islam vs pornografi, mereka di pihak pornografi, umat Islam vs penistaan pelecehan terhadap al-Quran, mereka malah ada di pihak orang yang melecehkan al-Quran, dan begitu seterusnya; mereka selalu berada di pihak yang berseberangan dengan mayoritas umat Islam.
Poin yang kedua ini juga merupakan tantangan yang serius bagi umat Islam, namun levelnya masih berada di bawah tantangan yang pertama. Karena poin yang kedua ini sudah tampak penyimpangannya, dan karena itu mudah dikenali sebagai golongan yang tidak benar. Namun masalahnya, kebanyakan umat Islam di sekitar kita adalah orang awam (mengingat faktor pertama tadi), sehingga mereka tidak bisa membedakan mana kelompok Islam yang menyimpang dan mana yang lurus, akhirnya terbujuk dan ikut-ikutan membebek pada pola pikir kelompok yang kedua ini.
Dan, dari sini tampak terang di hadapan kita akan tugas dakwah para ulama, yang sungguh sangat berat, untuk terus dan senantiasa memberikan pengajaran, bimbingan, dan petunjuk pada umat, agar pertama-tama mereka memahami Islam dengan benar, hingga kemudian bisa membela agama Allah ini dengan benar pula.
Moh. Achyat Ahmad/sidogiri