Shalat Jumat memiliki syarat dan ketentuan yang berbeda dengan shalat Zuhur, di antaranya harus dilaksanakan berjamaah, jumlah jamaah tidak boleh kurang dari 40 orang yang bermukim tetap, dan dikerjakan di perkampungan, seperti desa.

Di samping syarat di atas, ada ketentuan lain, yaitu jamaah shalat Jumat tidak boleh dilaksanakan secara ganda atau dalam fikih disebut ta’addudul-Jumah. Artinya, dalam satu tempat harus satu pelaksanaan, tidak boleh lebih. Jika pun harus dilaksakan ganda atau bergantian, harus memenuhi beberapa ketentuan diperbolehkannya ta’addudul-Jumah.

Terkait ta’addudul-Jumah ini memang menjadi permasalahan yang sering diperbincangkan. Motif pelaksanaan dua Jumatan dalam satu desa bermacam-macam, adakalanya karena keterbatasan daya tampung masjid, karena konflik di antara penduduk desa, atau sebatas meneruskan tradisi yang berlaku. Bagaimana pendapat para ulama dalam menyikapi hal tersebut?

Di samping karena ketentuan, pelarangan shalat Jumat berbilangan dalam satu tempat ini memiliki hikmah untuk menjaga persatuan umat Islam. Karena bersifat pekanan, sangat mungkin hanya pada waktu shalat Jumat lah umat Islam bertemu, setelah sepekan sibuk dengan pekerjaan. Tentu saja, dengan pelaksanaan shalat Jumat dua kali atau di dua tempat yang berbeda, hikmah ini sulit tercapai.

Kemudian, bagaimana hukum fikh membicarakan pelaksanaan shalat Jumat berbilangan dalam satu desa? Dalam mazhab Syafi’i, Ta’addudul-Jumah dalam satu desa adalah tindakan yang dilarang, jika tidak memenuhi syarat dan ketentuannya. Syarat tersebut, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Abu al-Husain Yahya bin Abi al-Khair al-‘Umrani dalam al-Bayan (II/620) mengatakan:

دليلنا أن النبي – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – والخلفاء من بعده، ما أقاموا الجمعة إلا في موضع واحدٍ، وقد قال النبي – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «صلوا كما رأيتموني أصلي».

Dalil kita adalah bahwa Nabi dan para khalifah setelahnya tidak mendirikan Jumat kecuali dalam satu tempat, dan sesungguhnya Nabi bersabda, “Shalatlah sebagaimana kalian melihat caraku melakukan shalat”.

Kemudian, mayoritas ulama menyatakan, kebolehan mendirikan Jumat lebih dari satu (ta’addudul Jumah) adalah ketika terjadi kesulitan atau masyaqqah yang secara adat dianggap berat jika jamaah dikumpulkan dalam satu tempat (‘usrul ijtima’). Kesulitan kumpul ini, seperti masjid tidak cukup untuk menampung seluruh jamaah, terjadi permusuhan di antara dua kubu jamaah, atau jarak yang sangat jauh. Dalam kondisi terebut, ta’addudul-Jumah diperbolehkan.

Dalam hal ini, dalam kitab Bughiyatul-Mustarsyidin (hlm 51) disebutkan redaksi demikian:

والحاصل من كلام الأئمة أن أسباب جواز تعددها ثلاثة : ضيق محل الصلاة بحيث لا يسع المجتمعين لها غالباً ، والقتال بين الفئتين بشرطه ، وبعد أطراف البلد بأن كان بمحل لا يسمع منه النداء ، أو بمحل لو خرج منه بعد الفجر لم يدركها ، إذ لا يلزمه السعي إليها إلا بعد الفجر اهـ

“Kesimpulan dari statemen para imam, sebab-sebab diperbolehkannya berbilangnya Jumat ada tiga. Pertama, sempitnya tempat shalat, dengan sekira tidak dapat menampung jamaah Jumat menurut keumumannya. Kedua, pertikaian di antara kedua kubu sesuai dengan syaratnya. Ketiga, jauhnya sisi desa, dengan sekira berada pada tempat yang tidak terdengar azan atau di tempat yang seandainya seseorang keluar dari tempat tersebut setelah fajar, ia tidak akan menemui Jumat, sebab tidak wajib baginya menuju tempat Jumat, kecuali setelah terbit fajar subuh.” (Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyatul-Mustarsyidin, Beirut, Dar al-Fikr, 1995, halaman 51)

Kemudian, at-Termasi dalam Hasyiyah at-Termasi (juz 3:212) menggambarkan sulit kumpul (al-‘usr al-ijtima’) tersebut.

وإن ضابط العسر ان تكون فيه مشقة لا تحتمل عادة قال سم والأوجة اعتبار الحاضرين بالفعل فى تلك الجمعة وأنهم لوكانوا ثمانين مثلا وعسر اجتماعهم بسبب واحد منهم فقط بان سهل اجتماع ما عدا واحد او عسر اجتماع الجميع انه يجوز التعدد إهـ

Batasan kesulitan dimaksud adalah terdapat masyaqqah yang secara adat tidak bisa ditanggung. Imam ‘Ali Syabramallisi mengatakan, pendapat yang diperhitungkan adalah meninjau orang yang hadir secara nyata pada Jumatan tersebut. Mereka, umpama berjumlah 80 orang, misalnya, dan mereka sulit berkumpul sebab satu orang dari mereka saja, yang gambarannya mudah berkumpul tanpa satu orang atau sulit semuanya berkumpul, maka boleh mendirikan Jumatan lebih dari satu.

Lebih lanjut pada redaksi di atas, at-Termasi memberikan gambaran kesulitan kumpul dalam kasus pertengkaran. Ia menyebut di antara contoh kebolehan mendirikan jamaah Jumat lebih dari satu adalah terjadinya peperangan atau permusuhan antara dua penduduk antara dua ujung desa, meskipun peperangan atau percekcokannya tidak menyebabkan masyaqqah. Untuk setiap kelompok yang jumlahnya sudah mencapai 40 orang, wajib mendirikan Jumatan, kalau kurang maka tidak wajib.

Bagaimana kalau tidak memenuhi catatan syarat di atas? Tentu saja dilarang. Jika memang dilakukan, maka yang dihukumi sah adalah jamaah yang takbiratul ihram pertama dari dari dua atau lebih jamaah Jumat. Untuk jamaah yang takbiratul ihram-nya kemudian, tidak sah.

Meski demikian, hukum ini bukan berarti tanpa khilaf. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, misalnya, menetapkan hukum boleh dengan syarat tidak menimbulkan fitnah. Alasan asy-Sya’rani karena para shahabat dan khalifah terdahulu tidak melaksanakan dua Jumat satu desa karena khawatir menimbulkan fitnah, sebab keadaan pada waktu itu menuntut orang Islam bersatu dalam satu komando imam besar. Apabila ada kelompok yang membuat Jumatan tandingan, maka akan menimbulkan stigma negatif dan kekacauan bahwa ada kelompok yang membelot dari al-imam al-A’zham.

Kemudian, potensi fitnah yang demikian seiring berjalannya waktu, sudah hilang, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan bila diadakan dua pelaksanaan shalat Jumat dalam satu desa. Dari itu, menurut asy-Sya’rani pendirian dua Jumatan dalam satu desa sah sepanjang tidak menimbulkan fitnah. Di sisi yang lain, menurut asy-Sya’rani, tidak ada dalil yang secara tegas melarang pendirian dua jumat dalam satu tempat. (al-Mizan al-Kubra I/209). Beliau menegaskan:

فلما ذهب هذا المعنى الذى هو خوف الفتنة من تعدد الجمعة جاز التعدد على الأصل في إقامة الجماعة

Ketika substansi pelarangan ini hilang, yaitu kekhawatiran fitnah saat ta’addudul-Jumah, maka diperbolehkan berbilangnya Jumat sesuai dengan hukum asal pendirian shalat jamaah.

Lebih jauh, Syekh Ismail Zain dalam Qurratul-‘Ain bi Fatawa Isma’il az-Zain: 83, memperbolehkan ta’addudul-Jumah secara mutlak. Beliau berargumen bahwa tidak ada dalil yang tegas yang melarang pendirian dua Jumat dalam satu desa. Menurut ulama bermadzhab Syafi’i dari Yaman ini, semakin banyak pendirian Jumat dalam satu desa justru semakin membesarkan syi’ar Islam. Hanya saja, kebolehan pendirian dua jumat atau lebih tersebut disyaratkan masing-masing Jumat terdiri dari minimal 40 jamaah, sebab jumlah tersebut adalah yang sesuai dengan tuntunan hadits Nabi.

Artinya, persoalan ta’addud al-Jumah ini terdapat khilaf di antara ulama. Semoga manfaat. Amin.

M. Masyhuri Mochtar/sidogiri

Baca juga: Khutbah Jumat Jaga Perdamaian

Spread the love