Belakangan ini, seorang yang dianggap ahli fi lsafat sedang menjadi fenomena, di mana ucapan-ucapannya digandrungi oleh banyak orang, termasuk oleh umat Islam. Namun sebagai orang non-Muslim (sebagian menyebutnya atheis) ia kerap melontarkan kata-kata kontroversial. Di antaranya, ia pernah berkata, “Bagi saya, demokrasi adalah permainan untuk orang-orang yang rasional, dan agama adalah aturan untuk orang-orang yang irasional.”

Sebagai orang Islam, bagaimana mestinya kita menanggapi perkataan itu dan yang semacamnya?

Jawaban

Sekilas, pernyataan di atas membangun asumsi bahwa ajaran-ajaran agama itu bukan wilayah akal, dan bahwa untuk taat pada aturan-aturan agama, kita tak perlu mengetahui alasan-alasan rasionalnya. Namun dari sisi lain, pernyataan bahwa “agama adalah aturan untuk orang-orang yang irasional” tampak merupakan cemoohan terhadap orang-orang yang beragama secara umum.

Jika kesimpulan pemahaman tersebut dilihat dari sudut pandang Islam, maka penting untuk dijelaskan poin-poin berikut:

Pertama, bahwa Islam sangat memuliakan akal, dan bahwa dalam Islam, akal dan keyakinan tidaklah terpisahkan. Salah satu gambarannya adalah, bahwa menurut para ulama Ahlusunah wal-Jamaah, hal pertama yang diwajibkan bagi orang mukalaf adalah mengetahui Allah (ma‘rifatullah), sedangkan jalan ma‘rifatullah itu adalah melalui nazhar, yakni mengerahkan daya pikir (akal) terhadap ayat-ayat Allah, baik berupa al-Quran maupun ayat-ayat kauniah yang berupa alam semesta.

Jadi, dalam Islam, ketika untuk pertama kalinya seseorang bersentuhan dengan agama dan keyakinan (Islam), maka sejak saat itu pulalah ia juga bersentuhan langsung dengan akal. Bahkan akal dan ikhtiyar merupakan tambatan taklif (manathut-taklif), dalam arti jika seseorang tidak mempunyai akal dan potensi ikhtiarnya hilang, maka perbuatan apapun yang dilakukannya tidak memiliki konsekuensi apapun, baik pahala maupun dosa. Contohnya seperti orang gila atau orang yang dipaksa. Jadi sangat jelas, betapa eratnya hubungan akal dan agama Islam hingga sama sekali tak terpisahkan.

Kedua, hukum-hukum dalam Islam kebanyakan bersifat ta’aqquli yang alasan rasionalnya bisa dipahami oleh akal, dan hanya sebagian kecil saja yang berupa ta’abbudi sehingga tidak bisa dipahami oleh akal, karena memang akal bukan satu-satunya sarana untuk mengetahui sesuatu.

Al-Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa potensi-potensi dalam diri manusia itu berkembang. Awalnya ia lahir tanpa potensi apapun, kemudian ia diberi potensi indera peraba, lalu indera penglihatan, lalu indera pendengar, lalu potensi tamyiz (bisa membedakan satu hal dengan hal lain), kemudian baru muncul potensi akal. Namun akal bukan puncak potensi, karena masih ada potensi lain setelah itu, sehingga tak setiap orang berakal bisa menjangkaunya, seperti ilham dan wahyu.

Dan, yang perlu diketahui di sini adalah, masing-masing potensi ini berdiri sendiri, sehingga suatu potensi tak bisa menangkap objek yang hanya diperuntukkan bagi potensi lain. Misal, indera peraba tidak bisa menangkap warna sebagaimana indera penglihatan. Begitu pula indera penglihatan tak bisa merasakan manis, asam atau asin sebagaimana indera perasa. Maka menafikan adanya wahyu karena ia tak bisa dijangkau oleh akal, sama halnya dengan orang buta menafikan adanya warna karena ia tak bisa dijangkau oleh indera perabanya.

Baca juga: Berfikir Rasional Diperlukan Agar Tak terjebak panik

Spread the love